Mengenal Rumah Reflektif Surya, Hunian Rendah Karbon Jadi Solusi Program Sejuta Rumah

Rumah reflektif surya adalah rumah berbasis disain pasif yang mendemonstrasikan penggunaan material bangunan rendah karbon guna mengurangi dampak urban heat island.

oleh Septian Deny diperbarui 01 Mar 2024, 20:20 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2024, 20:20 WIB
Ilustrasi investasi Properti 3
Ilustrasi investasi Properti (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Lingkungan binaan atau built environment merupakan sebuah lingkungan yang ditandai dengan dominasi struktur buatan manusia. Perumahan, bangunan, infrastruktur jalan dan lain sebagainya, merupakan contoh lingkungan buatan yang tujuannya adalah untuk menunjang kehidupan manusia itu sendiri.

Namun bak pisau bermata dua, lingkungan binaan ini ternyata juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Menurut data yang dirilis Program Lingkungan PBB (UNEP), lingkungan binaan menjadi penyumbang terbesar konsumsi energi, emisi gas rumah kaca, limbah, dan sumber daya alam.

Diperkirakan, 40% konsumsi energi dan sekitar 30% emisi gas rumah kaca disebabkan oleh lingkungan binaan ini. Tak salah jika disebut kalau konstruksi bangunan dan pengoperasiannya, termasuk penyediaan lahan serta material bangunan dan konstruksi di lingkungan binaan, menyumbang konsumsi energi dan emisikarbon yang paling signifikan secara global.

Berkaca dari kondisi tersebut, Program Studi Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), bersama dengan BeCool Indonesia yang didukung oleh Tatalogam Group, menggelar simposium dan lokakarya internasional tentang Bangunan Berkelanjutan, Kota dan Komunitas (Sustainable Buildings, Cities and Communities/SBCC) 2024.

Kegiatan ini menyediakan wadah atau platform untuk berbagi ide, penelitian dan studi tentang cara melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan dan perubahan iklim global.

Kampung BeCool merupakan lingkungan binaan yang dibangun berbasis CSR yang digagas oleh BeCool Indonesia dan Tatalogam Group. Di lokasi ini, 20 rumah gentingnya telah dicat dengan cairan BeCool yang dapat berfungsi secara signifikan untuk memperbaiki iklim mikro di lingkungan sekitarnya.

Selain itu di lokasi yang sama, ada juga 3 rumah contoh yang mengaplikasikan rumah reflektif surya. Rumah reflektif surya adalah rumah berbasis disain pasif yang mendemonstrasikan penggunaan material bangunan rendah karbon guna mengurangi dampak urban heat island.

Rumah ini sendiri merupakan pengembangan dari produk Rumah Domus produksi PT Tatalogam Group yang bagian genting metal dan penutup dindingnya telah dilapisi cairan BeCool sehingga mampu meredam panas dan memiliki reflektansi sinar matahari yang cukup tinggi.

Rumah hasil inovasi bersama ini lalu diberi nama Raflesia atau Rumah Reflektif Surya Indonesia. Material rendah karbon pada rumah ini diketahui memiliki emitansi 0,90, reflektansi surya hingga 72,1 %, serapan surya hingga 27,9 %, dan Indeks Reflektan Surya (Solar Reflectance Index/ SRI) yang sudah mencapai 88.0.

Keberadaan rumah inipun diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hunian masyarakat Indonesia yang memadai, sekaligus mengurangi dampak lingkungan yang dapat timbul akibat pembangunan lingkungan binaan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimulyono yang diwakili oleh Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan (SSPP), Edward Abdurrahman menerangkan, kebijakan perumahan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2022 – 2024 berfokus pada peningkatan akses masyarakat kepada rumah yang memadai terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan desain yang mumpuni.

"Hingga tahun 2024, PUPR berkomitmen untuk menyuplai kebutuhan ini. Salah satu langkahnya adalah dengan mempercepat program satu juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerjasama dengan pemerintah daerah, universitas dan pemangku kepentingan lainnya," kata dia dikutip Jumat (1/3/2024).

 

 

Konstruksi Bangunan

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Founder BeCool Indonesia Beta Paramita, juga merupakan peneliti dari Universitas Pendidikan Indonesia mengatakan, setiap tahun konstruksi bangunan terus mengalami peningkatan. Untuk itu, guna mencapai pembangunan berkelanjutan dibutuhkan inovasi baru yang lebih ramah lingkungan dalam pembangunan tersebut.

“Konstruksi tahunan bangunan tempat tinggal dan komersial mengalami peningkatan tertinggi setara 5-6% per tahun. Backlog perumahan mencapai 8,76 juta unit per awal 2020. Tantangannya adalah memenuhi kebutuhan tersebut dengan tetap memegang teguh prinsip ramah lingkungan,” terangnya.

Bahan baku kayu yang dianggap kurang ramah lingkungan pun mulai tergantikan dengan bahan logam seperti baja ringan. Baja ringan banyak digunakan untuk rangka bangunan karena memiliki banyak kelebihan. Selain dapat didaur ulang, baja ringan juga diketahui memiliki tegangan dan transfer regangan yang lebih baik, tahan terhadap suhu tinggi, kurang penyerapan kelembaban, tidak mudah terbakar, kuat tekan dan geser, serta memiliki ketahahan aus dan ekspansi termal yang lebih baik.

“Dalam penggunaan baja ringan ini, tantangannya adalah pertama, yaitu proses produksinya harus menganut kepada industri berkelanjutan dengan tujuan menghasilkan baja rendah karbon. Kedua, baja ringan merupakan konduktor panas yang baik. Pada bangunan prefabrikasi baja ringan, maka radiasi matahari secara langsung tertransfer masuk ke dalam ruangan. Oleh sebabnya, kolaborasi antara BeCool Indonesia dan Tatalogam Group pada Raflesia ini bisa menjawab tantangan tersebut,” terang Beta.

 

Rendah Karbon

Duh, Sering Kirim Email Ternyata Bisa Ciptakan Emisi Beracun
Diungkap, setiap email yang dikirim diperkirakan bisa menambah kadar empat gram CO2 di atmosfer Bumi

Penggunaan cairan BeCool pada bangunan bermaterial rendah karbon dengan strategi desain pasif ini disebutnya mempunyai reflektifitas dan emisivitas tinggi yang secara efektif dapat memantulkan sebagian dari radiasi matahari kembali ke atmosfer sambil menyerap panas melalui kemampuan pendinginan radiasinya.

Dengan inovasi ini, diperkirakan dapat terjadi penghematan energi pendinginan hingga 2,9 Kw h/m2 per 0,1 peningkatan reflektansi matahari, serta rata-rata pengurangan 3°C pada suhu pengoperasian dalam ruangan dan hingga 11 °C pada suhu permukaan luar, dihitung, menyoroti fasad yang dilapisi cairan BeCool. Karena itu teknologi ini layak untuk meningkatkan efisiensi energy dan kualitas lingkungan di iklim panas dan lembab.

Pada kesempatan yang sama, Vice President Operations Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi menerangkan, Raflesia merupakan inovasi baru yang merupakan pengembangan dari rumah Domus, rumah instan berbasis baja ringan yang telah lama menjadi salah satu produk unggulan perusahaaan mereka yang telah mengantongi penghargaan rintisan teknologi industri dari Menteri Perindustrian tahun 2021.

Rumah ini sejak tahap desain hingga menjadi material dan bahan pendukungnya diproduksi di pabrik dengan mesin agar presisi. Dengan proses fabrikasi ini, rumah ini jadi lebih cepat dibangun dan yang terpenting lagi adalah tidak menyisakan limbah di lokasi konstruksi (zero waste construction).

“Jadi material atap dan dinding metal pada rumah Domus dilapisi cairan BeCool dengan Color Coating Line (CCL) milik Tatalogam Group, kemudian dibentuk dan dipotong di pabrik sesuai ukuran pada desain kami hingga tidak menyisakan limbah di lokasi pembangunannya nanti. Dengan pelapisan cairan BeCool pada permukaan atap dan dinding, selain dapat menyejukkan bagian dalam rumah, dampak urban heat islands akibat pantulan sinar matahari di sekitar lokasi juga bisa diminimalisir," ungkapnya

"Karena itu, untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, diharapkan ke depan ada standar produk baja lapis warna dengan kriteria Solar Reflector Index (SRI) yang optimum dan prototipe rumah reflektif surya yang dapat mendemonstrasikan urban heat islands sebagai salah satu wujud dari bangunan hijau dan cerdas. Hal ini jika dilakukan massal dan luas, tentunya dapat membantu pemerintah dalam mengurangi gas rumah kaca (GRK) sebagai adaptive approach atau pendekatan adaptif dari hilir,” terang Stephanus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya