Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap alasan belum diterpakannya pajak karbon atau carbon tax. Ia menyebut semua negara masihi fokus menangani dampak dari pandemi Covid-19.
Dengan begitu, Sri Mulyani mengatakan, pihaknya masih menunggu waktu yang tepat untuk menerapkan pajak karbon dan perdagangan karbon. Sehingga tak akan berdampak pada upaya pemulihan ekonomi.
Advertisement
Baca Juga
"Kita sangat perhatikan risiko dari keseluruhan perekonomian," kata dia kepada wartawan di Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7/2022).
Advertisement
"Karena kan seluruh dunia fokusnya downside risk-nya adalah kepada kenaikan inflasi yang diikuti dengan tightening monetary policy dengan kenaikan suku bunga dan likuiditas dan bisa menciptakan konsekuensi dalam bentuk resesi," jelasnya.
ia menerangkan, bagian itu menjadi penting untuk lebih dulu dipikirkan saat ini. Meski, ia mengaku telah menyusun mekanisme pengambilan pajak dan perdagangan karbon.
"Jadi kita harus fokus meng-introduce jangan sampai kita menciptakan policy yang memperburuk risiko yang sedang terjadi pada level global. namun tidak berarti persiapan teknis dan mekanismenya (diabaikan), kita tetap lakukan," katanya.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Uji Coba
Pada kesempatan itu, ia juga mengungkap telah melakukan uji coba skema penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon. ia menekankan mekanismenya terus disiapkan lebih lanjut.
"Mengenai komitmen policy regulasi maupun mekanisme termasuk carbon tax itu kita siapkan terus, kita bekerja sama dengan kementerian terkait terutama dengan PLN untuk carbon tax ini," katanya.
Tahapan selanjutnya, dalam melakukan uji coba, masih menenrapkan mekanisme yang terbatas. Ini sebagai langkah awal penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon tersebut.
"Kita akan terus menguji cobakan dari mekanismenya masih limited terbatas dalam balancidnya pln sendiri. Itu dilakukan dengan tadi cap and trade nya nanti dari sisi keandalan perdagangan carbon mekanismenya cap and trade nanti kita introduce carbon price nya yang sekarang kita sudah introduce pada level yang cukup rendah sebagai awalan, sampai kemudian mekanisme itu makin membangun reputasi dan releabilitasnya," paparnya.
Â
Advertisement
Batal Diterapkan 1 Juli 2022
Sebelumnya diberitakan, pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon. Rencana awal, pajak karbon akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Ini merupakan penundaan kedua kalinya di tahun ini setelah sebelumnya juga pernah ditunda penerapannya pada April 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, alasan penundaan penerapan pajak karbon karena lonjakan harga komoditas energi dan pangan dalam beberapa waktu ini. Kenaikan harga ini menghambat laju pertumbuhan ekonomi global.
"Saat ini, fokus utama pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik," ujar Febrio dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (24/6/2022).
Meski demikian, Pajak karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara dengan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi pada tahun 2022 sesuai amanat UU HPP. Pajak Karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Selain itu, Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan Pajak Karbon pada tahun 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20. Di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) fen9 memensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal).
"Dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya," jelas Febrio.
Â
Fungsi APBN
Lebih lanjut, Febrio memastikan pemerintah akan memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.
APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) menjadi instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dan rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global.
Kemudian, Pemerintah terus menguatkan upaya penanggulangan perubahan iklim dalam rangka melaksanakan komitmen jangka pendek, menengah, dan panjang.
Sebagaimana dimaklumi, dalam jangka menengah, Pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan (Nationally Determined Contributions-NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Advertisement