Liputan6.com, Jakarta Kelompok pengembang properti yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) mengaku puas dengan penetapan harga rumah subsidi terbaru. Meskipun harga naik, pengembang pede demand atau permintaan pasar terhadap rumah subsidi tidak turun.
Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida menilai, kebijakan harga rumah subsidi yang telah ditetapkan pemerintah sudah sesuai dengan kondisi saat ini.
"Sudah, (kenaikan harga rumah subsidi) sudah mencukupi. Itu sudah kita sepakati sebelum keluar peraturannya," ujar Totok kepada Liputan6.com, Rabu (5/7/2023).
Advertisement
Adapun kebijakan soal harga rumah subsidi telah tertahan sejak terakhir ditetapkan per 2019 silam. Sebagai contoh, untuk wilayah Jabodetabek, harga rumah subsidi tertinggi dipatok Rp 168 juta, berlaku sejak 2020.
Dengan adanya Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, nilai jual rumah subsidi di kawasan Jabodetabek menjadi Rp 181 juta pada tahun ini, dan akan naik hingga batas maksimal Rp 185 juta di 2024.
Kendati begitu, Pengamat Perbankan Paul Sutaryono memperkirakan, kenaikan harga rumah subsidi bakal turut berdampak terhadap permintaan kredit pemilikan rumah (KPR). Menurutnya, lonjakan harga itu pastinya akan menghambat pengajuan kredit properti untuk KPR.
"Sudah barang tentu, kenaikan harga rumah subsidi bisa menekan pertumbuhan KPR," ujar Paul saat dihubungi terpisah.
KPR Rumah Subsidi
Tak hanya KPR, ia menilai pertumbuhan kredit properti untuk kredit pemilikan apartemen (KPA) hingga kredit real estate bakal ikut terganggu. Itu bisa terjadi jika lonjakan harga rumah subsidi diikuti kenaikan suku bunga KPR.
"Bahkan ketika kenaikan harga rumah subsidi itu ditambah kenaikan suku bunga KPR (jika ada) karena kenaikan suku bunga acuan BI (BI 7 day repo rate), bisa menekan pertumbuhan kredit properti," ungkapnya.
Harga Rumah Subsidi Naik, Permintaan KPR Bakal Melorot
Kenaikan harga rumah subsidi bakal turut berdampak terhadap permintaan kredit pemilikan rumah (KPR). Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menegaskan, lonjakan harga itu pastinya akan menghambat pengajuan kredit properti untuk KPR.
"Sudah barang tentu, kenaikan harga rumah subsidi bisa menekan pertumbuhan KPR," ujar Paul kepada Liputan6.com, Selasa (4/7/2023).
Tak hanya KPR, ia menilai pertumbuhan kredit properti untuk kredit pemilikan apartemen (KPA) hingga kredit real estate bakal ikut terganggu. Itu bisa terjadi jika lonjakan harga rumah subsidi diikuti kenaikan suku bunga KPR.
"Bahkan ketika kenaikan harga rumah bersubsidi itu ditambah kenaikan suku bunga KPR (jika ada) karena kenaikan suku bunga acuan BI (BI 7 day repo rate), bisa menekan pertumbuhan kredit properti," ungkapnya.
Adapun kenaikan harga rumah subsidi ditentukan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.
Kepmen PUPR tersebut merupakan tindak lanjut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Rumah Pekerja yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Menurut aturan itu, Kenaikan harga jual rumah umum tapak telah mempertimbangkan adanya kenaikan harga bahan bangunan dan lahan, serta keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah.
Advertisement
Daftar Batas Harga Jual Rumah Subsidi
Berikut batasan harga jual tertinggi rumah subsidi sesuai aturan terbaru:
- Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Sumatera (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai): Rp 162 juta (2023), Rp 166 juta (2024).
- Kalimantan (kecuali Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Mahakam Ulu): Rp 177 juta (2023), Rp 182 juta (2024).
- Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau (kecuali Kepulauan Anambas): Rp 168 juta (2023), Rp 173 juta (2024).
- Maluku, Maluku Utara, Bali dan Nusa Tenggara, Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kepulauan Anambas, Kabupaten Murung Raya, dan Kabupaten Mahakam Ulu: Rp 181 juta (2023), Rp 184 juta (2024).
- Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan: Rp 234 juta (2023), Rp 240 juta (2024).