Penjelasan Lengkap Permenperin No. 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula

Kemenperin mengatur kebijakan pengaturan produksi pada pabrik gula sebagai upaya untuk memenuhi gula untuk kebutuhan konsumsi dan gula untuk kebutuhan industri.

oleh Tira Santia diperbarui 20 Apr 2021, 11:00 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2021, 11:00 WIB
Gula Pasir
Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional memiliki tiga poin penting. Salah satunya adalah mengurangi potensi kebocoran. 

Direktur Jenderal (Dirjen) Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Abdul Rochim menjelaskan, peraturan ini merupakan kebijakan pengaturan produksi pada pabrik gula sebagai upaya untuk memenuhi gula untuk kebutuhan konsumsi dan gula untuk kebutuhan industri. Dalam hal ini, kebutuhan industri yang dimaksud adalah makanan, minuman dan farmasi.

"Ada 3 poin penting di dalam peraturan ini yang bisa dicermati. Pertama, terkait penertiban dalam produksi gula pada pabrik gula untuk mengurangi potensi kebocoran atau rembesan gula," Abdul, kepada Liputan6.com, Selasa (20/4/2021).

Berdasarkan Keppres 57 Tahun 2004 tentang Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan, di Indonesia, ada 2 jenis produk gula yang diproduksi dan diperdagangkan. Pertama Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri makanan, minuman dan farmasi. Kedua Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi. Penyatuan produksi kedua jenis gula tersebut belum bisa dilakukan.

Kedua, terkait fokus produksi. Dengan adanya peraturan ini, pabrik gula dapat berproduksi sesuai dengan bidang usahanya masing-masing. Pabrik gula rafinasi memproduksi GKR untuk melayani industri makanan, minuman dan farmasi.

Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi GKP untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebagai upaya mencapai swasembada gula nasional. Pabrik gula rafinasi tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu juga pabrik gula basis tebu tidak boleh memproduksi gula industri atau GKR.  

"Dengan adanya peraturan ini diharapkan akan ada perbaikan dari sisi pengembangan perkebunan tebu secara nasional sebagai bahan baku gula, yang akan berdampak pada peningkatan produksi gula nasional dan perbaikan pendapatan petani tebu," ujarnya.

Poin ketiga, Permenperin ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan gula konsumsi atau GKP untuk kebutuhan konsumsi masyarakat dan gula industri atau GKR sebagai bahan baku atau bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi.

Dijelaskan, bahwa perhitungan kebutuhan gula konsumsi dan gula industri (Neraca Gula Nasional) setiap tahunnya dilakukan melalui rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang melibatkan seluruh K/L terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, BPS, BMKG dan Bulog.

Berdasarkan perhitungan neraca gula nasional, diharapkan tidak ada kekurangan ketersediaan gula di dalam negeri, baik gula konsumsi maupun gula industri.

Untuk industri makanan, minuman dan farmasi, termasuk IKM mamin, pabrik gula rafinasi siap mensuplai GKR untuk industri dengan mekanisme yang berlaku (sesuai Permendag 1/2019 tentang peredaran GKR), b to b, dan untuk IKM yg tidak dapat langsung membeli ke PGR karena permintaannya dalam jumlah yang kecil dapat membentuk koperasi.

"Karena berdasarkan permendag 1/2019 perdagangan GKR tidak dapat melalui distributor, tapi dapat melalui Koperasi IKM, hal ini untuk mengurangi potensi kebocoran," katanya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Harga Kompetitif

Gula Pasir
Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Di samping itu, dengan penyaluran langsung ke industri dengan b to b, industri mamin dapat memperoleh harga gula yang kompetitif, sesuai dengan kualitas, spesifikasi dan harga yang disepakati, sehingga industri mamin dapat berproduksi dengan lebih efisien.

Dengan demikian, Kemenperin optimis dengan adanya peraturan ini akan lebih menjamin ketersediaan gula konsumsi/GKP untuk kebutuhan konsumsi masyarakat dan gula industri/GKR sebagai bahan baku/bahan penolong untuk industri makanan, minuman dan farmasi.

"Peraturan ini juga diharapkan akan bermanfaat dan berdampak bagi peningkatan produksi dan produktivitas perkebunan tebu dan produksi gula nasional menuju swasembada gula, peningkatan pendapatan petani tebu, serta mendorong pengembangan industri makanan dan minuman nasional," pungkasnya.

Kelangkaan

Gula Pasir
Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Sebelumnya, terjadi kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur (Jatim), dampak dari pemberlakukan Permenperin No 3 Tahun 2021 yang diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam aturan tersebut membatasi impor gula mentah (raw sugar) hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.

Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PWNU Jawa Timur Khoirul Rosyadi mengatakan, regulasi industri gula seharusnya mempertimbangkan aspek persaingan usaha yang sehat dari hulu hingga ke hilir dan tata kelola industri gula yang berkesinambungan.

“Semua pabrik gula seyogyanya didorong untuk memiliki dan bekerja sama dengan perkebunan tebu dan mengurangi impor gula mentah,” kata Khoirul Rosyadi di Surabaya, Senin (19/4/2021).

Namun, kenyataannya, keran impor gula mentah hanya dibuka untuk segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010. Sementara yang lain harus untuk menyerap gula tebu yang pasokannya tidak cukup untuk satu tahun.

Bahkan kini, kata Khoirul, pabrik gula di Jawa Timur berhenti mensuplai kebutuhan gula rafinasi untuk industri pengguna skala UKM dan pabrik di Jawa Timur, karena tidak diperbolehkan lagi melakukan impor dan mengolah gula mentah menjadi gula rafinasi karena izin usahanya terbit setelah 25 Mei 2010.

Sementara itu, ketersediaan tanaman tebu saat ini tidak dapat memenuhi masa giling satu tahun sehingga kelangsungan pabrik gula di Jawa Timur bakal terancam.

“Patut disayangkan, dengan Permenperin 3/2021, pasokan gula rafinasi hanya menjadi hak istimewa segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010,” ungkapnya.

Menurutnya, indikasi kartel ini menyebabkan kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur karena tidak ada pabrik gula di Jawa Timur yang mendapat izin impor gula mentah dan memasok gula rafinasi untuk kebutuhan industri pengguna di Jawa Timur.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya