Era Peperangan Digital, TNI Dinilai Harus Berperan dalam Perkuat Pertahanan Siber

Dia menilai saat ini peperangan era moderen berada di ranah siber yang berkaitan dengan sabotase digital, pencurian intelijen dan konflik geopolitik.

oleh Tim News Diperbarui 25 Mar 2025, 01:00 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2025, 01:00 WIB
FOTO: TNI AD Gelar Apel Pasukan di Monas
Prajurit TNI AD mengikuti Apel Gelar Pasukan Jajaran TNI AD di Lapangan Monas, Jakarta, Selasa (25/1/2022). Pasukan TNI AD dan Alutsista dipamerkan saat mengikuti gelar apel pasukan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), Yayang Ruzaldy menilai TNI harus mengambil peran besar dalam memperkuat pertahanan siber.

Hal tersebut selaras dengan Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan. Rujukan lainnya yaitu, UU no.3 tahun 2002 dan UU no. 34 tahun 2004 yang telah menetapkan TNI sebagai komponen utama untuk menghadapi ancaman militer.

"Revisi UU TNI seharusnya menjawab bahwa ancaman siber dapat menjadi bagian dari ranah pertahanan nasional dan bahwa TNI adalah institusi yang bertanggung jawab penuh dalam menjaga kedaulatan negara di wilayah ini,” kata Yayang yang dikutip dari Antara, Senin (24/3/2025).

Yayang menilai, RUU TNI yang baru saja disahkan menjadi UU hanya memberikan kapasitas militer sebagai "pembantu" dalam memperkuat pertahanan siber.

"Ini justru kontradiktif terhadap kebutuhan strategis Indonesia di tengah transformasi global dimana ditemukan peperangan tidak lagi dibatasi oleh aktivitas dalam wilayah secara fisik," jelas Yayang.

Selain itu, Yayang juga menanggapi Perpres Nomor 8 tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang tidak mengklasifikasi ancaman siber sebagai ancaman militer.

Menurutnya hal tersebut perlu ditinjau kembali karena saat ini peperangan era moderen berada di ranah siber yang berkaitan dengan sabotase digital, pencurian intelijen dan konflik geopolitik.

Ancaman-ancaman seperti ini, menurut dia, tidak cukup hanya ditangani oleh lembaga sipil semata.

“Ancaman siber saat ini telah menyerupai karakteristik peperangan modern meliputi sabotase digital, pencurian intelijen dan konflik geopolitik. Ancaman seperti ini tidak lagi cukup ditangani oleh lembaga sipil semata,” jelasnya.

Yayang pun mengambil contoh beberapa instansi seperti BSSN dengan Perpres No. 28 Tahun 2021 yang berperan dalam kebijakan teknis dan pemulihan insiden siber.

Selain itu ada Kemenkomdigi, sesuai Perpres No. 174 Tahun 2024, yang mengatur ruang digital dan perlindungan data pribadi.

Kedua instansi itu, lanjut dia, tidak memiliki otoritas atau struktur komando yang dapat merespons serangan siber strategis secara militer.

 

Promosi 1

Ruang Siber Jadi Arena yang Rentan

Yayang kembali menekankan, jika revisi UU TNI tidak memperkuat peran TNI dalam pertahanan siber, maka kondisi ini akan melemahkan TNI dalam menghadapi era peperangan digital, 5 GW Fifth Generation Warfare.

"Ruang siber akan terus menjadi arena rentan yang dimasuki aktor asing tanpa batas, sementara TNI hanya berdiri di pinggir, menunggu diminta membantu,” tambahnya.

Karenanya, pihaknya merekomendasikan upaya koreksi UU TNI agar militer memegang peran utama dalam memperkuat pertahanan siber.

"Harus ada Komando Siber Nasional di bawah TNI, yang memiliki otoritas strategis, operasional, dan taktis dalam menjaga kedaulatan digital negara," jelas dia.

Infografis

Infografis Revisi UU TNI dan Usulan Hapus Larangan Prajurit Berbisnis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Revisi UU TNI dan Usulan Hapus Larangan Prajurit Berbisnis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya