Biaya Membesarkan Anak di China Termasuk Termahal di Dunia, Capai Rp 1,4 miliar

Biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun di China kini setara 6,3 kali lebih tinggi dibandingkan PDB per kapita negara itu.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Feb 2024, 14:00 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2024, 14:00 WIB
China Longgarkan Pembatasan Covid-19, Aktivitas Bisnis Kembali Dibuka
Warga yang memakai masker melintasi persimpangan di Beijing, China, Jumat (2/12/2022). Lebih banyak kota melonggarkan pembatasan, memungkinkan pusat perbelanjaan, supermarket, dan bisnis lainnya dibuka kembali menyusul protes akhir pekan lalu di Shanghai dan daerah lain di mana beberapa orang menyerukan Presiden Xi Jinping untuk mengundurkan diri. (AP Photo/Ng Han Guan)

Liputan6.com, Jakarta China menjadi salah satu negara dengan biaya membesarkan anak termahal di dunia. Hal itu diungkapkan dalam sebuah laporan yang dirilis oleh YuWa Population Research Institute, yang berbasis di China.

Melansir CNN Business, Jumat (23/2/2024) laporan YuWa Population Research Institute menemukan bahwa rata-rata biaya di China untuk membesarkan anak sejak lahir hingga usia 17 tahun, adalah sekitar USD 74,800 atau setara Rp 1,1 miliar.

Biaya tersebut dapat naik menjadi lebih dari USD 94,500 atau Rp 1,4 miliar untuk membiayai seorang anak hingga mencapai gelar sarjana.

Laporan tersebut menyoroti, biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun di China kini setara 6,3 kali lebih tinggi dibandingkan PDB per kapita negara itu.

Adapun negara tetangga China di Asia Timur, yakni Korea Selatan, yang memiliki biaya paling besar untuk membesarkan anak yaitu 7,79 kali PDB per kapita.

Sebagai perbandingan, laporan tersebut menyatakan bahwa biaya di Australia hanya 2,08 kali PDB per kapita, 2,24 kali di Perancis, 4,11 kali di Amerika Serikat, dan 4,26 kali di Jepang.

"Karena alasan-alasan seperti tingginya biaya melahirkan anak dan kesulitan bagi perempuan untuk menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan, keinginan masyarakat China untuk memiliki anak hampir menjadi yang terendah di dunia," kata YuWa Population Research Institute dalam laporannya.

"Tidaklah berlebihan untuk menggambarkan situasi populasi saat ini sebagai penurunan jumlah kelahiran," sebut laporan itu.

Populasi China sendiri telah menyusut selama dua tahun terakhir, dengan tahun 2023 menandai angka kelahiran terendah sejak berdirinya Partai Komunis China pada tahun 1949.

Di tahun lalu juga, China dilampaui oleh India sebagai negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia.

Pertimbangan yang Berat bagi Perempuan di China

Suhu Panas Beijing China
Maksimum harian yang dicatat pada hari Kamis adalah yang tertinggi kedua dalam sejarah kota itu, tepat di bawah 41,9 derajat celsius yang dicatat oleh Beijing pada 24 Juli 1999. (AP Photo/Andy Wong)

Krisis demografi memberikan dampak yang signifikan bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu, dan semakin parah dalam beberapa tahun terakhir meskipun pihak berwenang berupaya membalikkan tren tersebut setelah beberapa dekade menerapkan kebijakan pembatasan kelahiran.

Meskipun pemerintah China telah melonggarkan batasan jumlah anak per pasangan, peluncuran kampanye nasional yang mendorong keluarga untuk memiliki lebih banyak anak, dan menawarkan kemudahan finansial, hanya menghasilkam sedikit perubahan, sebagian karena bagi banyak perempuan, pengorbanan yang dilakukan tidak sebanding dengan apa yang telah mereka terima, menurut laporan YuWa.

Laporan YuWa menyebut, perempuan yang mengambil cuti melahirkan mungkin menghadapi perlakuan tidak adil di tempat kerja seperti dipindahkan ke tim lain, dipotong gajinya, atau kehilangan peluang promosi.

Laporan tersebut menambahkan bahwa jika biaya cuti melahirkan sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan tanpa bantuan pemerintah, maka pemberi kerja mungkin akan menghindari perekrutan perempuan dalam usia subur – sesuatu yang sudah banyak terlihat di China, dengan adanya laporan bahwa perempuan ditanyai tentang keluarga berencana saat wawancara kerja, atau dilewatkan untuk peran meskipun mereka tidak berencana untuk memiliki anak.

Ibu-ibu Sulit Mendapat Pekerjaan

Istana Kota Terlarang di China Berselimut Salju
Salju turun di sebagian besar wilayah China utara dan tengah pada hari Senin, dan turun lagi pada hari Rabu dan Kamis. (AP Photo/Andy Wong)

Meskipun beberapa perempuan berhenti bekerja sambil membesarkan anak-anak mereka, hal ini membuat kembali bekerja menjadi sangat sulit.

Perempuan yang memiliki anak di China mungkin mengalami penurunan gaji sebesar 12 persen hingga 17 persen, kata laporan tersebut, mengutip penelitian dari berbagai makalah.

Kabar baiknya, perempuan di China kini lebih berpendidikan dan mandiri secara ekonomi, dan kini jumlah perempuan yang mengikuti program pendidikan tinggi melebihi laki-laki.

Dengan begitu banyak kemajuan yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir, di kana perempuan semakin memprioritaskan karir dan pengembangan diri mereka dibandingkan hal-hal tradisional seperti pernikahan dan melahirkan, kata para ahli sebelumnya.

Lingkungan Tak Kondusif

Laporan Studi YuWa juha menunjukkan bahwa perempuan di China, terutama bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, bersih-bersih, dan berbelanja, serta mengurus anak, termasuk mengurus sekolah, membantu pekerjaan rumah, dan memberikan bimbingan belajar.

Mengutip makalah tahun 2018, laporan tersebut mengatakan bahwa hal ini berarti perempuan kehilangan hampir lima jam setiap hari waktu luang dan waktu kerja berbayar, dan hampir seluruh jam tersebut dihabiskan untuk pekerjaan rumah tangga.

Meskipun para ayah juga kehilangan waktu luang, jam kerja berbayar mereka tidak berubah secara signifikan, dan karier mereka tidak terpengaruh secara signifikan, menurut laporan YuWa.

"Karena lingkungan sosial di China saat ini tidak kondusif bagi perempuan untuk melahirkan, biaya waktu dan peluang bagi perempuan untuk memiliki anak terlalu tinggi," kata laporan tersebut.

"Beberapa perempuan harus berhenti memiliki anak demi mendapatkan kesempatan sukses dalam karier mereka," ungkap YuWa.

Tantangan bagi Perekonomian Terbesar Kedua di Dunia

Akibat Lockdown, Pekerja Tinggalkan Zona Industri Kota Zhengzhou di China
Seorang wanita yang mengenakan masker berjalan dengan yang lain menggunakan iPhone saat mereka menunggu bus mereka di halte bus yang menampilkan iklan iPhone di Beijing pada Minggu (30/10/2022). Para pekerja iPhone Apple Inc meninggalkan pabrik karena lokasinya berada dalam zona industri Kota Zhengzhou yang sedang diberlakukan lockdown setelah adanya 64 laporan kasus virus corona di kawasan tersebut. (AP Photo/Andy Wong)

Laporan YuWa memperingatkan bahwa penurunan angka kelahiran dapat berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan posisi China di dunia.

Pada kuartal terakhir 2023, ekonomi China tumbuh sebesar 5,2 persen pada tahun 2023, sedikit lebih baik dari target resmi yang ditetapkan Beijing.

Namun negara ini menghadapi banyak sekali tantangan, termasuk rekor penurunan properti, melonjaknya pengangguran di antara generasi muda, tekanan deflasi, meningkatnya gagal bayar perusahaan, dan meningkatnya tekanan keuangan pada pemerintah daerah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya