Liputan6.com, Jakarta - Malam jahanam di Paris. Sebuah malam yang tak akan mau diingat dan sepantasnya dilupakan oleh Barcelona. Malam itu, bukan hanya kalah telak 0-4 dari sang tuan rumah, Paris Saint-Germain, El Barca pun kalah total di lapangan. Lalu, usai pertandingan, entrenador Luis Enrique tak bisa mengontrol emosi saat diwawancara sebuah stasiun televisi. Dia bahkan hendak menyerang sang reporter andai tak dicegah oleh tiga orang dari staf kepelatihannya.
Kekalahan itu memang tak bisa diterima begitu saja. Terakhir kali El Barca kalah dengan skor 0-4 adalah di Piala Super Spanyol 2015 saat melawat ke kandang Athletic Bilbao. Sementara itu, di Liga Champions, kekalahan dengan skor serupa terakhir kali dialami di Allianz Arena, kandang Bayern Muenchen, pada semifinal leg I musim 2012-13.
Baca Juga
Advertisement
Dalam dua kesempatan itu, Barcelona gagal membalikkan keadaan saat menjalani leg II. Mereka kembali kalah telak, 0-3, dari Bayern dan hanya imbang 1-1 saat menjamu Bilbao. Tak ayal, kini terbayang kegagalan melangkah ke perempat final Liga Champions untuk kali pertama dalam satu dasawarsa terakhir. Tepat sepuluh tahun lalu El Barca merasakan tersisih di 16-besar. Liverpool yang menyingkirkan mereka. Setelah itu, El Barca setidaknya melangkah ke perempat final. Dua kali mereka tersingkir di babak ini. Kedua-duanya versus Atletico Madrid.
Kekalahan telak di Parc des Princes itu pun menjadi rekor kekalahan terbesar yang dialami Barcelona dari tim asal Prancis. Sebelumnya, rekor adalah kekalahan 1-4 yang diderita dari Metz pada 1984 di kancah Piala Winners.
Memang benar, bagi segelintir orang, kekalahan itu bisa sangat dimengerti karena PSG ditangani entrenador asal spanyol, Unai Emery. Dia tentu tahu banyak soal Barcelona, lawan yang paling sering ditemuinya sepanjang berkarier sebagai pelatih. Laga di Parc des Princes lalu itu adalah pertemuan ke-24 Emery dengan El Barca.
Akan tetapi, Emery bukanlah pawang Barcelona. Sejak bersama Almeria pada 2007-08, dia sangat jarang menangguk kemenangan atas El Barca. Kemenangan bersama PSG adalah yang kedua. Sisanya, dari 22 laga, sebanyak 16 kali berakhir kekalahan dan enam kali saja yang berujung hasil imbang.
Di Parc des Princes, PSG memang tampil lebih superior dari Barcelona. Namun, kekalahan itu tetap saja lebih disebabkan oleh performa buruk Javier Mascherano dkk. Mereka seperti clueless menghadapi gempuran Blaise Matuidi cs. Trio MSN (Messi-Suarez-Neymar) saja tak bisa berbuat banyak. Sebagai pelatih, Enrique menjadi sasaran. Banyak pihak menilai kekalahan memalukan itu gara-gara ketidakbecusan Lucho menangani El Barca.
Tameng Pemain
Lucho, panggilan Enrique, tak menampik tudingan itu. Usai pertandingan, dia menyatakan diri sebagai pihak yang seharusnya dihujat. Menurut dia, kesalahan bukan terletak pada para pemain yang telah berjuang keras di lapangan hijau. "Itu malam yang sangat buruk. Kami benar-benar inferior. Saya bertanggung jawab atas hal ini," kata dia.
Begitulah Enrique. Dia selalu memasang badan bagi para pemainnya. Setiap kali timnya kalah, tampil buruk, atau ada pemainnya yang dipojokkan, dia selalu tampil ke depan dan berkata, "Itu kesalahan saya. Jangan salahkan para pemain! Semua hal buruk yang terjadi adalah kesalahan saya!"
Tak bisa disangkal, bagaimanapun, pelatih punya andil besar dalam kesuksesan atau keterpurukan sebuah tim. Namun, benarkah Enrique seorang diri yang harus memikul semua beban kekalahan di Parc des Princes itu? Jangan-jangan, hujatan-hujatan itu muncul hanya karena publik kadung membencinya. Bukankah sedari awal banyak pihak yang meragukan eks pelatih AS Roma tersebut?
Pangkalnya tentulah perbedaan filosofi dan gaya main yang diusungnya. Enrique tak sepenuhnya menumpukan permainan pada penguasaan bola. Dia memberikan dimensi vertikal dengan umpan-umpan panjang dan membuat El Barca bermain dengan lebih direct. Selain itu, Lucho pun menggeser poros serangan dari tengah ke kedua sayap.
Perbedaan pendekatan inilah yang menimbulkan kekecewaan banyak pihak, terutama para pendukung El Barca yang belum move on dari era kejayaan di bawah Josep Guardiola. Mereka menilai Lucho telah merusak identitas Barcelona. Eks pemain serbabisa itu pun dianggap telah membuat para pemain kehilangan kegembiraan dalam bermain sepak bola.
Sejak ditangani Josep Guardiola pada 2008-09, di Barcelona, kegembiraan tercapai lewat dominasi permainan dengan menguasai bola selama mungkin. Para penggawa El Barca mendapatkan kesenangan ketika lawan kebingungan merebut bola dan frustrasi berat karena sulit melakukan serangan.
Itu pula yang bergaung saat ini. Banyak pengamat, pakar, dan analis mengajukan bukti. Penurunan rerata penguasaan bola dan jumlah operan per laga termasuk di antaranya. Diario As bahkan secara spesifik menunjukkan pergeseran pusat permainan. Sebelum Enrique, pusat permainan ada di tangan Xavi. Dialah yang paling sering menguasai bola dan melepaskan umpan. Namun, sejak era Enrique, pusat permainan bergeser ke belakang, dari Jordi Alba, Gerard Pique, hingga Mascherano pada musim ini.
Soal lini tengah juga menjadi sorotan banyak orang. Teralienasinya Sergio Busquets dan Andres Iniesta menjadi bukti pergeseran identitas permainan El Barca. Mereka pun terkesan hanya bertumpu sepenuhnya pada trio MSN yang luar biasa.
Advertisement
Dosa Kecil
Bagi para Cules, pengingkaran terhadap filosofi permainan yang fondasinya diletakkan Johan Cruyff tersebut adalah dosa besar. Bukan tradisi Barcelona membebaskan pelatih menerapkan filosofinya seenak hati.
"Menjadi pelatih Barcelona itu berbeda dengan melatih klub-klub lain karena Anda harus beradaptasi dengan filosofi yang ada. Di klub lain, pelatih bisa menyesuaikan para pemain dengan filosofinya, tapi di sini tidak begitu. Di sini, Andalah yang harus beradaptasi," kata Mascherano pada 2015.
Meski begitu, rasanya salah besar menuding Enrique telah merusak Barcelona. Di banyak laga, mereka masih dominan dalam penguasaan bola. Enrique tidak meninggalkan identitas El Barca. Dia hanya memberikan warna lain. Sejak awal, dia secara terbuka menyatakan tetap berpijak pada filosofi yang ada, namun akan memberikan variasi. Jika dianggap dosa, rasanya ini dosa kecil saja.
Saat ini, terlalu berlebihan menyebut El Barca tengah krisis hanya karena kekalahan telak dari PSG. Tengoklah ke La Liga. Dalam 16 laga terakhir, tak sekali pun Messi dkk. menderita kekalahan. Lihat pula kiprah Barcelona di Copa Del Rey. Mereka sanggup menembus final, hal yang tak bisa dilakukan Real Madrid. Kata krisis muncul dari mereka yang tak suka pada permainan El Barca di bawah Enrique.
Padahal, perubahan adalah keniscayaan. Enrique datang ketika Carles Puyol pensiun dan Victor Valdes sudah berada di titik nadir. Lalu, Xavi juga mendekati akhir karier. Para pilar lain macam Messi, Iniesta, Mascherano, Pique, dan Busquets juga tentu akan bertambah tua. Barcelona harus melakukan regenerasi. Enrique menyadari dirinya datang pada masa transisi yang sangat krusial bagi El Barca.
Soal filosofi, saat Lucho datang, Barcelona ibarat buku yang terbuka lebar. Semua lawan sudah mempelajari dan mengidentifikasi kelemahannya. Barcelona yang semula misteri besar berangsur menjadi sesuatu yang mudah diterka. Jupp Heynckes dan Diego Simeone termasuk yang berhasil memecahkan kode-kode dalam permainan El Barca dan meracik penangkalnya.
Perlu disadari pula, sebuah filosofi dan gaya main hanya akan berhasil bila ditunjang oleh materi yang tepat. Di Barcelona saat ini, kualitas Ivan Rakitic, Andre Gomes, Rafinha Alcantara, Denis Suarez, dan Arda Turan jelas berbeda dengan Xavi, Iniesta, dan Busquets. Sudah begitu, anak-anak La Masia juga kian jarang yang melesat seperti Messi dan Iniesta. Ini faktor yang menyulitkan Enrique untuk mempertahankan tiki taka ala Guardiola secara sempurna.
Variasi dan modifikasi perlu dilakukan sesuai perubahan skuat dan perkembangan zaman. Variasi dan modifikasi juga diperlukan untuk membuat Barcelona kembali susah diprediksi lawan. Lucho menemukan unsur misteri itu lewat kombinasi penguasaan bola dan serangan balik cepat. Dia menyadari kekuatan Barcelona kini ada di lini depan, bukan lagi lini tengah. Guardiola saja memuji Barcelona di bawah Enrique sebagai tim dengan serangan balik paling mematikan.
Sayangnya, resep ini tak bertahan lama. Musim ini, resep itu telah usang dan mudah ditangkal. Emery dan PSG menunjukkan bahwa bila aliran bola kepada trio MSN diganggu, permainan Barcelona akan macet dan mesin golnya tak berproduksi dengan baik. Inilah yang jadi pekerjaan rumah terbesar bagi Enrique. Dia harus memeras otak untuk menemukan variasi baru sehingga Barcelona tak lagi mudah diprediksi.
Dan itu harus ditunjukkan saat menghadapi Atletico pada akhir pekan ini. Di tengah keraguan terhadapnya yang tengah memuncak, hanya performa impresif dan berbuah kemenangan yang bisa menjadi jawaban. Tanpa itu, suara-suara yang mendesak manajemen mencopotnya akan bergaung lebih kencang walaupun pergantian entrenador rasanya bukanlah panasea utama El Barca.
*Penulis adalah komentator, jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.