Rahasia Sukses Pendiri Grab Anthony Tan, Kerja 20 Jam Sehari

Anthony Tan, pendiri dan CEO Grab, membangun super app senilai USD 2 miliar per tahun dengan kerja keras dan visi untuk mengatasi masalah sosial di Asia Tenggara.

oleh Elyza Binta Chabibillah diperbarui 09 Okt 2024, 21:00 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2024, 21:00 WIB
Anthony Tan, Co-Founder dan CEO Grab. Liputan6.com/Agustin Setyo W
Anthony Tan, Co-Founder dan CEO Grab. Liputan6.com/Agustin Setyo W.

Liputan6.com, Jakarta - Anthony Tan tumbuh sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara di salah satu keluarga terkaya di Malaysia. Ayahnya, Tan Heng Chew, adalah presiden Tan Chong Motor, perusahaan distribusi otomotif multinasional yang didirikan oleh kakek Tan pada 1950-an dan terdaftar di Bursa Efek Kuala Lumpur.

“Saya mungkin dianggap sebagai pemberontak tanpa tujuan,” kata Tan, dikutip dari CNBC, Rabu (9/10/2024).

Hal ini dia katakan karena sebenarnya Anthony Tan bisa saja meneruskan usaha dari orang tuanya. tetapi dia memilih untuk mencari jalan sendiri.

“Tapi sebenarnya, saya memiliki misi untuk menciptakan sesuatu yang bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan," tambah dia. 

Tan adalah salah satu pendiri Grab dan saat ini menjabat sebagai CEO. Grab adalah raksasa ride-hailing dan super app multinasional.

Setelah perusahaan ini go public di AS pada Desember 2021, Grab berhasil meraih pendapatan lebih dari USD 2 miliar atau sekitar sekitar Rp 31 triliun  pada 2023. 

Saat ini, selain menawarkan layanan ride-hailing, Grab juga menyediakan jasa pengantaran makanan dan bahan makanan, serta layanan keuangan seperti pembayaran, pinjaman, dan perbankan digital.

Pada 2023, Grab melayani lebih dari 35 juta pelanggan dan menyediakan 13 juta pekerjaan di delapan negara di Asia Tenggara.

“Saya ingat ketika saya bertemu dengan mantan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, dan dia mengingatkan dewan direksi kami. Grab benar-benar mengubah angka pengangguran secara nasional,” katanya. 

Awal Mula Bisnis

Grab
Ki-ka: CEO Grab Anthony Tan dan CEO Kudo Albert Lucius. (Foto: Grab)

Pada 2009, Tan mulai belajar di Harvard Business School, di mana dia bertemu dengan rekan pendirinya, Hooi Ling Tan. Keduanya besar di Malaysia dan menjadi teman baik setelah duduk bersebelahan di kelas bernama “Business at the Base of the Pyramid.”

Pada suatu hari di tahun 2011, mereka berdiskusi tentang sistem taksi di Malaysia, yang saat itu terkenal tidak aman, terutama bagi wanita. Mereka pun memutuskan untuk mengambil tantangan tersebut.

“Kami ingin membuat standar keamanan agar perempuan bisa bepergian ke mana saja dengan aman,” kata Tan. “Kami berdua merasa sangat diberkahi [dan] ingin melayani Asia Tenggara.”

Mereka kemudian membuat rencana bisnis yang diikutsertakan dalam sebuah kontes startup di universitas. Mereka memenangkan juara kedua dan membawa pulang hadiah sebesar USD 25.000 sekitar Rp 391 juta, yang kemudian digunakan sebagai modal awal untuk mendirikan Grab.

Saat ini, Grab didukung oleh perusahaan besar seperti SoftBank, dan memiliki kapitalisasi pasar lebih dari USD 14 miliar sekitar Rp 219 triliun. Namun, perjalanan Tan untuk memulai Grab tidaklah mudah.

“Itu sangat intens. Saya mungkin bekerja 15, 18, kadang-kadang 20 jam sehari, dari Senin hingga Minggu,” kata Anthony Tan.

 

Tantangan Awal

Grab Hadirkan 30 Sepeda Motor Listrik di Bali. Dok: Grab Indonesia
Grab Hadirkan 30 Sepeda Motor Listrik di Bali. Dok: Grab Indonesia

Sejak kecil, Tan sudah terbiasa bekerja di bisnis keluarga, dan diharapkan kembali bekerja untuk perusahaan setelah menyelesaikan studi. Ketika dia memberi tahu ayahnya tentang ide untuk mendirikan Grab, percakapan tersebut tidak mudah.

“Ayah saya berkata, ‘Saya tidak yakin ini akan berhasil, jadi tolong jangan ganggu saya lagi soal ini,’” kata Tan. “Itu sulit. Rasanya seperti tidak pernah cukup... tetapi momen-momen itulah yang mendorong saya untuk berpikir, ‘Saya bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar menyelesaikan masalah sosial yang nyata.’”

Tan kemudian menyempurnakan idenya dan membawanya ke ibunya, yang akhirnya menjadi investor individu pertama di Grab. Dengan uang dari kontes startup dan dukungan dari ibunya, Tan juga menginvestasikan semua yang dimilikinya untuk mendirikan perusahaan pada Juni 2012, yang saat itu dikenal sebagai "MyTeksi."

Tahun-tahun pertama menjalankan bisnis tidaklah glamor. Tan dan rekan pendirinya pada dasarnya sedang membangun infrastruktur baru untuk sistem taksi Malaysia, namun keterbatasan dana menjadi kendala utama.

Kantor pertama mereka hanya sebuah ruangan kecil di Kuala Lumpur, Malaysia, yang terkenal dengan cuaca panas dan lembab sepanjang tahun. Kantor tersebut tidak memiliki ventilasi, pendingin udara, bahkan Wi-Fi. “Kami harus tethering dari ponsel kami,” kata Tan.

Kesulitan juga datang saat berusaha membawa para pengemudi taksi ke platform tanpa dana yang cukup. Untuk itu, Tan harus kreatif dalam pendekatannya. Dia sering bepergian melintasi Asia Tenggara, bertemu para pengemudi taksi dan meyakinkan mereka untuk mencoba Grab.

 

Menggerakkan Asia Tenggara

Pencapaian 1 juta nasabah kurang dari 2 bulan membuktikan kepercayaan nasabah Superbank yang didukung oleh pemegang saham seperti Grab, Emtek, Singtel, dan KakaoBank. (Dok Superbank)
Pencapaian 1 juta nasabah kurang dari 2 bulan membuktikan kepercayaan nasabah Superbank yang didukung oleh pemegang saham seperti Grab, Emtek, Singtel, dan KakaoBank. (Dok Superbank)

Pada 2018, setelah pertarungan panjang, Uber setuju untuk menjual bisnis Asia Tenggaranya ke Grab dengan imbalan 27,5% saham di perusahaan. Sebagai bagian dari kesepakatan, CEO Uber, Dara Khosrowshahi, bergabung dalam dewan direksi Grab. Kesepakatan ini memperkuat dominasi Grab di kawasan tersebut.

Apa yang dimulai sebagai mimpi untuk memperbaiki masalah keamanan dalam sistem taksi Malaysia kini telah menjadi super app dominan di Asia Tenggara. Namun, perjalanan ini tidak lepas dari kontroversi, termasuk tuduhan anti monopoli dari pihak regulator.

Namun, tidak bisa disangkal bahwa Grab telah membentuk infrastruktur Asia Tenggara. Grab mengubah cara hidup sehari-hari masyarakat di kawasan ini dan memberdayakan mereka “di dasar piramida” dengan memberikan akses ke program mikro-finansial, sehingga mereka bisa membeli smartphone dan mulai menghasilkan uang sebagai pengemudi.

“Itu yang membedakan kami,” katanya. “Orang mungkin berkata, ‘Anthony, kamu hanya melayani ceruk pasar kecil.’ Tapi ini ceruk besar dengan pasar yang sangat tidak terlayani.”

“Semua tentang membantu mereka, melayani mereka sebagai ekosistem yang tidak dimiliki oleh pesaing manapun... dan itulah yang membedakan kami.”

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya