Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pabrik petrokimia milik PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) akan mulai jalan beroperasi Februari 2025.
Adapun realisasi investasi pabrik petrokimia yang berlokasi di Cilegon senilai USD 4 miliar ini telah mangkrak selama 8 tahun sejak 2016.
Baca Juga
"Tahun 2016 sempat mangkrak, sekarang sudah hampir selesai. Maret 2025 itu sudah produksi," ujar Bahlil dalam acara peresmian ekosistem baterai dan kendaraan listrik Korea Selatan di Karawang New Industry City, Rabu (3/7/2024).
Advertisement
Bahlil juga berterimakasih kepada Korea Selatan yang telah menanamkan banyak investasinya di Tanah Air selama 5 tahun terakhir. Sejak 2019, ia menyebut Negeri Ginseng telah berinvestasi hingga USD 14 miliar, atau setara Rp 200 triliun lebih.
"Dan investasi ini lebih banyak mengarah sektor hilirisasi, sesuai arahan pak Jokowi kepada kami agar investasi harus inklusif. Tidak hanya dikuasai satu negara tertentu, tapi mendatangkan banyak negara," ucapnya.
Turun Tangan
Sebelumnya, Bahlil sempat mengakui bahwa masalah investasi mangkrak di Lotte Chemical Indonesia ini baru bisa diselesaikan setelah dirinya turun tangan.
Tak hanya sekadar berinvestasi, ia juga meminta investor asal Korea Selatan tersebut untuk berkolaborasi dengan UMKM yang ada di Cilegon. Dia tidak ingin perusahaan besar tersebut bekerja sama dengan pengusaha asal Cilegon tetapi ada di Jakarta.
"Wajib kolaborasi dengan orang Cilegon yang ada di Cilegon. Bukan orang Cilegon yang ada di Jakarta," tegas Bahlil beberapa waktu lalu.
Adanya kolaborasi tersebut bertujuan agar muncul pengusaha-pengusaha baru dari daerah. Sehingga kue ekonomi yang dibangun bisa dirasakan semua masyarakat. Dalam artian, tidak dikuasai pengusaha tertentu yang sudah sukses dengan bisnisnya.
"Tidak bisa lagi kue ekonomi ini dikuasai sekelompok orang. Oleh karena itu kita bagi agar ada pemerataan dengan kolaborasi dengan UMKM," ungkapnya.
BASF dan Eramet Batal Investasi Smelter Nikel, Bahlil: Cuma Pending Kok
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia merespons mundurnya 2 perusahaan raksasa Eropa dari proyek pemurnian nikel di Maluku Utara. Keduanya adalah BASF asal Jerman dan Eramet asal Prancis.
Bahlil menyebut, BASF dan Eramet bukan membatalkan investasinya. Melainkan, hanya menunda untuk sementara karena permintaan mobil listrik yang menurun di Eropa.
"Saya kemarin baru dapat kabar itu dan sampai sekarang kita lagi berdiskusi dengan mereka. Sementara bukan dicabut tapi dipending sementara kareana harga, daya beli masyarakat terhadap EV, mobil listrik di Eropa itu lagi turun," ujar Bahlil Lahadalia di Kantor BKPM, Jakarta, dikutip Jumat (28/6/2024).
Dia mengatakan, harga pasar dari mobil listrik di sana mengalami penurunan imbas persaingan dengan produsen lain. Alhasil, permintaan atas baterai kendaraan listrik pun ikut berkurang.
"Jadi harga pasarnya jadi turun karena kompetisi dengan mobil2 negara lain. Dan Amerika juga lagi lesu pasarnya, oleh karena lagi lesu maka permintaan terhadap baterai itu berkurang," katanya.
Soal kepastian investasi dua perusahaan kakap itu, Bahlil mengaku masih menjalin negosiasi. Sementara itu, mundurnya BASF dan Eramet dinilai tak akan mempengaruhi prospek dari negara lain.
"Kita masih negosiasi. Nggak, nggak, (mengganggu investasi) ini cuma persoalan komoditas ini mobil listriknya di Eropa sama di Amerika saja. Semuanya jalan kok, Korea, Jepang, China, gada masalah," tegas dia.
Advertisement
Keputusan Bisnis
Informasi, BASF dan Eramet telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN) untuk mengembangkan proyek Sonic Bay senilai USD 2,6 miliar di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara. Proyek ini berupa pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP).
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan menyampaikan keputusan BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya adalah keputusan bisnis yang diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi.
”Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini,” ujar Nurul dalam keterangannya.
Berdasarkan rilis perusahaan, keputusan BASF dan Eramet untuk tidak meneruskan rencana investasi didasarkan pada pertimbangan akan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan. Khususnya pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Masih Potensial
Sehingga, BASF memutuskan tidak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik.
”Kami melihat hilirisasi untuk ekosistem baterai kendaraan listrik masih sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN,” imbuh Nurul.
Minat investor asing di sektor hilirisasi tetap tinggi dan bahkan beberapa proyek investasi di sektor tersebut telah mencapai tahap realisasi.
Sebagai contoh, proyek smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024. Bukti nyata lainnya, produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia akan dimulai oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat pada Juli 2024 dan akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.
Advertisement