Liputan6.com, Moskow - Mungkinkah siklus juara baru di setiap 20 tahun penyelenggaraan Piala Dunia benar adanya? Jika benar, maka Piala Dunia 2018 di Rusia ini akan jadi milik Kroasia.
Kroasia, negeri dengan populasi terkecil di Piala Dunia 2018, (hanya sekitr 4,1 juta jiwa), saat ini memang sudah sampai di laga puncak, usai di semifinal mengalahkan Inggris 2-1, Rabu (11/7/2018). Di final, Minggu (15/7), mereka akan berhadapan dengan Prancis di Stadion Luzhniki, Moskow.
Kroasia belum pernah juara. Paling bagus, prestasi mereka adalah menembus semifinal, di Piala Dunia 1998. Berbeda dengan Prancis, pernah jadi yang terbaik di dunia saat berlaku sebagai tuan rumah di tahun 1998.
Advertisement
Baca Juga
Siklus 20 tahun juara baru Piala Dunia sendiri dimulai tahun 1958. Ketika itu, Brasil jadi juara untuk pertama kalinya, setelah di final mengalahkan tuan rumah Swedia 5-2.
Brasil ketika itu, mematahkan dominasi Uruguay, Italia, dan Jerman Barat, yang sebelum bergantian jadi juara sejak 1930, saat Piala Dunia pertama kali digelar.
Dua puluh tahun berselang, juara baru kembali muncul di Piala Dunia 1978. Kali ini, Argentina yang muncul ke permukaan. Ketika itu di final mereka mengalahkan Belanda 3-1.
Â
Siklus 20 tahun kembali menunjukkan kesahihannya saat Prancis memenangkan trofi Piala Dunia di tahun 1998. Menariknya, ketika itu, di semifinal mereka mengalahkan Kroasia.
"Kami pantas berada di final. Tapi, kami tak mau berhenti," ujar kapten Kroasia, Luka Modric, terkait mimpi mereka menjuarai Piala Dunia 2018, seperti dikutip BBC. "Masih ada laga final lawan Prancis, kami siap mengeluarkan segalanya."
Tak Terkalahkan
Sepanjang Piala Dunia 2018, Kroasia memang tampil konsisten, tanpa terkalahkan. Memang, di dua laga menjelang final, mereka harus mati-matian hingga menggelar adu penalti lawan Denmark dan tuan rumah Rusia di 16 besar dan perempat final.
Namun, di fase grup, Modric dan kawan-kawan begitu digdaya menghantam lawan-lawannya. Nigeria, Argentina, dan Islandia mereka bekap 2-0, 3-0, dan 2-1.
Gol-gol mereka juga lahir dari pemain-pemain yang berbeda. Mario Mandzukic, Ivan Perisic, Ivan Rakitic, Andrej Kramaric, termasuk Modric bergantian menyumbang gol demi gol untuk kejayaan Vatreni.
Itu bisa jadi bukti, bahwa Kroasia punya kelektivitas permainan dan individu berbahaya yang merata. Satu hal yang jarang dimiliki tim-tim lainnya.
Advertisement
Peran Modric
Modric, sebagai "koki" di lapangan tengah, begitu aktif mengatur irama permainan Kroasia, sekaligus mengalirkan bola, menjamin serangan-serangan Vatreni tetap menggeliat. Tapi, tentu, dia tak sendiri.
Di sisi kanan-kirinya, ada duo Ivan (Perisic dan Rakitic), serta Ante Rebic atau Mateo Kovacic yang tak kalah menggeliatnya. Mereka inilah yang membuat dua penyerang Mario Mandzukic dan Andrej Kramaric jadi lebih berbahaya.
Sementara di lini pertahanan, duet Damagoj Vida dan Dejan Lovren menjadi palang-pintu yang sulit ditembus lawan. Permainan keduanya taktis, lugas, dan tanpa kompromi. Jika keduanya tak fit, Kroasia masih punya duet tangguh lainnya di lini pertahanan: Vedran Corluka dan Duje Caleta Car.
"Saya katakan, saya tidak bisa mengajarkan pemain-pemain ini bermain sepak bola. Mereka sudah memainkannya dengan fantastis," ujar pelatih Kroasia, Zlatko Dalic. "Saya hanya bertanggung jawab untuk hal yang lain."
Balas Dendam
Ini jelas akan jadi modal besar mereka di laga final lawan Prancis. Jika Kroasia bisa tampil konsisten, bukan tak mungkin mereka tampil jadi juara sekaligus menghidupkan kembali "siklus 20 tahun" tadi.
Dan, Dalic punya trik sendiri untuk menjamin "siklus 20 tahun" ini tetap terjaga. Jelang final lawan Prancis, pria berusia 51 tahun itu memantik rasa patriotisme Modric dan kawan-kawan menyebut laga final itu sebagai ajang pembalasan dendam.
Maklum, dalam perjalanan mejaga "siklus 20 tahunan" di tahun 1998, Prancis menyungkurkan Kroasia di semifinal. Ketika itu, Kroasia yang diperkuat generasi emas layaknya Zvonimir Boban, Slaven Bilic, Robert Jarni, Robert Prosinecki, serta Davor Suker, ditekuk 1-2 lewat dua gol dari bek Prancis, Lilian Thuram. Prancis berjaya, salah satunya karena berlaku sebagai tuan rumah.
Â
Dan, Minggu (15/7) di Luzhniki, kata Dalic, adalah kesempatan mereka untuk membalas kekalahan itu. Dalic menyebut, yang perlu mereka lakukan saat ini adalah tetap fokus dan bersiap maksimal untuk laga puncak itu.
"Tentu, semua orang di Kroasia selalu mengingat Lilian Thuram dan skor 2-1 itu. Hal itu telah menjadi pembicaraan pendukung kami dalam 20 tahun terakhir. Sekaranglah kesempatan kami untuk menuntaskannya," ujar Dalic, yang mengaku ketika itu hadir di Prancis sebagai suporter.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement