Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyoroti kondisi pasar keuangan global yang masih dibayangi ketidakpastian, akibat eskalasi ketegangan di Timur Tengah, terutama baru-baru ini antara Iran versus Israel.
"Dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat, karena perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Hasil RDG BI April 2024 yang disiarkan pada Rabu (24/4/2024).
"Ketidakpastian pasar keuangan global semakin buruk akibat eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah,"Â ujarnya.
Advertisement
Ia melanjutkan, hal itu mendorong investor global untuk memindahkan portofolio ke aset yang lebih aman khususnya dolar Amerika Serikat (USD) dan emas, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar, termasuk Rupiah.
Perry juga menyoroti tingginya inflasi dan ekonomi AS yang kuatmendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari perkiraan (high for longer) sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve System.
"Ke depan, risiko terkait arah penurunan Fed Fund Rate dan dinamika ketegangan geopolitik global akan terus dicermati karena dapat mendorong berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global, meningkatnya tekanan inflasi dan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia," ujar Perry.
Menurut dia, kondisi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6,25% di April 2024
Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mekan suku bunga di kisaran 6,25% pada bulan April 2024. Keputusan itu dibuat usai Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang dilaksanakan pada 23 dan 24 April 2024.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23 dan 24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 basis point menjadi 6,25%, Suku Bunga Deposit Facility naik sebesar 25 basis poin 5,5% dan Suku Bunga Lending Facility naik sebesar 25 basis poin menjadi 7%," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Hasil RDG April 2024, disiarkan Rabu (23/4/2024).
Gubernur BI mengatakan, kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari kemungkinan memburuknya resiko global, serta sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam 2,5+-1% pada tahun 2024 dan 2025, sejalan dengan stand kebijakan moneter yang pro stability.
"Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro growth, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," sambungnya.
Selain itu, kebijakan makroprudensial longgar juga terus ditempuh untuk mendorong kredit pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga, jelas Perry Warjiyo.
"Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk tetap memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran," bebernya.
Ia melnambahkan, "untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, di tengah peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makropruensial dan sistem pemabayaran".
Advertisement
Prospek 5 Mata Uang Asia Ini Negatif Imbas Penundaan Penurunan Bunga Fed
Bank of America (BofA) mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki prospek negatif terhadap sejumlah mata uang Asia, yang tampaknya terkena dampak penundaan penurunan suku bunga Federal Reserve.
"Kami tidak optimis terhadap mata uang apa pun di Asia," kata Bank of America dalam laporannya baru-baru ini, dikutip dari CNBC International, Rabu (24/4/2024).
 BofA menjelaskan, hal itu karena banyak mata uang Asia yang terkena dampak tertundanya siklus pelonggaran Federal Reserve dan penguatan dolar AS (USD) yang berkelanjutan.
Bank investasi itu menyebutkan, Yuan China, Won Korea Selatan, Dolar Taiwan, Baht Thailand dan Dong Vietnam memasuki kategori bearish atau tren pelemahan.
Sementara itu, di antara daftar mata uang netral adalah Dolar Hong Kong, Rupiah Indonesia, Rupee India, Ringgit Malaysia, Peso Filipina dan Dolar Singapura.
Yuan China
BofA memperkirakan Yuan China akan diperdagangkan pada 7,35 terhadap USD pada kuartal kedua 2024 ini dan melemah menjadi 7,45 pada kuartal ketiga dan keempat.
Sebelumnya, Bank Dunia telah memperkirakan tekanan depresiasi Yuan akan terus berlanjut hingga paruh kedua tahun ini, karena tertundanya pelonggaran kebijakan The Fed, disinflasi China yang memperparah kesenjangan imbal hasil (yield gap) dengan AS, dan lemahnya neraca keuangan sebagai akibat dari memburuknya investasi asing langsung (foreign direct investment).
Won Korea Selatan
BofA melihat, prospek Won Korea Selatan berubah secara signifikan setelah The Fed menunda waktu penurunan suku bunga dan risiko geopolitik Timur Tengah menjadi hambatan utama.
"Sejak tahun ini, kami telah melihat arus masuk yang besar ke ekuitas Korea, namun arus masuk ini mulai berbalik arah karena ekuitas global mulai beralih dari dua risiko yang disebutkan di atas," tulis para ekonom BofA.
Won Korea Selatan baru-baru ini merosot ke level terendah dalam 18 bulan di 1,389.5 terhadap USD. Kepala Bank of Korea mengakui terjadi volatilitas Won yang bberlebihan dan mengatakan akan melakukan intervensi jika diperlukan.
Won terakhir diperdagangkan pada 1.347,3 terhadap dolar AS. Ekonom BofA mengatakan Won saat ini dinilai terlalu tinggi dibandingkan dengan nilai wajarnya sebesar 1,417.
Â
Â
Dolar Taiwan
BofA juga tetap negatif terhadap dolar Taiwan karena arus keluar ekuitas yang kuat dan pembatalan tambahan lindung nilai ke depan yang tidak dapat diserahkan oleh perusahaan asuransi jiwa.
Dolar Taiwan saat ini diperdagangkan pada 32,6 per USD.
Dong Vietnam
Dong Vietnam diperdagangkan pada 25.450 per USD, melemah hampir 5% sepanjang tahun ini.
Menurut BofA, yang memperparah dampak penundaan pemotongan suku bunga The Fed adalah ketidakstabilan politik di Vietnam setelah pengunduran diri presiden yang kedua dalam dua tahun serta kesulitan di sektor properti.
Hambatan tersebut mendorong permintaan domestik terhadap dolar AS dan emas, kata BofA.
"Kami merevisi perkiraan kami untuk mengantisipasi tekanan depresiasi VND lebih lanjut menjadi 25.600 pada akhir kuartal kedua dan pada akhirnya USD/VND pada 25.700 pada akhir tahun," jelas bank tersebut.
Baht Thailand
BofA mengatakan, Baht Thailand juga masih rentan terhadap ketegangan geopolitik akibat kenaikan harga minyak dan biaya pengiriman.
Mereka merevisi perkiraan mata uangnya menjadi 37 terhadap greenback pada akhir tahun.
Advertisement