Liputan6.com, Jakarta Chief Economist Bank Permata Josua Pardede meminta adanya kewaspadaan atas tingginya inflasi yang bakal melebihi perkiraan tiga persen plus minus satu persen pada akhir tahun.
"Kita juga melihat ada beberapa risiko terkait dengan kenaikan inflasi global yang bisa berpotensi mempengaruhi inflasi domestik," kata Josua di Jakarta, Selasa.
Baca Juga
Josua mengatakan tingginya inflasi bisa menjadi penghambat terbesar pertumbuhan ekonomi karena dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan tingkat konsumsi secara keseluruhan.
Advertisement
Saat ini, tingginya laju inflasi menjadi perhatian khusus di berbagai negara karena berpotensi memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan dan memperketat likuiditas yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat inflasi pada Juni 2022 sebesar 0,61 persen, sehingga inflasi tahun ke tahun (yoy) mencapai 4,35 persen atau yang tertinggi sejak Juni 2017.
Bank Indonesia (BI) melalui Survei Pemantauan Harga juga mencatat inflasi untuk Juli 2022 hingga minggu kedua telah mencapai 0,59 persen karena tingginya harga cabai merah, bawang merah serta tarif angkutan udara.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan inflasi akhir tahun 2022 bisa berada pada kisaran 4,2 persen (yoy) atau melebihi sasaran tiga persen plus minus satu persen, karena pengaruh kondisi global.
Meski berpotensi melewati sasaran, ia menyakini kondisi inflasi Indonesia masih lebih baik dari negara-negara lain, karena adanya koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan dalam stabilisasi harga.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bos IMF Ramal Inflasi Baru Terkendali Tahun Depan
Sebelumnya, Direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa suku bunga global kemungkinan akan terus meningkat hingga 2023, ketika harga yang memanas akan mulai mendingin sebagai tanggapan atas tindakan dari bank sentral.
Meski harga komoditas, seperti minyak, telah menurun dalam beberapa bulan terakhir, Georgieva memperingatkan penurunan itu adalah tanggapan terhadap risiko resesi dan belum tentu karena inflasi telah terkendali.
"Bank-bank sentral sedang melangkah untuk mengendalikan inflasi, itu adalah prioritas. Mereka harus terus berjalan sampai jelas bahwa ekspektasi inflasi tetap tertambat dengan kuat," kata Georgieva, dikutip dari CNBC International, Senin (18/7/2022).
"Saat ini kita masih melihat inflasi naik, kita harus menyiramnya dengan air dingin," ujar dia pada pertemuan G-20 di Bali.
Gangguan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 telah mendorong kemacetan rantai pasokan, ditambah dengan dampak perang Rusia-Ukraina.
Situasi tersebut memicu lonjakan harga barang-barang termasuk kebutuhan pokok seperti pangan, pupuk dan energi.
Harga pangan global mencapai titik tertinggi sepanjang masa antara Maret dan April 2022 ini, menurut Bank Dunia.
Indeks Harga Komoditas Pangan Bank Dunia untuk Maret-April naik 15 persen selama dua bulan sebelumnya dan lebih dari 80 persen lebih tinggi dari dua tahun lalu.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga mengatakan dalam pertemuan G-20 pada Jumat (15/7) bahwa kekurangan gizi global akan meningkat sebesar 7,6 juta tahun ini, dan meningkat lagi sebesar 19 juta pada 2023 mendatang.
Advertisement
Harga Minyak Mulai Turun, Tapi Bahaya Inflasi Masih Menghantui
Harga minyak telah mendatar dan mulai menurun, jatuh dari level tertinggi USD 120 per barel pada awal Juni 2022 menjadi di bawah USD 100 per barel minggu ini.
Namun, inflasi konsumen di AS mencatat rekor tertinggi dalam 40 tahun sebesar 9,1 persen bulan lalu, suatu kondisi yang diakui Menteri Keuangan Janet Yellen di G-20 sebagai inflasi yang ssangat tinggi.
Georgieva mengatakan kepada CNBC bahwa sangat penting untuk mengendalikan inflasi, jika tidak pendapatan akan terkikis - berisiko memukul ekonomi negara termiskin di dunia.
Adapun Menkeu AS Janet Yellen yang mengatakan kepada G-20 tentang pentingnya bagi pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan pedoman dan tanggapan kebijakan yang akan "meminimalkan durasi dan keparahan resesi" serta "mengurangi konsekuensi ekonomi yang merugikan. pada perusahaan dan individu.
Saat menjelaskan terkait buku pedoman Indonesia, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa mengendalikan permintaan adalah kunci saat ini karena langkah-langkah pelonggaran fiskal dan moneter yang dilakukan pada awal pandemi Covid-19 telah memulihkan permintaan tetapi tidak memasok.
Indonesia, mengangkat batas defisit fiskal 3 persen – selama tiga tahun – untuk menyuntikkan stimulus dalam perekonomian melawan kondisi yang ditimbulkan oleh pandemi, katanya.
"Kitai harus mengakui bahwa permintaan telah didorong oleh kebijakan countercyclical," ujar Sri Mulyani.
"Dua tahun lalu, kita berusaha menyelamatkan ekonomi dari keruntuhan pasokan dan permintaan karena pandemi." Namun Sri Mulyani mengatakan, sejak itu pemulihan permintaan telah melampaui pasokan.