Per November 2020, Defisit APBN Tembus Rp 833,7 Triliun

Defisit APBN hingga November 2020 mencapai Rp833,7 triliun atau 5,60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Des 2020, 14:20 WIB
Diterbitkan 21 Des 2020, 14:20 WIB
Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuanga Sri Mulyani Indrawati (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga November 2020 mencapai Rp833,7 triliun atau 5,60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun sebelumnya tercatat sebesar Rp369,9 triliun.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan defisit November 2020 terjadi akibat penerimaan negara tak sebanding dengan belanja negara pemerintah.

Di mana pendapatan negara hanya mencapai Rp1.423 triliun, sedangkan posisi belanja negara meningkat mencapai Rp2.306,7 triliun seiring dengan program pemulihan ekonomi nasional.

"Defisit hingga bulan November masih on track, sebesar Rp833,7 triliun atau 5,60 persen terhadap PDB," kata dia dalam APBN Kita, di Jakarta, Senin (21/12).

Pendapatan negara hingga akhir November 2020 sebesar 83,7 persen dari, atau Rp 1.423 triliun dari target Perpres 72/2020 sebesar Rp 1.699,9 triliun. Dibandingkan tahun lalu, total pendapatan ini mengalami penurunan 15,1 persen.

Bendahara Negara ini merincikan, penerimaan negara yang mencapai Rp1.423 triliun tersebut berasal dari pajak sebesar Rp1.108,8 triliun, PNBP Rp304 triliun, sedangkan hibah sebesar Rp9,3 triliun.

Sedangkan untuk belanja negara yang mencapai Rp2.306,7 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat yang terdiri dari kementerian/lembaga (K/L) dan belanja non K/L sebesar Rp1.588,7 triliun, dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp748 triliun.

Dengan realisasi tersebut, maka defisit anggaran APBN 2020 hingga November 2020 tercatat 5,60 persen atau setara Rp833,7 triliun terhadap PDB. Adapun dalam Perpres 72 Tahun 2020 defisit APBN diizinkan hingga mencapai Rp1.039,2 triliun atau sekitar 6,34 persen.

"Perpres kita menggambarkan keseluruhan tahun defisit diperkirakan akan mencapai Rp1.039 triliun atau 6,34 dari GDP," ucapnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Defisit APBN Indonesia Bisa Kembali ke 3 Persen, Ini Saran Bank Dunia

IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di ruang penyimpanan uang "cash center" BNI, Jakarta, Kamis (6/7). Tren negatif mata uang Garuda berbanding terbalik dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai bangkit ke zona hijau (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah Indonesia telah menetapkan defisit APBN tahun anggaran 2021 mencapai 5,7 persen atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan defisit di 2020 sebesar 6,34 persen atau Rp 1.039 triliun.

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ralph Van Doorn mengatakan, sebagai negara yang sudah dinyatakan masuk dalam upper income country, Indonesia memiliki bekal untuk bisa kembali mencapai defisit APBN pada level 3 persen.

Sehubungan dengan itu, Ralph menuturkan Indonesia perlu untuk memperkuat pendapatan. Diantaranya dengan mempertimbangkan untuk memangkas belanja negara dan efisiensi subsidi.

“Untuk memperkuat pendapatan, ada juga belanja yang bisa dipangkas. Tapi harus dipertimbangkan dengan baik sehingga efisiensi itu bisa dicapai,” ujar dia dalam Indonesia Economy Prospects, Kamis (17/12/2020).

Ralph menghimbau agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan alokasi subsidi untuk kelompok yang lebih rentan. “Jadi kalau misalnya mau menggunakan sosial transfer, yaitu subsidinya menyasar 40 persen (kelompok) terbawah itu juga bisa membantu peningkatan PDB dan perlindungan sosial,” kata dia.

Dengan begitu, defisit fiskal bisa ditekan hingga 3 persen. Namun, langkah ini juga tergantung pada pendapatan perpajakan serta beberapa faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

“Untuk mengurangi defisit fiskal hingga mencapai 3 persen itu tergantung pada tingkat progresifitas sistem perpajakan, pengeluaran yang bijak, dan bisa juga dilakukan dengan cara yang pro dengan lingkungan hidup,” pungkas pejabat Bank Dunia itu. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya