Liputan6.com, Jakarta - Sepak bola Indonesia menutup tahun 2018 dengan tak mengenakkan. Di ajang Piala AFF 2018, Timnas Indonesia yang dilatih Bima Sakti, tak berdaya, tersingkir, bahkan sebelum laga penyisihan grup berakhir.
Dua kekalahan di Grup B, 0-1 dari Singapura dan 2-4 dari Thailand, membuat Timnas Indonesia gagal melangkahkan kaki ke semifinal. Bahkan, kemenangan 3-1 atas Timor Leste tak mampu menyelamatkan peluang untuk mengamankan tiket ke empat besar.
Kepastian tersingkir itu didapat Indonesia usai laga Thailand vs Filipina yang berakhir imbang 1-1, sehingga nilai keduanya, tujuh, tak mampu lagi dikejar Timnas Indonesia yang ketika itu hanya memiliki tiga poin dengan satu laga tersisa.
Advertisement
Baca Juga
Praktis, laga terakhir di Grup B, melawan Filipina, Minggu (25/11) hanya merupakan formalitas bagi Timnas Indonesia. Itu pun gagal pula dimenangkan. Tim Garuda dan Filipina berbagi angka 0-0.
Hasil ini tentu saja bertolak belakang dengan torehan Timnas Indonesia di ajang yang sama dua tahun lalu. Ketika itu di bawah asuhan Alfred Riedl, Tim Garuda melangkah hingga ke partai puncak dengan meyakinkan.
Sayangnya, ketika itu di final, Indonesia harus mengakui keunggulan musuh bebuyutan, Thailand. Dalam dua laga final, Timnas Indonesia kalah dengan agregat 2-3.
Kegagalan Timnas Indonesia lolos ke semifinal juga mengulang sejarah kelam yang pernah dialami Indonesia di tiga edisi Piala AFF sebelumnya: 2007, 2012, dan 2014. Padahal, Indonesia sendiri sebenarnya punya rekor mentereng di ajang sepak bola paling elite se-Asia Tenggara ini.
Meski belum pernah juara, Indonesia pernah lima kali menembus partai puncak. Pun tahun ini, Timnas Indonesia juga sebenarnya disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat juara, selain Thailand dan Vietnam.
Pamor Indonesia bahkan sempat membuat tim-tim elite seperti Vietnam, Malaysia, termasuk Thailand cukup berhitung saat berhadapan dengan Indonesia. Sebab, secara materi pemain, nama-nama seperti Stefano Lilipaly, Evan Dimas, Andik Vermansah, tak kalah dengan bintang-bintang tim rival.
Penunjukan Bima Sakti
Penunjukan Bima Sakti dituding banyak orang sebagai salah satu penyebab kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018. Mantan gelandang andal itu dianggap belum memiliki pengalaman terjun di dunia kepelatihan sepak bola internasional.
Bima sendiri sejatinya bukanlah pilihan utama PSSI untuk menkhodai Tim Garuda di Piala AFF 2018. Awalnya, PSSI berharap Hansamu Yama dan kawan-kawan tetap akan didampingi pelatih asal Spanyol, Luis Milla, yang sempat menangani Indonesia di ajang SEA Games 2017 dan Asian Games 2018.
Namun, negosiasi kontrak lanjutan dengan Luis Milla menemui jalan buntu, sehingga PSSI memutuskan menunjuk Bima. Kebetulan, sebelumnya, Bima adalah asisten Luis Milla.
Maka itu, pemain-pemain yang dipanggil juga mayoritas merupakan mantan anak asuh Luis Milla di ajang SEA Games 2017 dan Asian Games 2018. Metode latihan dan strategi Luis Milla pun tetap dijalankan Bima Sakti.
Namun, ya itu tadi. Sentuhan tangan Bima ternyata belum terlalu dingin untuk memberikan prestasi. Bima sendiri bukan tak tahu dirinya jadi sorotan. Secara gentlemen, dia pun meminta maaf atas kegagalan ini.
"Mungkin yang pertama dari kami tim pelatih, ofisial, hingga para pemain meminta maaf atas pencapaian ini. Pasti semua sedih dan kecewa dengan hasil ini. Namun, ini bukan kiamat bagi sepak bola Indonesia. Ini menjadi koreksi dan titik kebangkitan kami," kata Bima.
Â
Advertisement
Persiapan Singkat
Penunjukan Bima tentu bukan satu-satunya--jika mau dibilang--penyebab kegagalan Indonesia. Masa persiapan yang singkat, rasanya turut andil membuat Tim Merah Putih tak berdaya di Piala AFF 2018.
Menghadapi Piala AFF 2018 ini, Andik Vermansah dan kawan-kawan memang hanya diberi waktu efektif sekitar dua minggu untuk mempersiapnkan tim. Pasalnya saat Alfred Riedl membawa Indonesia ke final Piala AFF 2016, dia butuh lima sampai enam bulan menggelar persiapan.
Sebagai gambaran, Myanmar yang berada di Grup A, bahkan sempat menggelar pemusatan latihan di Qatar. Begitu juga Vietnam, yang memilih Korea Selatan sebagai tempat pematangan timnya. Tentu, sebelumnya, mereka telah terlebih dahulu menggelar latihan khusus di tanah sendiri.
Â
Masalah Kompetisi
Hal lain, yang mendasar penyebab kegagalan Indonesia dan menjadi masalah klasik adalah masalah kompetisi domestik, terutama kompetisi yang berjenjang. Sudah menjadi rahasia umum, di Eropa sekalipun, yang maju prestasi sepak bolanya, memiliki kompetisi yang tertata rapi.
"Ke depannya, pembinaan usia dini harus diperhatikan karena ini sebagai fondasi timnas untuk masa depan. Saya pernah bertemu pelatih timnas U-19 Jepang. Dia mengatakan untuk mempersiapkan tim butuh tujuh tahun, dan enam di antarnaya mereka dibina di akademi," tutur Bima, yang kontraknya berakhir selepas kegagalan ini.
Sekiranya, hal itu kembali ditata, Bima yakin, Indonesia punya peluang kembali berprestasi. Sebab, Bima menyebut, nyaris tak mungkin, dalam sepak bola, mengharapkan hasil yang instan. "Negara-negara yang memiliki sepak bola maju selalu ada pembinaan sepak bola berjenjang sejak usia dini. Di Indonesia, tidak punya itu," kata Bima.
Yang jelas, kegagalan di Piala AFF 2018 menjadi pelajaran berharga bagi sepak bola Indonesia. Apalagi, dalam waktu dekat Indonesia sudah harus kembali tampil di ajang internasional.
Bukan timnas senior tentu saja, karena Tim Merah Putih memang tak tampil di Piala Asia 2019. Namun, ada dua ajang bergengsi level U-23 yang harus diikuti Indonesia: Piala AFF U-22 dan kualifikasi Piala Asia U-23 2020, Februari dan Maret 2019.
Bagaimana Tim Merah Putih?
Advertisement