Pelabelan BPA Dinilai Mendesak, Ini Manfaatnya

Sejumlah asosiasi mendukung upaya pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan menerapkan pelabelan risiko bisphenol A (BPA) pada galon

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Sep 2022, 21:27 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2022, 16:45 WIB
Ilustrasi botol plastik mengandung Bisphenol-A (BPA)
Ilustrasi botol plastik mengandung Bisphenol-A (BPA) Foto: Mali Maeder dari Pexels.

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah asosiasi mendukung upaya pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan menerapkan pelabelan risiko bisphenol A (BPA) pada galon guna ulang berbahan polikarbonat.

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Sofyan S. Panjaitan mengatakan semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA.

"Memang sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via Label & iklan pangan," katanya dikutip dari Antara, Sabtu (17/9/2022).

Terkait tentangan dari kalangan industri atas regulasi ini, Sofyan menilai hal tersebut lantaran industri belum memiliki usulan yang sesuai atas redaksi pelabelan BPA pada kemasan galon guna ulang.

"Regulasi BPA nantinya dapat dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik. Perbaikan tersebut, dapat berupa kewajiban pencantuman logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang tanpa terkecuali," katanya.

Sementara, Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, Budi Dharmawan meminta agar pelaku depot air minum mendukung pemerintah dalam hal menjaga kesehatan konsumen.

Menurut dia, wajar jika terjadi perubahan yang bersifat disruptif pada industri air minum kemasan. Terlebih bisnis air minum telah berumur lebih dari 50 tahun.

"Sejak awal kami sudah menyatakan dukungan kami ke BPOM. Kami melihat bahwa pelabelan tersebut pada dasarnya demi keamanan kesehatan konsumen dan dunia usaha justru mendatangkan keuntungan dengan pelabelan tersebut dengan cara mengadaptasi value chain dari bisnis itu sendiri," katanya.

 

Lindungi Masyarakat

Bahaya Simpan Struk Belanja
BPA Free / Sumber: iStockphoto

Sebelumnya epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menyatakan wacana regulasi pelabelan Bisfenol A (BPA) harus segera diwujudkan demi melindungi kesehatan dan keselamatan publik.

"BPA berpotensi membahayakan kesehatan dan keselamatan publik. Di samping itu, regulasi pelabelan BPA justru menjadi upaya dalam mengedukasi masyarakat," katanya..

Pandu mengingatkan bahaya BPA yang fungsinya menjadikan plastik keras dan jernih (tembus pandang), tetapi bisa berpindah ke makanan atau minuman.

Banyak penelitian menunjukkan kandungan BPA sudah ditemukan pada cairan kemih dan pada binatang.

Saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah merampungkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat. Jenis plastik ini pembuatannya menggunakan BPA dan mendominasi pasar.

Nantinya, lanjut Pandu, produsen galon jenis tersebut akan diwajibkan untuk mencantumkan label peringatan "Berpontensi Mengandung BPA" terhitung tiga tahun sejak aturan disahkan.

"Tujuan pelabelan BPA semata melindungi masyarakat. Jadi industri tak perlu berlebihan dalam bersikap," katanya.

Terkait Pelabelan BPA, DPR RI Imbau BPOM Lakukan Penelitian Libatkan Banyak Ahli

Ilustrasi riset, penelitian, peneliti, ilmuwan
Ilustrasi riset, penelitian, peneliti, ilmuwan. Kredit: Michal Jarmoluk via Pixabay

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengapresiasi upaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam melindungi kesehatan masyarakat. Namun, terkait pelabelan BPA pada galon guna ulang, masih dirasa belum perlu.

DPR RI justru meminta BPOM untuk tak buru-buru membuat aturan tentang pelabelan tersebut karena dinilai tak ada urgensinya untuk rakyat.

Menurut Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rahmat Handoyo, justru BPOM seharusnya melakukan penelitian yang komprehensif di dalam negeri, dengan melibatkan stakeholder sebanyak mungkin.

Tak hanya melibatkan peneliti yang pro dengan pendapat BPOM, tapi yang tidak sependapat juga harus dilibatkan.

Penelitian ini, kata Rahmat, perlu dilakukan karena persoalan pelabelan BPA bukan hanya berdampak pada industri dan bisnis, tapi juga lingkungan berupa peningkatan sampah plastik.

"Sebaiknya bukan hanya penelitian di luar negeri yang digunakan, tetapi juga penelitian di dalam negeri," kata Rahmat dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Rabu, 14 September 2022.

Dalam hal ini, dokter, akademisi, dan NGO harus dilibatkan. "Jangan serta merta," dia melanjutkan.

Kalau ternyata hasilnya diketahui BPA ada kaitan langsung dengan penyakit, Rahmat, mengatakan, silakan aturan tersebut dibikin.

"Tapi kalau enggak ada kaitannya, ya, jangan atau dikait-kaitkan," katanya.

Kalau Perlu Libatkan IDI Hingga Ahli Kimia

Rahmat menekankan bahwa penelitian yang komprehensif dibutuhkan karena kebijakan ini akan berdampak pada sektor industri dan bisnis.

"Sekali lagi, harus bikin penelitian di Indonesia. Silakan duduk bersama kembali, libatkan IDI, asosiasi, dokter, peneliti, ahli kimia, kalangan industri. Benar atau tidak ada masalah. Kalau enggak ada masalah, ya, jangan diatur, kasihan industri," ujarnya.

Menurut Rahmat sebuah kebijakan tidak harus dipaksakan jika tidak sesuai dengan kondisi di dalam negeri.

Ia mencontohkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang beberapa kali tidak memaksakan kehendak ketika rencana aturan yang akan dibuat menimbulkan pro dan kontra yang meluas di kalangan masyarakat.

Dilanjutkan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Lakalena bahwa hingga saat ini persoalan pelabelan BPA pada galon guna ulang belum dibahas oleh komisi. 

"Ini belum dibahas di komisi. Masih pro dan kontra," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya