2 Juta Data Covid-19 Belum Terlapor, Ini Sebabnya

Masih ada hampir 2 juta data Covid-19 atau mungkin lebih data yang belum dientry.

oleh Andina Librianty diperbarui 06 Feb 2021, 09:15 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2021, 09:15 WIB
Krisis tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan melakukan kegiatan tes swab massal di Puskesmas Ciganjur, Jakarta, Kamis (7/1/2020). Lonjakan kasus virus corona berpotensi terjadinya krisis tenaga kesehatan (nakes) karena banyak yang tertular dan gugur saat menangani pasien Covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) yang merupakan Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan pemerintah memiliki tugas untuk menyelesaikan persoalan data kasus Covid-19 antara pusat dan daerah yang belum sepenuhnya terintegrasi.

Dalam pertemuan dengan Wamenkes, ahli kesehatan dan epidemiolog yang berlangsung secara virtual pada Kamis (4/2), Menko Luhut sempat menyampaikan bahwa masih ada hampir 2 juta data atau mungkin lebih data yang belum dientry.

Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi menjelaskan, 2 juta data tersebut bukan data kasus positif Covid-19 yang ditutupi, namun justru kasus-kasus negatif yang belum terlaporkan. Hal ini disebabkan karena selama ini banyak laboratorium yang cenderung lebih dahulu melaporkan kasus positif agar segera mendapat penanganan, sehingga data kasus negatif tertunda untuk dilaporkan.

“Sebenarnya bukan 2 juta kasus positif yang belum masuk. Tetapi, ada banyak hasil tes negatif yang tertunda untuk dilaporkan oleh laboratorium. Karena jumlah tes yang besar & tenaga entry terbatas, laboratorium cenderung lebih dahulu melaporkan hasil positif agar bisa segera ditindaklanjuti,” diterangkan oleh Jodi, Sabtu (6/2/2021).

Menurut Jodi, beberapa pihak mungkin salah menangkap maksud dari apa yang disampaikan Menko Luhut dalam pertemuan virtual dengan epidemiolog. Yang dimaksud Menko Luhut akan berpengaruh pada positivity rate adalah 2 juta data tersebut justru akan membuat angka positivity rate menurun, bukan meningkat.

“Jadi ketika data tersebut nanti sudah terintegrasi dan dimasukkan, angka positivity rate juga akan turun karena memang banyak data kasus negatif yang tertunda untuk dilaporkan sebelumnya. Jadi artinya bukan ada kasus positif yang ditutupi dan yang ditakutkan terjadi lonjakan rasa-rasanya tidak akan terjadi,” ujar Jodi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Penanganan Covid-19

Kasus Positif Covid-19 di Sri Lanka
Petugas mengambil sampel usap (swab) dari warga untuk Tes Cepat Antigen COVID-19 di Wellawatta, Kolombo, pada 8 Desember 2020. Jumlah pasien positif COVID-19 di Sri Lanka telah melampaui angka 28.000 pada Selasa (8/12) usai lebih dari 600 pasien terdeteksi pada hari sebelumnya. (Xinhua/Ajith Perera)

Integrasi data masih menjadi masalah dalam penanganan Covid-19. Sejak awal Menko Luhut fokus pada integrasi sistem manajemen yang baik, sehingga data yang disampaikan bisa faktual dan nyata.

Dengan momentum pandemi Covid-19 ini, Menko Luhut juga terus mendorong perwujudan big data kesehatan yang menampung dan mengintegrasikan berbagai sumber data kesehatan, seperti rekam medis elektronik, BPJS Kesehatan, vaksin, dan lain sebagainya.

“Memang ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Tapi Menko Luhut melihat pandemi ini sebagai momentum yang tepat bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem database kita, bukan hanya di bidang kesehatan, tapi lainnya juga. Supaya ke depan kita bisa punya sistem manajemen data yang baik,” tutup Jodi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya