Pertumbuhan Ekonomi di Bawah 9%, OJK: China Kiamat

China bakal mencetak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan Indonesia pada tahun ini. Ekonomi China diprediksi tumbuh di bawah 9%.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Jan 2014, 10:15 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2014, 10:15 WIB
ekonomi-china-130730b.jpg
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perjalanan ekonomi Indonesia tahun ini masih akan diliputi ketidakpastian kondisi ekonomi global maupun domestik. Terutama bagi ekonomi China dan India yang diprediksi mengalami perlambatan sepanjang 2014.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non-Bank/Anggota Dewan Komisioner OJK, Firdaus Djaelani mengungkapkan, pemulihan ekonomi domestik tahun ini memiliki risiko terutama isu tapering off dari Bank Sentral AS pada Januari ini.

"AS akan memberikan kejutan besar melalui isu tapering off-nya secara bertahap. Juga mengenai kondisi ekonomi Eropa yang akan keluar dari krisis, sementara ekonomi China dan India diperkirakan akan melambat," jelas dia saat ditemui di acara Tantangan Ekonomi 2014 dan Prospek Investasi Surat Utang Perumahan di Jakarta, Senin (20/1/2014).

China, menurut Firdaus, bakal mencetak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan Indonesia pada tahun ini. Namun prediksinya, ekonomi negeri Tirai Bambu tersebut akan bertumbuh di bawah 9%.

"Bagi China pertumbuhan ekonomi di bawah 9% mungkin agak kiamat. Apalagi dengan basis penduduk terbesar hampir 1,4 miliar jiwa. Sekelas China saja sangat berat menghadapi kondisi ekonomi global saat ini," katanya.

Sedangkan ekonomi Indonesia, dia bilang, kurang mempunyai posisi pasti karena selalu terpuruk meskipun perekonomian negara-negara maju tengah bergairah.

"Indonesia memang susah, sebab saat ekonomi negara maju terpuruk, kita terpuruk. Saat ekonomi negara maju membaik, kita masih terpuruk. Ini masa transisi," ujarnya.

Firdaus memperkirakan, pasar bakal mulai merespon dengan sendirinya jika sudah ada kepastian soal isu tapering off dari AS. Terpenting, lanjutnya, Indonesia akan menghadapi tiga tantangan besar pada 2014, yakni posisi penurunan siklus komoditas, kredit atau likuiditas, dan politik.

"Tantangan ini dikhawatirkan akan menghambat stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau pemilu aman, dan kita mendapat pemimpin yang baik maka euforia ini akan menggerakkan investasi dan memperbaiki nilai tukar rupiah," pungkas Firdaus. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya