Cukai Naik di 2021, Serapan Tembakau Petani Diprediksi Anjlok 30 Persen

Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) di kisaran 10 persen-17 persen, akan berimbas mengurangi serapan tembakau petani hingga 30 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Nov 2020, 16:15 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2020, 14:45 WIB
Melihat Perkebunan Tembakau Terbaik di Kuba
Seorang petani mendorong gerobak yang berisi daun tembakau yang sudah dipetik di perkebunan tembakau di San Juan y Martinez, Provinsi Pinar del Rio, Kuba (24/2). Perkebunan tembakau ini merupakan yang terbaik di Kuba. (AFP Photo/Yamil Lage)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kalangan menilai rencana penaikan tarif cukai hasil tembakau alias cukai rokok di kisaran 17 persen akan berimbas pada anjloknya serapan tembakau sebesar 30 persen dan tenaga kerja. Hal ini seiring efisiensi ketat oleh industri menyusul melemahnya daya beli masyarakat.

Pengamat Ekonomi Pertanian Fendi Setyawan menegaskan apabila kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) di kisaran 10 persen-17 persen, diperkirakan akan berimbas mengurangi serapan tembakau petani hingga 30 persen.

“Dari simulasi yang kami lakukan bersama Tim Koordinasi Program Revitalisasi Pertembakauan Jawa Timur, sudah pasti kenaikan cukai pasti berpengaruh terhadap serapan tembakau. Kontraksi yang muncul (berdasarkan asumsi), akan mempengaruhi existing serapan bahan baku hingga 30 persen bila kenaikan CHT di kisaran 10 persen-17 persen,” ujar Fendi dikutip Senin (9/11/2020).

Apabila total serapan tembakau nasional pada tahun lalu sebesar 167.000 ton dan proyeksi penurunan serapan hingga 30 persen imbas kenaikan tarif CHT, maka dapat diasumsikan lebih dari 50.000 ton tembakau petani tidak terserap.

Dari asumsi tersebut, selanjutnya dapat dihitung berapa jumlah batang yang akan diproduksi pabrikan. Sekalipun pabrikan telah melakukan stok bahan baku, kontraksi CHT tentu akan membuat pelaku IHT lebih berhati-hati.

“Seperti kita ketahui, tata niaga IHT ini unik. Pabrikan beli tembakau dari petani, bisa disimpan untuk dipakai 2-3 tahun mendatang. Meski demikian, saya yakin industri pasti berhitung cermat terkait bahan baku sebagai imbas dari CHT,” jelas pengamat tata niaga pertembakauan dari Universitas Jember ini.

Hal senada disampaikan oleh Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi. Dia mengungkapkan ketika daya beli konsumen terhadap produk hasil tembakau menurun, secara linear industri akan melakukan perhitungan produksi dan ongkos operasional. Langkah efisiensi yang diambil industri berujung pada pengurangan faktor input dan tenaga kerja.

“Faktor input adalah bahan baku. Misalnya, pabrikan cengkeh, maka efisiensi dan efektivitas yang akan dilakukan pabrikan adalah pengurangan tembakau dan cengkeh. Dari sisi faktor tenaga kerja, sejalan dengan dampak kenaikan CHT, pabrikan akan memilih langkah mengurangi jumlah karyawan. Pada akhirnya berdampak pada meningkatnya angka pengangguran,” Gandhi pada Minggu (8/11).

Pengurangan faktor input sebagai antisipasi dari kenaikan CHT, menurut Gandhi, akan membuat para petani tembakau dan cengkeh semakin terpukul. Industri akan mengurangi jumlah serapan bahan baku. Di sisi lain, dalam tata niaga pertembakauan, diversifikasi produk tembakau yang ada saat ini masih belum beragam. Pada akhirnya, petani hanya mengandalkan penjualan daun tembakau kepada industri.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Imbas Kenaikan Cukai

Melihat Perkebunan Tembakau Terbaik di Kuba
Seorang petani membawa daun tembakau di perkebunan tembakau di San Juan y Martinez, Provinsi Pinar del Rio, Kuba (24/2). Para peserta akan dibawa ke perkebunan tembakau terbaik di Pinar del Rio dan ke pabrik cerutu bersejarah. (AFP Photo/Yamil Lage)

Untuk meminimalisasi tekanan yang dialami petani yang terkena imbas kenaikan CHT, Gandhi mengusulkan agar penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dapat dimaksimalkan serapannya untuk membantu petani.

“Yang menjadi kekhawatiran, berdasarkan studi kemitraan dan pendampingan petani yang selama ini kita teliti, petani sulit mendapatkan manfaat maksimal dari DBHCHT. Ujungnya, praktik penggunaan DBHCHT belum bisa diupayakan untuk memakmurkan petani,” kata Gandhi.

Tak jauh berbeda, Fendi juga melihat bahwa DBHCHT saat ini, pemanfaatan (refocusing) anggarannya 80 persen-90 persen dialokasikan untuk pemulihan COVID-19. Barulah kemudian 10 persen-20 persen sisa anggaran ditujukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kualitas bahan baku dan upaya pemberantasan rokok illegal oleh industri.

“Harus diakui kondisinya serba sulit. Bagi pemerintah, langkah untuk meningkatkan devisa, kantong yang paling mudah adalah lewat menaikkan cukai. Sementara itu, industri dan petani tertekan. Kuncinya ada pada aspek regulasi. Sejak awal pemerintah harusnya hadir dan mengatur tata niaga pertembakauan sebagai langkah pengendalian,” tutup Fendi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya