FIR Natuna Dipandang Pelik, Chappy Hakim: Samakan Persepsi Jangan Pakai Otot

Pada 25 Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan alih kelola Flight Information Regional (FIR) di wilayah Natuna bakal dikuasai Indonesia.

oleh Arief Rahman H diperbarui 03 Feb 2022, 21:25 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2022, 21:25 WIB
20161228-Chappy-Hakim-IA
Chappy Hakim. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)
Liputan6.com, Jakarta Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) Chappy Hakim menilai jika persoalan alih kelola ruang udara di Natuna dan Kepulauan Riau dari Singapura ke Indonesia merupakan hal yang cukup pelik. 
 
Pada 25 Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan alih kelola Flight Information Regional (FIR) di wilayah Natuna bakal dikuasai Indonesia. Namun, seiring ini banyak berkembang isu mengenai alih kelola FIR antara Singapura-Indonesia. 
 
Chappy memandang persoalan FIR tak bisa diselesaikan jika orang yang menyampaikannya tak mengerti tentang aviasi atau kedirgantaraan. Pasalnya, wawasan kedirgantaraan di Indonesia masih cukup rendah. 
 
"Sayangnya (pengalihan FIR), kita belum peroleh kejelasan yang lengkap, karena belum. Sementara isu berkembang di luar itu banyak, misalnya akan perpanjangan 25 tahun, kita akan delegasikan kembali ke Singapura, misalnya zero level ke 37 ribu feet itu ke Singapura," katanya dalam diskusi virtual, Kamis (3/2/2022). 
 
Adanya berbagai persoalan itu, kemudian yang mengundang tanggapan dari banyak guru besar hukum kedirgantaraan, akademisi, serta mereka yang berkutat di dunia aviasi. 
 
Chappy Hakim memandang, agar bisa keluar dari polemik ini, perlu lebih dulu menyamakan persepsi. Sehingga, bisa lebih terarah dalam membahas FIR Indonesia-Singapura ini. 
 
"Masalah ini akan mengundang polemik, bahaya dan destruktif karena pengetahuan banyak orang tentang aviation itu terbatas. Bayangan orang yang tidak tahu kan bertengkar kan akan chaos. Jadi kita harus cari penyelesaian dalam perspektif orang-orang yang mengerti manner. Kita harus mencari kesepakatan dengan meletakkan masalah di meja dan mengolah di meja. Jangan salahkan siapa-siapa," lanjut dia. 
 
"Kita tak bisa selesaikan dengan otot, kita tak bisa selesaikan dengan nuding orang nyinyir, tak akan selesai," imbuhnya. 
 
Ia menyarankan, perlu membahas ini dengan duduk bersama dan melakukan diskusi. Ini pula yang dilakukannya di PSAPI. 
 
"Bagi yang memiliki pengetahuan bisa berbagi, dan pusat studi air power adalah wadah bagi para ahli, praktisi di kedirgantaraan untuk sama-sama bahas dua hal, ide dan hot issue," katanya. 
 
Persoalan Sulit 
 
Chappy menambahkan persoalan ini sulit dimengerti oleh orang yang tak dekat dengan dunia penerbangan. Bahkan, sulit juga membicarakan dengan orang yang tak mengalaminya. 
 
Sebagai negara, Indonesia perlu mampu mengelola wilayah udaranya. Ini juga berkaitan dengan keamanan wilayah udara nasional. 
 
"Pengertiannya sederhana, sebagai negara kita harus mampu kelola udara kita. Selama tak punya kemampuan, paling tidak memiliki kemauan untuk kelola, maka lupakan saja. Kita siap jadi orang-orang yang diremehkan, dilecehkan," jelas dia. 
 
"Kenapa? Gimana angkatan udara dari sebuah negara besar tehambat melaksanakan tugas negara hanya karena tak miliki otorisasi di wilayah sendiri," imbuhnya.

Ambil Alih FIR Natuna, Pesawat Patroli RI Tak Perlu Lagi Izin Singapura

MOU FIR Re-alignment antara Indonesia (RI) dan Singapura (SIN)
MOU FIR Re-alignment antara Indonesia (RI) dan Singapura (SIN).

Indonesia-Singapura diketahui telah meneken kesepakatan ruang udara atau Flight Information Region (FIR) di Kawasan Natuna. Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto menuturkan dengan adanya perjanjian itu banyak keuntungan yang didapat dari Indonesia.

"Saya tidak sebutkan semua. Tapi satu, contohnya ,apabila pesawat Kita terbang dari Natuna mau ke Halim, itu yang dulu harus mendapatkan clearance Malaysia Bagian lower (Natuna) dan Singapura bagian upper (Natuna), Sekarang tidak perlu lagi," katanya dalam diskusi virtual, Kamis (3/2).

Dia menjelaskan pesawat itu nantinya akan dikontrol di Jakarta dan sepenuhnya diarahkan serta diberikan layanan. Baik itu komunikasi, navigasi, surveillance dan layanan lain.

"Seluruhnya oleh Indonesia, contohnya pesawat kita mau patroli di daerah situ, tidak diperlukan clearance dari negara lain, kerahasiaan, keamanan keselamatan ditanggung oleh kita sendiri, tidak perlu memberitahukan negara lain, termasuk juga pesawat Bea cukai," ungkapnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya