Wakaf Produktif Jadi Solusi Jitu bagi Sociopreneur untuk Optimalkan Aset

Sebagai pengusaha, sudah sepatutnya kita mampu mengoptimalkan aset kita sehingga memiliki nilai lebih. Nah, bagaimana caranya? Simak informasi berikut.

oleh Fachri pada 07 Apr 2024, 10:45 WIB
Diperbarui 07 Apr 2024, 10:44 WIB
Wakaf.
Ilustrasi wakaf. (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Dalam menghadapi berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang semakin kompleks di Indonesia, solusi berkelanjutan serta inklusif menjadi penting. Salah satu model yang memiliiki potensi besar dalam memberdayakan komunal masyarakat dan mempromosikan kesejahteraan jangka panjang adalah sistem wakaf.

Pasalnya, dilansir dari Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama per tahun 2022, terdapat 440,5 ribu titik tanah wakaf di Indonesia dengan luas total mencapai 57,2 hektare. Selain itu, potensi sektor wakaf, khususnya pada wakaf uang juga diperkirakan mencapai angka Rp180 triliun per tahun.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Buya Amirsyah Tambunan dalam catatan Badan Wakaf Indonesia mengungkapkan bahwa potensi aset yang belum dioptimalkan hingga kini mencapai Rp188 triliun dan total 420 hektare lahan.

Dengan angka yang luar biasa besar itu, potensi wakaf menciptakan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi di masyarakat menjadi salah satu solusi jitu. Tak hanya itu, hal itu juga menjadi kesempatan yang perlu dimanfaatkan para sociopreneur di sela sela waktu saat menjalankan bisnis.

Sociopreneur dan Wakaf Produktif

Wakaf.
Ilustrasi seseorang sedang melaksanakan wakaf. (Foto: Shutterstock)

Mungkin bagi beberapa orang, istilah sociopreneur masih terdengar kurang familiar. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak pengusaha di Indonesia mulai tertarik menjadi sociopreneur.

Ada banyak alasan mengapa eksistensi sociopreneur semakin banyak di Indonesia, salah satunya adalah orientasi yang tidak hanya duniawi, namun juga ukhrawi di mana manfaatnya akan dirasakan dalam jangka panjang sampai di akhirat.

Nah, jika bicara tentang manfaat di akhirat, sebagian besar masyarakat Indonesia masih terpaku pada sedekah dan zakat. Padahal, sedekah hanya dirasakan manfaatnya saat itu saja, sangat berbeda dengan wakaf yang bisa dirasakan hingga puluhan tahun atau bahkan selamanya, walau pihak yang bersangkutan sudah meninggal dunia. 

Wakaf Produktif sebagai Solusi bagi Sociopreneur

 

Santri.
Ilustrasi para santri sedang mengaji.

Sociopreneur berbasis wakaf produktif hadir sebagai salah satu solusi untuk memaksimalkan nilai keadilan ekonomi masyarakat Indonesia. Konsepnya adalah di mana para sociopreneur tidak hanya fokus pada keuntungan, tapi juga bagaimana pemberdayaan sosialnya di tengah masyarakat.

Hal ini membuat prinsip wakaf tidak hanya melulu soal masjid dan tanah, tapi bisa lebih luas lagi sehingga masyarakat bisa merasakan dampak positifnya dalam jangka panjang. Wakaf pun dapat memainkan peran dalam memberdayakan sosial apabila dikelola menggunakan model wakaf investasi.

Model wakaf ini dilakukan dengan menjadikan aset wakaf bernilai ekonomi dan multinilai. Multinilai tidak hanya bernilai ibadah, namun juga bernilai sosial yang sangat berdampak positif bahkan masih dirasakan manfaat hingga puluhan tahun mendatang.

 

Kenapa Wakaf Produktif?

Amplop.
Ilustrasi seseorang memberikan amplop. (Foto: Shutterstock)

Sebagai umat Islam, Allah telah mengajarkan instrumen keuangan yang memiliki potensi besar dalam membangun peradaban. Jika wakaf ini dimaksimalkan masyarakat Indonesia, maka persentase kesenjangan sosial akan semakin berkurang. 

Pengelolaan wakaf juga harus dilakukan secara produktif, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Jika itu dilakukan, wakaf produktif bisa dijadikan sumber dana abadi yang bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Implementasi Sociopreneur Berbasis Produktif

Penjual Kurma.
Ilustrasi pedagang kurma. (SelimBT / Shutterstock.com)

Konsep sociopreneur berbasis wakaf produktif juga sudah dicontohkan oleh para sahabat-sahabat Nabi Muhammad dalam mengoptimalkan kebermanfaatan aset. Hal itu terlihat dari bagaimana Khalifah Utsman r.a menyumbangkan rumahnya untuk keperluan air masyarakat.

Tak hanya itu, ada pula Talha yang mendonasikan kebun tehnya dan Umar Bin Khattab yang mendonasikan tanah di Khaybar yang didedikasikan hasil panennya untuk tujuan amal.

Dan di masa sekarang, konsep sociopreneur berbasis wakaf produktif sudah mulai diaplikasikan di Indonesia. Wakaf produktif tersebut pun sekitar 20%-30% disalurkan ke Mauquf ‘alaih, 10% untuk nadzir yang sesuai dengan UU Wakaf No. 41 Tahun 2004 Pasal 12 dan 60% sampai 70% untuk pengembangan wakaf.

Tetangga Indonesia, Malaysia pun mengimplementasikan wakaf produktif cukup gencar. Beberapa lembaga di Negeri Jiran seperti HUM Endowment, Kolej Universiti Islam Melaka (KUIM) Dana Wakaf Tunai, dan UPM Dana Waqaf llmu ikut menyalurkan dana pendidikan universitas di Malaysia guna memenuhi kebutuhan kalangan yang tidak mampu membiayai pendidikan.

Bahkan, organisasi internasional seperti UNESCO telah mendukung Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (ESD) dengan tujuan menjembatani dunia global dan lokal. Harapannya, konsep wakaf produktif ini bisa mengedepankan hak asasi manusia, serta menjaga kelestarian ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Petani Melon.
Ilustrasi seorang ibu sedang memetik melon.

Dompet Dhuafa juga mengimplementasikan sociopreneur berbasis wakaf produktif melalui budi daya melon hidroponik berbasis greenhouse di Pesantren Tahfizh Green Lido, Cicurug, Sukabumi. Hasil surplus pengelolaan itu dapat dioptimalkan untuk operasional pesantren maupun penerima manfaat lainnya.

Walaupun kebermanfaatannya bisa dirasakan jangka panjang, namun program inovatif tersebut cukup jarang dilakukan di Indonesia, utamanya mereka yang berstatus sebagai santri dan petani lokal. Pasalnya, investor dan sociopreneur yang terlibat tidak hanya mendapatkan kebermanfaatan aset dari segi sosial, tapi juga kesejahteraan umat Islam.

Bagaimana tidak? Pasalnya para santri diajarkan untuk menciptakan sumber pendapatan sendiri. Dengan begitu, bantuan tersebut tidak akan dirasakan hanya dalam satu kali waktu, namun secara terus menerus.

Tantangan Pengelolaan Wakaf

Zakat.
Ilustrasi seseorang sedang melakukan wakaf. (Foto: Shutterstock)

Implementasi model wakaf investasi atau wakaf produktif masih sangat minim, yaitu hanya sekitar 2% dari total seluruh wakaf Indonesia. Terdapat beberapa tantangan seperti kurangnya literasi masyarakat Indonesia tentang wakaf produktif.

Pasalnya, masyarakat Indonesia masih terpaku dengan metode sedekah satu kali waktu seperti zakat, padahal terdapat metode wakaf yang seseorang bisa bersedekah berkali kali lipat seperti wakaf produktif. Dengan begitu, pahala yang didapat dari wakaf produktif terus berjalan selama donasi dipergunakan dengan sebaik mungkin dan memberikan banyak manfaat yang tidak putus.

Selain itu, salah satu alasan mengapa masih sedikit masyarakat yang terjun menyalurkan wakaf karena belum masifnya literasi terkait penting dan tingginya kebutuhan penyaluran wakaf produktif di Indonesia. Terlebih lagi, penyaluran wakaf memiliki peran besar dalam mengatasi kemiskinan.

Selain itu, wakaf produktif juga dapat meningkatkan kualitas dan keberlangsungan hidup masyarakat, seperti pembangunan rumah sakit, sumber air, dan sekolah. Para pengusaha, korporasi, dan instansi ikut turut serta dalam mendorong pertumbuhan sociopreneur berbasis wakaf produktif.

Dibutuhkan Inovasi dan Kreativitas

 

Wakaf.
Ilustrasi seseorang sedang melaksanakan wakaf. (Foto: Shutterstock)

Saat ini, dibutuhkan banyak program yang memiliki inovasi dan kreativitas agar menarik para sociopreneur memaksimalkan nilai dari aset melalui wakaf produktif. Menilik lebih lanjut, dana untuk program sosial seperti CSR juga sangat bisa dimaksimalkan untuk mengelola wakaf produktif di Indonesia.

Seperti namanya, wakaf produktif ini dapat digunakan sebagai modal untuk berdagang, bertani, jasa, dan bidang lainnya untuk umat islam. Rendahnya implementasi wakaf produktif di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan lebih serius.

Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, Meliadi Sembiring menyebut bahwa hal ini disebabkan karena para Nazhir perlu meningkatkan kemampuan, khususnya di bidang wirausaha dalam mengelola wakaf produktif. Tak hanya itu, kompetensi khusus tersebut berupa skill, knowledge, dan attitude.

Skill merupakan keterampilan yang perlu dikuasai dalam mengelola dana sosial. Knowledge merupakan pengetahuan yang perlu dimiliki dalam mengatur dana tersebut. Terakhir, attitude merupakan perilaku dasar yang harus dimiliki seperti transparansi, akuntabel, dan kesabaran saat manajemen dana wakaf.

Peran Dompet Dhuafa

Gandeng Tiga Mitra Lembaga Kemanusiaan, Shopee Galang Donasi Untuk Lombok
Logo Dompet Dhuafa

Dompet Dhuafa pun hadir sebagai solusi para sociopreneur yang ingin memaksimalkan pengelolaan program sosial CSR dan juga aset-aset yang dimiliki. Dompet Dhuafa sendiri merupakan nazhir yang kompeten dan lembaga nirlaba terkemuka di Indonesia dengan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf).

Dompet Dhuafa telah menyalurkan dan membantu kesejahteraan sosial masyarakat di Indonesia sejak tahun 1993 serta masih berlanjut hingga kini. Melalui reputasi yang konsisten dan profesional dalam mengelola dana sosial umat Islam, Dompet Dhuafa menjadi salah satu lembaga amil zakat nasional terbaik di Indonesia.

Berbagai program wakaf produktif yang diinisiasi oleh Dompet Dhuafa dapat di cek melalui lama ini.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya