IMF : Inggris jadi Negara G20 dengan Ekonomi Terburuk

IMF : kinerja ekonomi Inggris pada tahun 2023 akan menjadi yang terburuk di antara negara G20.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 12 Apr 2023, 11:42 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2023, 11:42 WIB
Inflasi Januari Inggris Turun Tiga Bulan Berturut-turut
Seorang pembelanja melihat barang-barang di kios suvenir di Oxford Street di London, Rabu (15/2/2023). Angka inflasi awal tahun ini juga berada di bawah ekspektasi pada ekonomi, tetapi harga pangan dan energi yang semakin tinggi menekan daya beli rumah tangga Inggris. (AP Photo/Kirsty Wigglesworth)

Liputan6.com, Jakarta Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi Inggris akan menjadi salah satu negara dengan kinerja ekonomi terburuk di dunia tahun ini.

Melansir BBC, Rabu (12/4/2023) IMF mengatakan bahwa kinerja ekonomi Inggris pada tahun 2023 akan menjadi yang terburuk di antara negara G20, termasuk Rusia yang terkena sanksi.

IMF memperkirakan ekonomi Inggris akan menyusut tahun ini, meskipun mencatat sedikit peningkatan dari perkiraan terakhirnya.

Badan itu sekarang memproyeksikan ekonomi Inggris akan menyusut 0,3 persen di 2023 dan tumbuh hanya 1 persen tahun depan.

Meskipun Inggris diperkirakan memiliki kinerja ekonomi terburuk tahun ini, prediksi terbaru IMF sedikit lebih baik dari ekspektasi sebelumnya, yang sempat meramal kontraksi 0,6 persen pada bulan Januari.

Lemahnya kinerja ekonomi Inggris, menurut IMF, didorong oleh tingginya harga gas, kenaikan suku bunga dan kinerja perdagangan yang lamban.

Menanggapi prediksi IMF terbaru, Kanselir Jeremy Hunt Inggris mengatakan bahwa "Perkiraan pertumbuhan IMF kami telah ditingkatkan lebih dari negara G7 lainnya".

"IMF sekarang mengatakan kami berada di jalur yang benar untuk pertumbuhan ekonomi. Dengan tetap berpegang pada rencana kami untuk mengurangi lebih dari separuh inflasi tahun ini, mengurangi tekanan pada masyarakat," ujarnya.

Adapun Gubernur Bank of England Andrew Bailey yang juga mengatakan baru-baru ini bahwa dia "jauh lebih optimis" pada ekonomi, dan yakin Inggris tidak lagi menuju resesi langsung.

 


Suku Bunga Diprediksi Bakal Turun

Tingkat Inflasi Inggris di Februari Melonjak Jadi 10,4 Persen
Data inflasi Inggris yang diterbitkan Rabu pagi menunjukkan inflasi harga konsumen tembus 10,4 persen pada Februari dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). (AP Photo/Alberto Pezzali)

Secara terpisah, IMF memperkirakan suku bunga riil - yang memperhitungkan inflasi - di negara ekonomi maju akan turun ke tingkat pra-pandemi karena produktivitas yang rendah dan populasi yang menua.

Seperti diketahui, bank-bank sentral di Inggris, AS, Eropa, dan negara-negara lain telah menaikkan suku bunga untuk melawan laju kenaikan harga, atau dikenal sebagai inflasi.

Di Inggris, inflasi berada pada titik tertinggi selama hampir 40 tahun karena kenaikan biaya energi dan melonjaknya harga pangan.

Sebagai tanggapan, Bank of England telah menaikkan suku bunga, dan bulan lalu menaikkannya menjadi 4,25 persen.

Namun, dalam sebuah blog IMF mengatakan bahwa "peningkatan suku bunga riil baru-baru ini cenderung bersifat sementara".


IMF Ramal Pertumbuhan Ekonomi Global Tak Sentuh 3 Persen di 2023, Ini Gara-garanya

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva. Dok: Twitter @KGeorgieva

Diwartakan sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan turun di bawah 3 persen pada tahun 2023 dan tetap di sekitar 3 persen untuk lima tahun ke depan. 

Ini menandai perkiraan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 1990, dan jauh di bawah pertumbuhan rata-rata 3,8 persen yang terlihat dalam dua dekade terakhir, kata Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva.

Mengutip Channel News Asia, Jumat (7/4/2023) Georgieva mengatakan kebijakan moneter dan fiskal yang kuat untuk menanggapi pandemi Covid-19 dan perang Rusia Ukraina telah menimbulkan dampak yang jauh lebih buruk dalam beberapa tahun terakhir, juga prospek pertumbuhan tetap lemah karena inflasi yang terus-menerus tinggi.

Kondisi itu diperparah oleh ambruknya bank di Swiss dan Amerika Serikat, meningkatkan risiko penurunan ekonomi global.

"Meskipun secara mengejutkan pasar tenaga kerja tangguh dan permintaan konsumen kuat, meskipun ada peningkatan di China, kami memperkirakan ekonomi dunia tumbuh kurang dari 3 persen tahun ini," kata Georgieva dalam pidato menjelang pertemuan musim semi IMF dan Bank Dunia pekan depan.

"Pertumbuhan secara historis tetap lemah sekarang dan dalam jangka menengah," ungkapnya.

"Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, dengan inflasi yang masih tinggi, pemulihan yang kuat tetap sulit dipahami, dan itu merugikan prospek semua orang, terutama bagi orang yang paling rentan dan negara yang paling rentan," ujarnya pada acara yang diselenggarakan oleh Meridian House dan Politico.


90 Persen Ekonomi Negara Maju Bakal Layu di 2023

Pecabutan PPKM untuk Genjot Ekonomi 2023
Sejumlah pekerja beraktivitas di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dinilai untuk menggenjot ekonomi Indonesia 2023 yang diproyeksi suram akibat resesi global. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Georgieva mengatakan India dan China akan mencapai setengah dari pertumbuhan global pada tahun 2023, tetapi sekitar 90 persen negara maju akan mengalami penurunan tahun ini.

Sementara negara-negara berpenghasilan rendah, yang dibebani oleh biaya pinjaman yang tinggi dan melemahnya permintaan ekspor mereka, akan melihat pertumbuhan pendapatan per kapita tetap di bawah ekonomi negara berkembang, katanya.

Karena itu, Kepala IMF menghimbau bank sentral untuk tetap berada di jalur meredam inflasi selama tekanan keuangan tetap terbatas, tetapi bersiap mengatasi risiko stabilitas keuangan melalui penyediaan likuiditas yang tepat.

Kegagalan bank baru-baru ini di Swiss dan Amerika Serikat telah mengungkap kegagalan manajemen risiko di bank tertentu dan penyimpangan pengawasan, sebut Georgieva. 

"Kuncinya adalah dengan hati-hati memantau risiko di bank dan lembaga keuangan non-bank, serta kelemahan di sektor-sektor seperti real estat komersial,” tambahnya. "Sekarang bukan waktunya untuk berpuas diri," Georgieva mengingatkan.

"Jelas risiko penurunan telah meningkat. Kami sekarang melihat beberapa risiko di sektor keuangan lebih terekspos," katanya, menambahkan bahwa dia memiliki "keyakinan penuh" bahwa bank sentral dan lembaga terkait lainnya sangat waspada terhadap bahaya tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya