Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa langkah Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga dan memperketat kebijakan secara agresif akan menghambat pemulihan ekonomi di Asia.
Dilansir dari CNBC International, Rabu (26/1/2022) Direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF, Changyong Rhee, mengatakan bahwa surplus transaksi yang berjalan dan tingkat cadangan jauh lebih tinggi di antara negara-negara Asia saat ini dibandingkan dengan fenomena taper tantrum pada tahun 2013 silam.
Baca Juga
Namun, dia juga mengingatkan beban utang yang tinggi menjadi masalah bagi negara-negara Asia.
Advertisement
"Secara keseluruhan, utang yang meningkat cukup signifikan pasca krisis keuangan global. Sekitar tahun 2007, Asia menyumbang sekitar 27 persen dari utang global. Sekarang pada tahun 2021, Asia menyumbang hampir 40 persen dari utang global," katanya kepada Squawk Box Asia CNBC.
Pada tahun 2013, The Fed memicu fenomena yang disebut sebagai "taper tantrum" ketika mulai menghentikan program pembelian asetnya.
Para investor pada saat itu panik dan memicu aksi jual obligasi, menyebabkan imbal hasil Treasury melonjak.
Akibatnya, pasar negara berkembang di Asia mengalami arus keluar modal yang tajam dan depresiasi mata uang, memaksa bank sentral di kawasan tersebut untuk menaikkan suku bunga untuk melindungi rekening modal mereka.
"Kali ini, suku bunga The Fed yang lebih tinggi mungkin tidak menyebabkan kejutan besar bagi pasar keuangan, tetapi pasti dapat memperlambat pemulihan dan pertumbuhan Asia," tambah Rhee.
Komentarnya muncul menjelang pengumuman kebijakan The Fed pada Rabu (26/1), di mana diharapkan untuk memberi sinyal kenaikan suku bunga dan menunjukkan lebih banyak pengetatan kebijakan untuk menekan inflasi.
Negara-negara Asia Perlu Persiapan
Pemerintah di negara-negara Asia mungkin perlu mempersiapkan normalisasi kebijakan yang lebih cepat menyusul langkah The Fed untuk mengekang tekanan inflasi, menurut Rhee.
"Situasinya cukup heterogen di Asia. Seperti Singapura dan Korea Selatan, inflasi sudah lebih tinggi dan kesenjangan output kecil. Jadi bank sentral harus bergerak cepat seperti yang dilakukan Singapura minggu ini," katanya, mengacu pada keputusan bank sentral Singapura untuk memperketat kebijakan moneter atas kekhawatiran inflasi.
"Suku bunga yang tinggi di Amerika Serikat, akan memaksa mereka untuk bereaksi terhadap kebijakan moneter. Jadi mereka baiknya memiliki tindakan penyeimbangan yang sangat halus saat ini, sebutnya.
Namun, ada negara Asia lainnya dengan output gap yang masih relatif besar karena dilanda wabah Covid-19 varian Delta tahun lalu. Akibatnya, pemulihan mereka terhambat, kata Rhee.
IMF telah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global di 2022 menjadi 4,4 persen.
Hal itu dikarenakan meningkatnya kasus Covid-19, gangguan rantai pasokan, dan inflasi yang lebih tinggi menghambat pemulihan ekonomi.
Dalam laporan World Economic Outlook, IMF mengatakan pihaknya memperkirakan produk domestik bruto global melemah dari 5,9 persen di 2021 menjadi 4,4 persen pada 2022 - dengan angka tahun ini menjadi setengah poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Perubahan proyeksi tersebut juga dipicu oleh penurunan pertumbuhan ekonomi di dua negara ekonomi terbesar dunia, AS dan China.
Ekonomi AS kini diperkirakan akan tumbuh 4,0 persen pada 2022 ini - 1,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya karena Federal Reserve bergerak untuk menarik stimulus moneternya, bahkan ketika gangguan rantai pasokan membebani perekonomian.
Sedangkan ekonomi China, diperkirakan tumbuh 4,8 persen tahun ini.
Advertisement