Dorong Investasi, Tanah Bersertifikat HGU dan HGB Diminta Tak Masuk Kawasan Hutan

Selama ini, dinilai sudah terjadi dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Feb 2021, 16:46 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2021, 15:15 WIB
Ilustrasi Hutan Bakau
Ilustrasi hutan bakau. (dok. Unsplash.com/Maxwell Ridgeway/@maxwellridgeway)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Pertanahan dan Kehutanan Budi Mulyanto mengatakan, sebaiknya tanah yang sudah dilengkapi legalitas seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan alas hak lain, tidak dimasukkan ke dalam kawasan hutan.

“Hal ini karena, hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat pada prinsipnya bersifat final dan dalam prosesnya telah mengikuti ketentuan perundangan yang berlaku serta melibatkan instansi pemerintahan terkait,” kata Budi Mulyanto dikutip Senin (22/2/2021).

Menurut Budi Mulyanto, kebijakan ini perlu dilakukan untuk mendorong iklim usaha yang baik dan menggairahkan investasi. Disisi lain, kebijakan ini sebagai wujud saling menghormati antara institusi pemerintahan pemberi izin.

Seperti diketahui, dalam prakteknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia. Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dualisme ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan baik di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk lemahnya kepastian hukum atas pengakuan tanah masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut. Padahal, sejak jaman belanda sudah ada pengakuan atas hak-hak pribumi, namanya Indonesisch bezitsrecht.

“Maknanya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui sebagai bagian dari hak azasi manusia,” kata dia.

Menurut Budi Mulyanto, ego sektoral antara lembaga di pemerintahan itu selalu berakhir dengan menempatkan masyarakat termasuk pelaku usaha sebagai obyek kesalahan dan tidak menghormati hak masyarakat. Padahal secara hukum, masyarakat punya bukti legalitas hak atas tanahnya baik berupa HM, HGU , HGB dan alas hak lain.

Budi Mulyanto juga berpendapat, masyarakat yang telah punya legalitas kepemilikan itu, sebaiknya dikecualikan dari sanksi atau denda ketika penetapan batas kawasan dilakukan.

“Kalaupun terpaksa harus dikenakan sanksi, nilainya harus wajar dan terukur. Jika sanksi yang diberlakukan nilainya terlalu besar sama saja dengan membunuh usaha rakyat," tutur dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pengenaan Sanksi

Ilustrasi hutan
Ilustrasi hutan (iStock)

Dia mengingatkan, bahwa pengenaan sanksi adminitratif punya tujuan pembinaan untuk melanjutkan usaha, dilaksanakan secara berjenjang serta tidak multidoors.

Kebijakan seperti ini akan memberi ruang dan waktu terukur kepada pelaku usaha untuk menyelesaikan semua proses administrasi dalam rangka mengukuhkan hak (right), pembatasan (restriction) dan dan tanggung jawab (respobsibility) masyarakat dan pelaku usaha atas aset usahanya.

Lebih jauh Budi menambahkan, semangat penting dari UUCK adalah kegiatan usaha masyarakat dan bisnis bisa terus berjalan. Apalagi ditengah pandemi saat ini, perekonomian Indonesia semakin terseok-seok dan berpotensi jalan di tempat.

Menurut dia, kedepan persoalan bangsa Indonesia akan semakin berat. Dengan 270 juta penduduk, tidak mudah membuka lapangan pekerjaan baru. Apalagi jumlah penggangguran terbuka masih tinggi. Begitu juga penduduk miskin terus bertambah.

Pada tahun 2019 misalnya jumlah penggangguran terbuka mencapai 5,28%. Kemudian di tahun 2020 angkanya naik menjadi 7,07%. Tahun 2021 diperkirakan akan terus melonjak akibat imbas pandemi.Begitu juga dengan penduduk di bawah garis kemiskinan. Jika pada tahun 2015 baru sekitar 11,22 persen dan sempat turun menjadi 9,66% pada tahun 2018, tahun ini diperkirakan penduduk miskin naik tajam yang juga akibat dampak pandemi.

“Impor pangan yang masih tinggi harus menjadi pertimbangan matang, sebelum menerapkan satu kebijakan,” kata Budi Mulyanto.

Pada prinsipnya, Budi Mulyanto mengharapkan, legalitas tanah masyarakat dan dunia usaha harus segera diselesaikan untuk memberikan iklim usaha yang baik dan meningkatkan investasi.

“Masyarakat juga bisa tenang bekerja. Selama ini mereka (masyarakat dan dunia) usaha selalu takut tidak bisa melanjutkan usahanya karena status kepemilikan yang diklaim satu pihak. Padahal mereka telah mengelola kawasan tersebut selama berpuluh bahkan ratusan tahun,” kata Budi Mulyanto.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya