Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berbicara soal gender. Hingga kini kesenjangan gender masih menjadi persoalan di dalam negeri ini.
Menurutnya, banyak yang berpikir ketika berbicara gender seolah-seolah senantiasa bicara mengenai perempuan. Padahal gender adalah sebuah konstruksi sosial, perempuan dan laki-laki.
Baca Juga
"Meski begitu, diukur dari berbagai indikator, kesenjangan gender masih sangat-sangat persistent," tulis Sri Mulyani diakun instagram pribadinya saat menghadiri Seminar Pengarusutamaan Gender Kemenkeu:APBN Responsif Gender Menuju Indonesia Emas 2045, dikutip Sabtu (25/11/2023).
Advertisement
Menurutnya, diakui atau tidak, perempuan dalam konstruksi sosial masih berada di situasi yang tertinggal. Dalam berbagai hal, baik itu kesejahteraan dan juga keselamatan.
"Kita semua pasti dilahirkan oleh perempuan. Tentu tidak berlebihan jika perempuan seperti Ibu kita berhak mendapatkan paling tidak rasa aman dan kesehatan. Bukan karena perempuan ingin diistimewakan, tapi memang perempuan diciptakan berbeda, dengan segala kompleksitasnya," ujarnya.
Oleh karena itu, bendahara negara ini mendorong jajaran Kementerian Keuangan untuk bisa menciptakan martabat kemanusiaan yang adil dan beradab dengan memakai lensa optik, cara pandang, dan cara bekerja yang peka terhadap gender.
"Kita perlu mendesain kebijakan yang simetris pengaruhnya kepada perempuan maupun laki-laki," katanya.
Sri Mulyani mecontohkan, dalam penanganan bencana, pemberian bantuan bisa saja kurang memperhatikan kebutuhan perempuan. Padahal perempuan memiliki kebutuhan dan penanganan yang berbeda.
Sama halnya dalam mendesain infrastruktur, menurutnya perlu memikirkan bagaimana dampaknya terhadap perempuan. Apakah bisa membantu mobilitas dan memberikan proteksi yang memadai.
"Inilah sensitivitas, kepekaan, dan empati yang kita perlukan sebagai pemangku kebijakan. Saya ingin @kemenkeuri selalu menjadi champions di bidang itu," pungkasnya.
Pendapatan Negara hingga Oktober 2023 Tembus Rp 2.240 Triliun, 90,9% dari Target
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat pendapatan negara yang berasal dari pajak, bea dan cukai serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah mencapai Rp 2.240,1 triliun.
“Ini artinya 90,9% dari target (APBN) tahun ini sudah terkumpulkan dan ini naik 2,8% dari tahun lalu,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi November 2023, Jumat (24/11/2023).
Menkeu lebih lanjut mengungkapkan, belanja negara sampai dengan akhir Oktober 2023 telag mencapai Rp 2.240,8 triliun. Angka ini hampir sama angkanya secara nominal antara pendapatan dan belanja negara.
“Namun belanja negara ini baru 73,2% dari total pagu anggaran yang ada di dalam undang-undang APBN,” beber Sri Mulyani, seraya menambahkan bahwa Ini artinya belanja negara dari tahun lalu turun 4,7% dari sisi posisi akhir Oktober 2023.
“Dengan posisi ini, maka postur APBN sudah mulai defisit sebesar Rp. 700 miliar atau 0,003% dari PDB. Namun dari sisi keseimbangan primer surplus Rp. 365,4 Triliun,” paparnya.
Kemudian dari sisi belanja pemerintah, APBN telah membelanjakan untuk pemerintah pusat sebesar 1.572,7 triliun atau 70% dari total pagu anggaran atau anggaran yang sudah dianggarkan untuk tahun ini.
Untuk pemerintah pusat, belanja Kementerian/Lembaga telah mencapai Rp. 768,7 triliun atau 76,8% dari total pagu yang sudah ditetapkan bagi seluruh kementerian dan lembaga.
Sri Mulyani mengatakan, “Ini terutama belanja yang cukup terlihat adalah dari mulai pelaksanaan Pemilu, pembangunan IKN, hingga penyelesaian infrastruktur”.
Advertisement
Pendapatan Negara dari Pajak Natura Tak Besar, Tapi Ciptakan Keadilan
Sebelumnya, pemerintah resmi menetapkan pemotongan pajak natura dan kenikmatan (fasilitas non tunai) yang diterima karyawan mulai 1 Juli 2023. Dengan begitu, beberapa barang, fasilitas atau kenikmatan dari kantor atau natura akan menjadi objek pajak penghasilan (PPh).
Namun begitu, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai, potensi penerimaan negara dari objek pajak baru tersebut tidak akan terlalu signifikan.
"Menurut pandangan saya ini bukan masalah berapa besar potensinya, tapi terkait ketaatan dan keadilan pajak," ujar Piter kepada Liputan6.com, Jumat (7/7/2023).
"Mereka yang mendapatkan penghasilan baik penghasilan cash maupun natura harus diperlakukan sama. Kalau dari sisi berapa yang akan diterima, menurut saya tidak akan sangat-sangat besar," ungkapnya.
Piter menganggap pengenaan pajak natura ini bakal menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan. Sebab, mereka yang mendapatkan penghasilan natura hanya kelompok jabatan tertentu, tidak semua jabatan.
"Jadi walaupun secara individu bisa terhitung besar, tetap secara agregat tidak akan sangat-sangat besar. Tapi dengan pengenaan pajak natura ini akan lebih adil," kata Piter.
Adapun kebijakan terkait pajak natura atau kenikmatan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan akan menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh).
Namun, tidak semua fasilitas yang diberikan pemberi kerja atau perusahan menjadi objek pajak. Sehingga natura dan/atau kenikmatan dalam jenis dan batasan nilai tertentu dikecualikan dari objek PPh.