Kesepakatan Negara G20 Disebut Tak Cukup Atasi Perubahan Iklim

Para pemimpin negara G20 sepakat meningkatkan kapasitas energi terbarukan global hingga tiga kali lipat untuk tahun 2030 mendatang.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 13 Sep 2023, 16:10 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2023, 16:10 WIB
Jokowi hadiri KTT G20 di Bharat Mandapam, IECC, Pragati Maidan, New Delhi, India, pada Sabtu, 9 September 2023. (Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)
Jokowi hadiri KTT G20 di Bharat Mandapam, IECC, Pragati Maidan, New Delhi, India, pada Sabtu, 9 September 2023. (Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta - Para pemimpin negara G20 sepakat meningkatkan kapasitas energi terbarukan global hingga tiga kali lipat untuk tahun 2030 mendatang. Kesepakatan itu diumumkan dalam Deklarasi Pertemuan Pemimpin Negara G20 di India.

Namun, menurut beberapa pakar, kesepakatan tersebut belum cukup ambisius untuk mencegah pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius.

Andreas Sieber, Associate Director of Policy and Campaigns 350.org, mengatakan bahwa kesepakatan tersebut merupakan langkah bersejarah dalam perang melawan krisis perubahan iklim. Namun menurutnya, kesepakatan ini saja tidak cukup.

Menurut Sieber, negara-negara G20 harus didesak untuk secara bertahap mengakhiri ketergantungan pada energi fosil.

Selain itu, negara-negara kaya harus menanggung beban tanggung jawab dan menyediakan pendanaan untuk mencapai komitmen peningkatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030.

“G20 seharusnya menunjukkan jalan menuju masa depan tanpa bahan bakar fosil. Meski mengakui kesimpulan IPCC terkait pengurangan emisi 43% pada 2030, G20 benar-benar gagal menyebutkan apapun terkait pengakhiran fosil, bahkan batu bara. Ini sinyal buruk bagi dunia, terutama untuk negara dan populasi termiskin dan paling rentan,” kata Sieber, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/9/2023).

Hal senada juga disampaikan oleh India Energy Transitions Lead E3G, Madhura Joshi.

“Upaya negara G20 sebelumnya untuk mengakhiri batu bara hanya mempertahankan status quo. Peningkatan energi terbarukan perlu didukung pengurangan bahan bakar fosil, keduanya diperlukan untuk transisi berkeadilan dan dunia netral karbon. Pembicaraan mengenai teknologi pengurangan emisi yang mahal dan belum terbukti, seharusnya tidak jadi alasan menunda aksi iklim. Semua mata kini memperhatikan COP28, bisa kah pemimpin dunia menghasilkan hal ini,” jelasnya.

Adapun Shruti Sharma, merupakan Senior Policy Advisor International Institute for Sustainable Development (IISD)

 

Belum Ada Kemajuan

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), emiten berkode PGEO siap menyambut pengembangan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT). (Foto: Pertamina Geothermal Energy)
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), emiten berkode PGEO siap menyambut pengembangan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT). (Foto: Pertamina Geothermal Energy)

Dia menyoroti deklarasi G20 tentang pentingnya mengatasi subsidi bahan bakar fosil. Namun, tidak ada kemajuan sejak Deklarasi Bali.

Shruti menjelaskan, selama 15 tahun pemimpin G20 terus mengulang komitmen untuk reformasi subsidi fosil, tetapi gagal menghasilkan kemajuan terkait transparansi, jadwal, dan mengurangi subsidi.

Pada 2022, anggaran publik untuk fosil negara G20 mencapai rekor US$ 1,4 triliun, menggarisbawahi masih besarnya sumber pendanaan yang dialokasikan ke sektor ini.

“Ketiadaan batas waktu yang jelas untuk mengakhiri subsidi bahan bakar fosil—seperti negara maju pada 2025 dan negara berkembang pada 2030—mengurangi akuntabilitas G20 mewujudkan komitmennya untuk mengakhiri dukungan ini pada 2009,” beber Sharma.

 

Butuh Aksi Nyata

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengikuti sesi kedua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 India pada Sabtu, (9/9/2023).
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengikuti sesi kedua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 India pada Sabtu, (9/9/2023) di Bharat Mandapam, IECC, Pragati Maidan, New Delhi, India. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Direktur Asia Selatan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Vibhuti Garg menuntut aksi nyata dari kesepakatan G20.

“Meskipun kesepakatan tersebut menyatakan perlu meningkatkan energi terbarukan hingga tiga kali lipat dan akses ke pendanaan rendah biaya di mana kebutuhannya diperkirakan US$ 4 triliun setiap tahun, kesepakatan itu hanya sebatas memfasilitasi dan bukan berkomitmen pada target tersebut. Walau kemajuannya cukup bagus, komitmen pada target energi terbarukan dan alokasi pendanaan bagi energi dan negara berkembang akan memperkuat komitmen negara-negara di dunia terkait isu krisis iklim,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya