Liputan6.com, Jakarta - Piala Presiden 2018 sudah berakhir pada pengujung pekan lalu. Pada gelaran ketiga ini, Persija Jakarta tampil sebagai juara berkat kemenangan impresif 3-0 atas Bali United. Sayangnya, laga final di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) itu diwarnai beberapa cela.
Kerusakan fasilitas stadion oleh oknum suporter lagi-lagi terjadi. Padahal, miliaran rupiah telah dikucurkan demi merenovasi stadion ini agar cantik saat gelaran Asian Games berlangsung pada Agustus mendatang. Sebuah potret buram tentang perilaku suporter yang masih belum dewasa untuk sekadar memelihara aset bersama.
Advertisement
Baca Juga
Lalu, yang tak kalah menghebohkan, tentu saja aroma politisasi yang sangat kental. Benturan politik yang terjadi di ruang-ruang publik lain sejak beberapa tahun terakhir, tersaji juga di arena sepak bola yang menjunjung tinggi fair play. Di pengujung turnamen, tersaji drama Maruarar Sirait vs Anies Baswedan yang akhirnya diseret menjadi Jokowi vs Anies.
Pada akhirnya, inilah yang menjadi perbincangan publik. Sudah dapat diduga pula, debat terjadi antara dua kubu yang dalam beberapa tahun ini selalu bertikai. Seperti biasa juga, tanpa ujung yang jelas, hanya saling menyalahkan. Khas debat kusir yang kerap kita saksikan bersama di ruang publik belakangan ini.
Sungguh sangat disayangkan, justru ini yang menjadi viral, bukannya kehebatan Persija yang sejak musim lalu menunjukkan perkembangan luar biasa. Bukan pula soal final yang merepresentasikan kekuatan tradisional dan kekuatan baru di sepak bola nasional. Bukan juga tentang kehebatan Marko Simic yang membuat "brace" di laga final Piala Presiden 2018.
Akan tetapi, begitulah realitas sepak bola kita. Ulah suporter dan aroma politik seakan sudah jadi bagian integral, bahkan budaya. Apalagi, dari tajuknya sendiri, Piala Presiden, turnamen ini memang sudah kental nuansa politik. Tentu tidak akan semudah membalik telapak tangan untuk membenahi hal ini.
"Kick politics out of football" dan "kick vandalism out of football" hanya bisa dilakukan dengan kerja bersama dan sungguh-sungguh oleh seluruh pemangku kepentingan di sepak bola. Bagaimana bisa sepak bola bersih dari unsur politik bila banyak politisi yang berkiprah di dalamnya? Ironisnya, sepak bola kita memberi panggung bagi mereka.
Bagaimana vandalisme bisa dihentikan bila tanpa edukasi nyata dan berkesinambungan terhadap para suporter? Sebatas imbauan jelang laga saja tidak cukup karena ini menyangkut puluhan ribu kepala dengan tingkat emosi dan pendidikan berbeda. Lalu, apakah menghukum klub jadi jawaban? Belum tentu juga. Lagi pula, bila hal itu terjadi saat timnas berlaga, apakah timnas juga harus diberi hukuman yang sama?
Â
Lebih Bergengsi
Sekarang, mari kita beranjak dari dua cela besar yang ditinggalkan di final itu. Mari kita sejenak menelaah turnamen itu sendiri. Mari kita melihat posisi turnamen yang awalnya digagas oleh Mahaka Sports and Entertainment ini.
Pada awalnya, saat digagas pada 2015, turnamen ini digelar sebagai salah satu sarana untuk memfasilitasi klub-klub dan para pemain agar bisa tetap berkompetisi di tengah sanksi yang dijatuhkan FIFA terkait adanya intervensi pemerintah terhadap PSSI. Kemudian, karena terlihat seksi, turnamen ini diambil alih oleh PSSI dari Mahaka dan jadi semacam turnamen pramusim rutin.
Ini sebenarnya menjadi sebuah tanda tanya besar. Di berbagai belahan negara lain, turnamen pramusim biasanya digelar oleh pihak di luar asosiasi sepak bola negara yang bersangkutan. Coba saja cari apakah ada turnamen seperti Piala Presiden ini di negara-negara lain?
Karena digelar oleh PSSI, turnamen ini pun seolah menjadi pesaing serius bagi Liga 1 walaupun pesertanya tak melulu tim-tim Liga 1. Tajuknya memang pramusim, tapi gengsinya luar biasa. Pertama, hadiahnya wah. Persija, sang juara, mendapatkan Rp3,3 miliar dengan hanya melakoni tujuh pertandingan. Itu bahkan lebih besar dari hadiah juara Liga 2 yang melelahkan dan kabarnya masih ditunggak hingga sekarang.
Hal lain yang tak kalah bergengsi, trofi juara diserahkan oleh kepala negara. Ini luar biasa. Bahkan Bhayangkara FC yang juara Liga 1 saja tidak merasakan hal itu. Dari sisi ini, sangat jelas terlihat adanya keistimewaan tersendiri dari Piala Presiden walaupun hanya sebuah turnamen pramusim.
Keistimewaan lainnya, Piala Presiden bahkan bisa mengalahkan AFC Cup. Soal jadwal saja, Persija dan Bali United tak bisa berkutik karena tak ada toleransi walaupun keduanya harus berlaga di kancah antarklub Asia itu. Di semifinal, jadwal padat di dua ajang menyergap mereka karena pihak penyelenggara enggan menggeser jadwal laga. Bali United bahkan sudah merasakan itu saat fase grup.
Menilik gengsi yang tinggi itu, tak heran bila Persija dan Bali United terkesan lebih fokus ke Piala Presiden. Kekalahan telak dari lawan masing-masing pada laga pertama AFC Cup adalah buktinya. Kesan melepas pertandingan itu sangat terasa dari "starting line-up" yang diturunkan. Tengok saja, Ilija Spasojevic hanya menghuni bangku cadangan Serdadu Tridatu sepanjang laga melawan Yangon United. Adapun Marko Simic malah tak dibawa Persija ke kandang Johor Darul Takzim.
Advertisement
Kembalikan ke Asal
Atas dasar itu, sudah sepatutnya Piala Presiden dikembalikan ke asalnya. Ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan. Pertama, tentu saja menyudahi turnamen ini. Apalagi, mulai musim ini, PSSI akan kembali menggulirkan Piala Indonesia. Biarlah Liga 1 dan Piala Indonesia menjadi ajang paling bergengsi di sepak bola negeri ini.
Lagi pula, ketika liga sudah kembali bergulir, sesungguhnya tugas Piala Presiden sudah tuntas. Ingatlah, turnamen ini, juga beberapa turnamen lain, digulirkan pada 2015 untuk mengisi kevakuman kompetisi akibat sanksi FIFA. Turnamen ini diadakan guna memfasilitasi klub-klub dan para pemain agar tak lantas mati suri.
Jikapun mau dipertahankan sebagai ajang pramusim, kiranya perlu perubahan nama. Tak perlu lagi turnamen itu dinamai Piala Presiden yang mengesankan gengsi lebih tinggi dari Liga 1 dan Piala Indonesia. Selain itu, seperti dikemukakan di awal, nama Piala Presiden terlalu politis.
Tanpa embel-embel kata presiden, turnamen ini bisa betul-betul menjadi pramusim yang sesungguhnya. Perlu diingat, pramusim adalah masa persiapan klub-klub menjelang kompetisi utama berlangsung. Biarkanlah turnamen ini menjadi seperti Emirates Cup, Audi Cup, atau bahkan ICC, yakni sebagai ajang bagi klub mencoba semua pemain, bukan mengejar gelar sebelum kompetisi utama bergulir.
Perlu diingat, pramusim adalah pemanasan. Sangat keliru bila intensitas persaingan di ajang pramusim tak ubahnya kompetisi utama. Pemanasan itu harus relaks, santai, serius. Baik itu para pesertanya maupun aturan yang diberlakukannya.
Pengelolaan turnamen ini pun sebaiknya dikembalikan kepada pihak lain, bukan lagi oleh PSSI. Soal gengsi dan pendapatan ekonomi, asal tetap ditangani dengan baik dan diikuti tim-tim terbaik, hal itu akan tetap terjaga.
Adapun nama Piala Presiden sebaiknya dikembalikan kepada trofi utama liga. Bukankah nama itu yang melekat pada trofi juara kompetisi perserikatan dulu? Biarkanlah dia menjadi lambang supremasi tertinggi di sepak bola negeri ini. Terlalu agung nama presiden dipakai sekadar untuk trofi dan titel ajang pramusim.
*Penulis adalah pengamat sepak bola dan jurnalis. Tanggapi kolom ini @seppginz.