Pembiayaan UMKM Masih Terpusat di Jawa-Bali

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengidentifikasi permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali sebesar Rp 2.000 Triliun

oleh Tira Santia diperbarui 14 Jul 2023, 14:45 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2023, 14:45 WIB
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki ingin menyulap kawasan Dolly, Kecamatan Putat Jaya, Surabaya menerapkan konsep kota masa depan (future cities).
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki ingin menyulap kawasan Dolly, Kecamatan Putat Jaya, Surabaya menerapkan konsep kota masa depan (future cities). Ini jadi upaya memperbaiki citra gang Dolly yang dulunya sarat akan wilayah prostitusi menjadi kawasan produktif yang memanfaatkan UMKM. (Dok. Kemenkop UKM)

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengidentifikasi permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali sebesar Rp 2.000 Triliun pada 2022 atau 62 persen dari total nasional.

"AFPI dan EY mengidentifikasi bahwa penyebaran permintaan pembiayaan di seluruh wilayah tidak seragam karena memiliki komposisi klaster yang unik," kata Ketua Bidang Humas AFPI sekaligus CEO & Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra, dalam peluncuran riset berjudul Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia, Jumat (14/7/2023).

Adapun pada 2022, total supply pembiayaan UMKM Rp 1.400 Triliun dan pada 2026 akan menjadi Rp 1.900 Triliun.

Disisi lain, AFPI mencatat segmen dengan pertumbuhan tertinggi terdapat di Indonesia Timur dengan skala Ultra Mikro dan Mikro (Segmen Bisnis Prospektif) yang memiliki laju pertumbuhan CAGR 23,1 persen antara 2022-2026.

Permintaan pembiayaan dari Indonesia Timur diperkirakan mencapai Rp 250 triliun pada 2026, dimana 24 persen atau sekitar Rp 60 triliun berasal dari kelompok Bisnis Prospektif.

"Namun, sampai saat ini akses pendanaan masih terbatas di daerah tersebut," ujarnya.

Sedangkan untuk usaha skala besar yang masih belum matang (Segmen Bisnis Konvensional Bertahan) masih mendominasi permintaan pembiayaan di Kalimantan.

Kondisi ini membutuhkan kombinasi program pembiayaan dan kesadaran untuk membantu UMKM tumbuh optimal.

 


Pengelompokan UMKM

Berburu Produk UMKM Unggulan di Pameran KKI 2019
Pengunjung melihat produk dalam pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (12/7/2019). Pameran ini menampilkan produk-produk UMKM RI mulai dari kain, pakaian, tas, hingga berbagai kuliner seperti kopi buatan anak negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Disamping itu, AFPI bekerja sama dengan EY Parthenon Indonesia meluncurkan riset yang mengelompokkan UMKM di Indonesia menjadi empat segmentasi yang lebih rinci, untuk mendukung pengambilan kebijakan pemberian pembiayaan dapat lebih tepat sasaran bagi pemangku kepentingan termasuk penyelenggara Fintech Peer to Peer (P2P) Lending demi memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui peranan UMKM.

Menurutnya, dengan memahami profil pembiayaan yang berbeda di setiap daerahnya, maka lembaga keuangan termasuk anggota AFPI dapat mengetahui potensi pendanaan yang dapat disalurkan.

"Dengab segmentasi klaster UMKM ini dapat menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dalam merumuskan inisiatif kebijakan utama yang sesuai dengan profil daerah masing-masing," pungkasnya.

 


Kebutuhan Kredit UMKM Diproyeksi Tembus Rp 4.300 Triliun di 2026

Proses pembuatan tas anyaman bambu yang ramah lingkungan olen pelaku UMKM Lingkungan Papring Banyuwangi (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)
Proses pembuatan tas anyaman bambu yang ramah lingkungan olen pelaku UMKM Lingkungan Papring Banyuwangi (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bekerja sama dengan EY Parthenon Indonesia meluncurkan riset berjudul Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia.

Riset tersebut mengelompokkan UMKM di Indonesia menjadi empat segmentasi yang lebih rinci untuk mendukung pengambilan kebijakan bagi pemangku kepentingan demi memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui peranan UMKM.

Sekretaris Jenderal AFPI, Sunu Widyatmoko mengatakan, dari riset tersebut diperoleh beberapa temuan yang menarik, salah satunya mengenai kredit gap.

"Dari riset ini ada beberapa temuan menarik terkait segmentasi UMKM yang dapat mendukung pengambilan kebijakan berdasarkan tingkat literasi agar penyaluran pendanaan dapat tepat sasaran," kata Sunu dalam peluncuran riset, Jumat (14/7/2023).

Sunu mengungkapkan, berdasarkan hasil riset EY, total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp 4.300 triliun dengan kemampuan suplai saat ini sebesar Rp 1.900 triliun.

Artinya, masih terdapat selisih Rp 2.400 triliun total pembiayaan sektor UMKM. Sehingga pda sektor ini diprediksi memiliki pertumbuhan kurang lebih 7 persen dari periode 2022 hingga 2026. Hal ini menyebabkan kredit gap akan terus bertambah.

"Jadi, selama ini sebelum ada riset ini, AFPI pelaku usaha menilai kredit gap yang diterbitkan bank dunia itu semakin mengecil, karena kita beranggapan telah membantu memberikan pinjaman ke unbankable, ternyata hasil dari riset ini menyatakan sebaliknya gap itu semakin besar," ujarnya. 

Kemudian riset ini juga menemukan kontribusi pembiayaan industri Fintech lending pada 2026 diprediksi hanya sebesar 1 persen dari total suplai dan tumbuh dengan laju 0,1 persen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya