Membangun Budaya Tabayun Dianggap Jadi Cara Ampuh Hindari Hoaks Saat Pemilu 2024

Memasuki tahun politik dan menjelang Pemilu 2024, masyarakat dihadapkan pada maraknya informasi bohong atau hoaks, ujaran kebencian, dan berbagai narasi kebencian lain yang dapat memecah belah persatuan.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 14 Mei 2023, 13:00 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2023, 13:00 WIB
Ilustrasi Pemilu 2019
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar media sosial UIN Syarif Hidayatullah Rulli Nasrullah mengimbau, masyarakat untuk menghindari hoaks dengan membangun budaya tabayun dan saring sebelum membagikan (sharing), khususnya saat Pemilu 2024.

Rulli mengatakan, memasuki tahun politik, masyarakat dihadapkan pada maraknya informasi bohong atau hoaks, ujaran kebencian, dan berbagai narasi kebencian lain yang dapat memecah belah persatuan.

Menurut dia, informasi bohong atau hoaks tersebut kerap sengaja diproduksi untuk membangun pembunuhan karakter (character assassination) terhadap seseorang maupun kelompok.

"Hal ini terjadi karena orang atau kelompok tersebut tidak percaya diri dengan kemampuannya untuk bersaing secara sehat," kata Rulli dilansir dari Antara, Minggu (14/5/2023).

Rulli menambahkan, ada tiga alasan mengapa hoaks bisa berkembang hingga kini. Pertama, banyak pengguna media sosial menelan mentah-mentah dan tidak melakukan klarifikasi terhadap sebuah informasi.

Kedua, tambahnya, adanya friendvertaising yaitu iklan atau informasi yang disampaikan oleh sesama. Menurut Rulli, relasi pertemanan terkadang membuat masyarakat percaya terhadap seseorang, sehingga mudah untuk menerima dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar.

"Apalagi sahabat, ternyata nge-share ke kita, masa hal-hal yang hoaks, gitu. Jadi, enggak mungkinlah teman-teman itu ngirimin hoaks segala macam," katanya.

Ketiga adalah kondisi psikologis seseorang yang tidak sadar. Hal itu terjadi karena lingkungan sosial dan konten yang diakses adalah konten serupa, sehingga secara naluri seseorang tidak punya pilihan lain selain mempercayai informasi dari konten tersebut.

"Karena temannya ngomong seperti itu, terus dia buka akun yang lain juga, (lingkungannya) juga nge-share juga seperti itu; kemudian setiap hari dia juga mengakses informasi yang sama," kata Rulli.

 

Tabayun dan Klarifikasi Terhadap Suatu Informasi

Untuk mengatasi hal itu, menurut dia, masyarakat perlu membangun budaya tabayun. Mengutip buku Akidah Akhlak yang diterbitkan Kementerian Agama, tabayun dijelaskan sebagai budaya untuk mencari kejelasan hingga terang benderang.

Dia menjelaskan bahwa membangun budaya tabayun dapat dimulai dari diri sendiri. Setiap individu bisa menyaring teman di media sosial, sehingga tercipta pertemanan yang dapat meminimalkan persebaran hoaks maupun ujaran kebencian.

"Ketika teman-teman saya sudah ngomongin politik, sudah bahasanya kasar, saya langsung mematikan notifikasi status-status dia di media sosial. Ada beberapa yang saya langsung unfriend, kenapa? Karena dimulai dari situ, kita memilih siapa teman kita," tuturnya.

Rully juga menyebut, pentingnya kesadaran diri untuk meningkatkan literasi dan verifikasi melalui berbagai informasi dan platform yang tersedia. Masyarakat bisa memanfaatkan kanal cek fakta atau lainnya. Melalui cara itu, menurut Rulli, seseorang akan memiliki kehati-hatian dalam menerima atau meneruskan informasi.

Dalam perspektif agama, Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi itu juga mengungkapkan pentingnya bertabayun dalam Islam yang tercantum dalam Surat Al Hujurat ayat 6.

"Ketika datang informasi kepada dirimu, maka harus bertabayun, mengecek gitulah, ini cek nih siapa yang menginformasikan, siapa ini asalnya dari mana, isinya apa, jadi jangan buru-buru ditelan," ujar Rulli.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya