Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan, pemerintah terus melakukan kontrol terhadap tata kelola LPG 3 kg bersubsidi. Untuk memastikan harga eceran tertinggi dan berat tabung gas melon sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Dalam kunjungannya ke Kalimantan Selatan, ia menyatakan, pemerintah akan memastikan setiap tabung LPG benar-benar berisi 3 kg sesuai standar. Untuk menjamin akurasi berat LPG, nantinya akan dilakukan penimbangan sebelum distribusi.
Advertisement
Baca Juga
Bahlil mengatakan akan menyiapkan aturan, agar setiap lokasi pendistribusian LPG 3 kg harus memiliki timbangan. Guna memastikan pembeli berhak mendapatkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, yakni tabung LPG 3 kg kosong berisi 5 kg, sementara dalam kondisi penuh sekitar 8 kg.
Advertisement
"Harus ada timbangan. Jadi rakyat sebelum bawa timbang dulu supaya merasa apa yang dia keluarkan biayanya sama dengan kuantitasnya," tegas Bahlil dikutip dari siaran pers resmi Kementerian ESDM, Kamis (20/3/2025).
Siapkan Sanksi Tegas
Lebih lanjut, ia mewanti-wanti bakal mengambil sikap tegas terhadap oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap penyelewengan pendistribusian LPG 3 kg.
Guna mengikuti arahan Presiden Prabowo Subianto, bahwa semua penyaluran subsidi harus sampai ke masyarakat yang berhak menerima.
"Subsidi ini uang rakyat. Arahan napak Presiden adalah satu rupiah pun uang negara, yang negara siapkan untuk rakyat, wajib sampai ke mereka," ungkap dia.
Adapun dalam kunjungan kerjanya, Bahlil menyoroti pendistribusian LPG 3 kg di wilayah Kalimantan Selatan yang minim penyimpangan. "Saya merasa senang karena di Kalimantan dampak dari penataan Bahan Bakar Minyak dan LPG tidak terlalu berpengaruh banyak. Saya lihat cukup bagus. Data yang saya punya di sini minim oplosan," imbuhnya.
Kendati begitu, Bahlil menginginkan Pertamina untuk memperbaiki rasio tingkat konsumsi dengan penyimpanan (storage) LPG 3 kg. Tercatat, konsumsi LPG 3 kg di Kalimantan Selatan sebesar 555 metrik ton, sementara penyimpannya sekitar 16 ribu metrik ton.
"Rasio LPG ini tidak sehat. Jika tidak diperbaiki, ini akan berpengaruh pada program ketahanan energi yang dicanangkan Bapak Presiden," pinta Bahlil.
Dugaan Monopoli oleh Pertamina
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga telah memulai penyelidikan awal, atas dugaan praktik monopoli dalam penjualan LPG non subsidi yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) di pasar midstream.
Penyelidikan awal soal dugaan praktik monopoli LPG yang berasal dari kajian KPPU tersebut akan berfokus pada pencarian alat bukti terhadap dugaan pelanggaran Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999, tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Deputi bidang Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto mengabarkan, sejak tahun lalu pihaknya telah melaksanakan kajian atas penjualan LPG non subsidi di Indonesia.
KPPU menduga terdapat pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli terhadap penjualan LPG non subsidi di pasar midstream (atau pasar gas LPG bulk non PSO untuk dikemas ulang). Dengan menjual harga yang tinggi dan menikmati keuntungan yang tinggi (super normal profit).
"Harga LPG Non Subsidi yang tinggi tersebut diduga mengakibatkan banyak konsumen yang beralih menggunakan LPG subsidi (LPG 3 kg)," ujar Taufik beberapa waktu lalu.
Dalam kajiannya, ia menambahkan, KPPU mendalami struktur pembentukan harga di sektor tersebut, khususnya dari hulu hingga hilir.
Saat ini, penjualan LPG Subsidi sebagai Public Service Obligation (PSO) dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, yang menguasai lebih dari 80 persen pasokan LPG dalam negeri dan LPG impor.
PT PPN juga menjual LPG yang tidak bersubsidi dengan merek dagang BrightGas. Anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut juga melakukan penjualan gas secara bulk kepada perusahaan lain, yakni BlueGas dan PrimeGas, yang merupakan produsen LPG tabung non subsidi.
"Dalam penjualan tahun 2024, KPPU menemukan adanya keuntungan yang tinggi atau super normal profit dari penjualan LPG non subsidi sebesar 10 kali lipat dibandingkan laba penjualan LPG subsidi, atau sekitar Rp 1,5 triliun," terang Taufik.
Advertisement
Diduga Bikin Harga Lebih Tinggi
KPPU menduga perilaku eksklusif dan eksploitatif PT PPN melalui penjualan LPG dengan harga yang lebih tinggi kepada konsumen downstream. Yang juga merupakan pesaing langsung PT Pertamina Patra Niaga di pasar LPG non subsidi, berpotensi melanggar Pasal 17 (Monopoli) di UU Nomor 5 Tahun 1999.
"Akibat perilakunya, harga LPG non subsidi menjadi sangat tinggi, membuat konsumen enggan menggunakan LPG non subsidi dan beralih pada LPG subsidi," imbuh Taufik kembali menekankan.
Sehingga, ia menambahkan, praktik tersebut turut berdampak pada terbebaninya anggaran negara, meningkatnya subsidi LPG yang tidak tepat sasaran, dan meningkatkan jumlah impor tabung gas.
"Berdasarkan informasi dari kajian tersebut, KPPU menilai perlu dilakukan penyelidikan awal atas dugaan praktik monopoli PT PPN dalam penjualan LPG non subsidi di pasar midstream," tegas dia.
