Liputan6.com, Jakarta - Selain inflasi Amerika Serikat (AS) dan suku bunga, Gubernur Bank Sentral AS atau The Fed Jerome Powell kini ikut buka suara terkait dampak ekonomi dari konflik Israel-Hamas.
"Ketegangan geopolitik sangat tinggi dan menimbulkan risiko penting terhadap aktivitas perekonomian global," kata Powell dalam sebuah konferensi di New York, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (20/10/2023).
Baca Juga
"Berbicara sendiri, saya melihat serangan terhadap Israel sangat mengerikan, begitu pula kemungkinan hilangnya lebih banyak nyawa tak berdosa," lanjutnya.
Advertisement
Peran The Fed adalah memantau dampak ekonomi dari perkembangan ini, tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Powell juga mengingatkan bahwa inflasi AS masih terlalu tinggi meski sudah terjadi perlambatan. Hal ini membuka kemungkinan kenaikan suku bunga baru.
"Bukti tambahan dari pertumbuhan yang terus-menerus di atas tren atau tanda-tanda baru pengetatan pasar tenaga kerja dapat membenarkan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut," beber Powell.
"Perekonomian AS menangani suku bunga yang jauh lebih tinggi setidaknya untuk saat ini tanpa kesulitan," katanya.
"Apakah kebijakan saat ini terasa terlalu ketat? Saya harus mengatakan tidak," tambah dia.
Sebelumnya, IMF mengatakan masih terlalu dini untuk menilai dampak ekonomi dari peristiwa yang menewaskan ratusan jiwa tersebut."Kami sangat sedih atas hilangnya nyawa.
"Kami memantau situasi ini dengan cermat," kata juru bicara IMF, seraya menambahkan bahwa masih terlalu dini untuk mengatakan apa pun mengenai konsekuensi ekonomi, dikutip dari US News.
Potensi Tambah Krisis
Ekonom juga di Bank for International Settlements telah mengingatkan hal serupa.
Tetapi dia mengakui, konflik ini berpotensi menambah kekhawatiran yang tidak dapat diprediksi terhadap perekonomian global yang sudah melambat, serta pasar AS masih beradaptasi dengan kemungkinan bahwa Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan apa dampaknya, meskipun pasar minyak dan ekuitas mungkin akan terkena dampak langsung," kata Agustin Carstens, manajer umum di Bank for International Settlements, dikutip Selasa (10/10).
"Sumber ketidakpastian ekonomi apa pun akan menunda pengambilan keputusan, meningkatkan premi risiko, dan terutama mengingat wilayah tersebut…ada kekhawatiran mengenai di mana minyak akan dibuka," ungkap Carl Tannenbaum, kepala ekonom Northern Trust.
"Pasar juga akan mengikuti skenario yang ada. Pertanyaannya adalah apakah pengulangan akan membuat keseimbangan jangka panjang menjadi tidak seimbang?" ujarnya.
Advertisement
Bank Dunia Desak Deeskalasi Konflik Israel-Hamas
Bank Dunia juga ikut buka suara menanggapi pecahnya konflik antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas.
Mengutip US News, Selasa (10/10/2023) Bank Dunia dalam pernyataannya mendesak deeskalasi cepat untuk konflik di Israel dan Gaza.
Pernyataan itu dikeluarkan Bank Dunia beberapa hari menjelang pertemuan tahunannya dengan Dana Moneter Internasional (IMF) di Maroko, yang dijadwalkan mulai 15 Oktober mendatang.
"Kami mengharapkan peredaan konflik dan diakhirinya kekerasan dengan celar. Bank Dunia dan mitra pembangunan kami telah lama bekerja untuk mendukung masyarakat termiskin dan paling rentan di Tepi Barat dan Gaza, dan kami tetap berkomitmen untuk membangun perdamaian. fondasi untuk masa depan yang lebih stabil dan berkelanjutan," kata Bank Dunia.
Pertemuan tahunan pada 9-15 Oktober di Marrakesh diperkirakan akan fokus pada peningkatan sumber daya untuk IMF dan Bank Dunia. Namun perhatian banyak pejabat pemerintah dan perwakilan nirlaba pada hari pertama beralih pada kemungkinan konflik yang lebih luas.
"Kami semua sangat terkejut dengan besarnya jumlah korban di kedua belah pihak," kata Anna Bjerde, direktur pelaksana operasi Bank Dunia dalam sebuah wawancara.
Seperti diketahui, konflik Israel-Hamas sempat mendorong kenaikan harga minyak dunia dan mendorong masuknya aset-aset safe-haven seperti emas.
Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill melihat kemungkinan bahwa konflik tersebut akan menjadi salah satu diskusi penting pada pertemuan IMF-Bank Dunia yang membahas utang negara, prospek pertumbuhan yang buruk, dan kemunduran besar dalam pembangunan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.
"Negara-negara berpendapatan rendah selalu menjadi perhatian Anda, dan ada 750 juta orang yang tinggal di sana," ujar ekonom Bank Dunia.