Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan penyesuaian tarif listrik nonsubsidi di kuartal I atau hingga Maret 2023. Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan pihaknya hingga saat ini tengah melakukan kajian terhadap tarif adjusment di kuartal selanjutnya.
"Pak Menteri ESDM juga berkomunikasi dengan Presiden (Jokowi) sudah 2 bulan (tarif adjustment) ini tidak berlakukan. Kita melakukan kajian untuk triwulan yang kedua 1 April. Kita sudah perhitungkan," ujar Dadan dalam konferensi pers, di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Selasa (31/1).
Baca Juga
Perlu diketahui, penyesuaian tarif listrik nonsubsidi biasanya dilakukan setiap kuartal. Tetapi hal itu juga dipengaruhi oleh empat faktor, diantaranya nilai tukar, harga minyak, inflasi dan batu bara. Oleh karena itu pemerintah mempertimbangkan kondisi perekonomian setiap akan melakukan penyesuaian tarif listrik non subsidi.
Advertisement
Dadan menjelaskan, bahwa saat ini sedang menyaring data masyarakat mana saja yang berhak mendapatkan subsidi listrik. "Kami sedang pilah-pilah profil konsumen. Ada yang memakai 450 VA tapi punya mobil, misal kami ada data 9 juta data dengan foto kita pilah-pilah mencari cara yang paling pas," terang dia.
Sebagai informasi, PT PLN (Persero) siap menjalankan keputusan Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memutuskan untuk mempertahankan tarif listrik pada periode triwulan pertama tahun 2023.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan PLN berkomitmen untuk bisa memasok listrik andal untuk mendorong perekonomian nasional.
Apalagi, listrik yang andal merupakan jantung perekonomian nasional yang mampu meningkatkan produktivitas masyarakat dan juga mendorong daya saing industri.
Dia menjelaskan, pemerintah berkomitmen melindungi masyarakat dengan tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan rumah tangga 450-900 Volt Ampere (VA).
Begitu pula pelanggan nonsubsidi tidak mengalami kenaikan tarif pada periode ini dan tetap mendapatkan kompensasi.
"Listrik adalah jantung perekonomian nasional. Oleh karena itu, PLN siap menjaga pasokan listrik tetap andal dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat," ujar Darmawan, dalam keterangan resmi, Kamis (5/1).
Jangan Panik, Perdagangan Karbon Tak Bikin Tarif Listrik Naik
Pemerintah resmi memulai mekanisme perdagangan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, dan akan terus dikembangkan untuk sektor ketenagalistrikan lainnya guna menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjamin, implementasi perdagangan karbon ini tidak sampai membuat tarif listrik untuk masyarakat naik.
Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana berpendapat, kewajiban untuk memenuhi Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) tidak akan memberatkan perusahaan pembangkit listrik secara biaya.
"Kan ini angkanya berasal dari housekeeping, berasal dari peningkatan efisiensi yang tidak memerlukan biaya. Sehingga ini tidak mengakibatkan BPP (biaya pokok penyediaan) di pembangkit tersebut naik," terang Dadan di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Guna menghindari shock, ia mengatakan, pengenaan batas atas emisi di sektor ketenagalistrikan bakal dijalankan secara bertahap.
Untuk fase pertama, pemerintah target penurunan emisi 500 ribu ton CO2 dari penerapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Itu berarti 1/500 dari target penurunan 250 juta ton CO2 dari sektor ketenagalistrikan.
Ke depan, Dadan menyatakan, angka itu bakal dinaikkan secara bertahap. Ia pun memastikan perusahaan pembangkit listrik tidak akan mengeluarkan ongkos besar untuk proses tersebut.
"Upaya tersebut tuh tanpa biaya juga. Kita kan sudah pernah melakukan audit ke pembangkit. Misalkan kontrol pembakarannya di-setting lagi. Itu tuh yang akan kita lakukan di 1-3 tahun pertama," tutur dia.
Advertisement
Perdagangan Karbon PLTU Resmi Dimulai, Target Emisi Turun 500 Ribu Ton
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memulai perdagangan karbon di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap, atau PLTU berbasis batu bara. Tujuannya, untuk menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilaksanakan secara bertahap.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.
Lewat aturan tersebut, mekanisme perdagangan karbon tahap awal dimulai pada 2023-2024 untuk PLTU yang terhubung ke jaringan PLN. Targetnya, target penurunan emisi GRK sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 31,89 persen di 2030 bisa dimulai bertahap pada sektor kelistrikan, yakni 500 ribu ton.
"Tujuan utamanya adalah, memastikan bahwa terjadi penurunan emisi gas rumah kaca. Menurut saya outcome-nya harus ada nih, real penurunannya. Kita tidak ingin ini menjadi tukar menukar dokumen saja nanti, yang lebih membeli kepada yang kurang. Begitu ditotal ini balance-nya 0," kata Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, Selasa (24/1/2023).
Kendati emisi diturunkan, Dadan ingin suplai dan harga listrik ke masyarakat tetap andal serta terjangkau. Oleh karenanya, penetapan angka Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) di fase awal ini tetap bersahabat.
"Tapi kita pun akan melihat bahwa di ujungnya kita akan mendapat penurunan (emisi gas rumah kaca). Dari perhitungan kami, angkanya 500 ribu ton untuk tahun ini. Memang kalau melihat ke angka 240-250 juta ton yang berasal dari sektor ketenagalistrikan, angkanya 1/500. Tidak besar," terangnya.Â
Siap Beri Sanksi
Menurut dia, angka 500 ribu ton penurunan emisi di sektor kelistrikan ini sudah relatif besar. Secara perhitungan, PLTU dengan kapasitas 1 GW membuang emisi 5 juta ton. Artinya, ada 100 MW skala PLTU yang tidak dioperasikan.
"Kalau pakai PLTS, ini tinggal dikali 5. Jadi kira-kira nilainya sama dengan menyediakan listrik yang lebih bersih dengan skala 0,5-0,6 gw yang dibangun baru. Tapi kan kita tidak membangun, kita menggeser," jelas Dadan.
Dadan menekankan, pemerintah siap memberi sanksi bagi pembangkit listrik yang tidak memenuhi ketentuan batas atas emisi. Adapun alokasi PTBAE-PU untuk PLTU pada 2023 diberikan sebesar 100 persen kuota emisi untuk transaksi perdagangan karbon.
"Ini adalah regulasi wajib, ini adalah mandatori. Nanti gimana pak kalau saya tidak bisa memenuhi? Karena dalam permennya kan sanksinya relatively normal. Saya misalkan harusnya 100 (persen), bisanya 80 (persen)," jelasnya.
"Di tahun berikutnya, dikurangi 20 (persen) karena masih punya utang 20 (persen). Kalau enggak, kita bawa aja terus, kita akan catat, apakah nanti dikonversi jadi pajak karbon, misalkan. Karena sekarang kan belum siap," pungkas Dadan.  Â
Advertisement