Liputan6.com, Jakarta - Internet bisa menjadi tempat yang berisiko. Ada banyak sekali postingan yang mengandung konten seksual dan kekerasan yang vulgar atau mempromosikan caci maki yang diskriminatif dan menyinggung. Pengguna internet sering kali membagikan terlalu banyak informasi pribadi dengan audiens yang terlalu publik, yang mencakup pelaku cyberbullying dan orang asing yang berniat buruk.
Berdasarkan survei dari organisasi nirlaba Common Sense dan American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, sebagian besar remaja di AS menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar yang terhubung dengan internet. Anak-anak di bawah 13 tahun pun tidak ketinggalan, mereka menghabiskan lebih dari lima jam untuk online setiap harinya.
Advertisement
Baca Juga
“Saya tidak tahu apakah kita bisa mengatakan “sebab dan akibat” pada saat ini, tetapi kita bisa membuat pernyataan korelasional dengan mencatat bahwa waktu yang dihabiskan secara berlebihan di media sosial telah dikaitkan dengan kesehatan mental yang buruk di kalangan anak-anak dan remaja,” kata Mary Alvord, seorang psikolog yang menangani anak-anak dan remaja dan merupakan asisten profesor di Fakultas Kedokteran Universitas George Washington.
Advertisement
Melansir dari Deccan Herald, Scientific American berbicara dengan para ahli tentang cara-cara terbaik untuk menjaga anak-anak tetap aman saat online.
Perlu Kebijakan Tegas bagi Platform Digital dalam Menjaga Data
Digital privacy legislation merupakan salah satu jalur kebijakan alternatif yang mungkin dapat mengubah lanskap digital menjadi lebih baik.
"Jika data orang diperlakukan dengan hormat dengan cara yang transparan dan akuntabel, sebenarnya, seluruh risiko keamanan dapat dimitigasi," kata psikolog sosial Sonia Livingstone, yang meneliti anak-anak dan media online di London School of Economics and Political Science.
Penting juga dalam membuat kebijakan yang dapat mewajibkan perusahaan media sosial untuk mengungkapkan kapan data pengguna dikumpulkan dan dijual untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu. “Ini akan membantu pengguna membuat pilihan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri,” lanjut Livingstone.
Membatasi data yang dikumpulkan dan diraup keuntungannya oleh platform teknologi juga dapat membantu memblokir perkembangan algoritma yang menekankan pada konten yang semakin ekstrem untuk menarik perhatian pengguna media sosial.
Selain itu, kebijakan privasi idealnya dapat memungkinkan pengguna untuk meminta penghapusan konten atau data yang tidak lagi mereka inginkan ada secara online.
Platform Digital Perlu Fitur-Fitur untuk Menjaga Aktivitas Online
Livingstone dan Alvord juga menyarankan sistem peringkat konten seperti yang digunakan untuk film, acara TV, dan video game karena dapat membantu kaum muda menghindari konten yang tidak pantas-dan memungkinkan keluarga untuk menetapkan batasan yang lebih tegas.
Selanjutnya, seorang computer scientist di Univesitas Vanderbilt, Pamela Wisniewski menyarankan fitur yang memungkinkan pengguna memblokir orang lain dan membatasi audiens untuk postingan tertentu memungkinkan anak-anak dan remaja untuk mengambil kendali atas keamanan mereka sendiri.
Sebagai bagian dari penelitiannya, ia mengadakan lokakarya dengan para remaja untuk melibatkan mereka dalam merancang intervensi keselamatan online.
Meskipun program yang disebut Teenovate ini masih dalam tahap awal, beberapa ide telah muncul, di antaranya adalah platform media sosial dapat memberikan "dorongan" yang akan meminta pengguna untuk berpikir dua kali sebelum membagikan data pribadi dan mendorong calon pelaku kejahatan untuk mempertimbangkan kembali permintaan data pribadi atau perilaku perundungan.
Advertisement
Peran Orang Tua
Kontrol orang tua mungkin sesuai untuk anak-anak, tetapi remaja membutuhkan kesempatan untuk menjalankan kehidupan online nya sendiri. Kebebasan seperti itu memungkinkan mereka untuk terlibat dalam beberapa aspek positif dari internet, seperti eksplorasi identitas, dan koneksi di luar gelembung sosial mereka.
“Untuk memastikan manfaat-manfaat ini dapat diakses oleh semua orang, generasi muda harus dilibatkan secara langsung dalam merumuskan peraturan dan strategi keamanan,” tambah Wisniewski.
Anak-anak dan remaja sering kali lebih paham tentang aplikasi dan platform terbaru daripada orang tua mereka dan ini membuat mereka berpikir orang tua tidak mengerti, peduli, dan orang tua tidak tertarik untuk membicarakan seputar aktivitas digital mereka.
“Dinamika ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan penghakiman. Hal ini juga dapat menyulitkan percakapan terbuka tentang aktivitas online mereka,” kata psikolog Mitch Prinstein, yang mempelajari teknologi dan perkembangan remaja di University of North Carolina di Chapel Hill.
Peran Pendidikan
Pendidikan adalah cara penting lainnya untuk menjangkau kaum muda. Mereka mungkin merupakan penduduk asli digital. Namun, masih banyak yang harus mereka pelajari tentang cara menggunakan internet dengan aman.
"Jika Anda bertanya kepada anak muda apa yang ingin mereka pelajari di sekolah, mereka akan menyukai literasi digital yang lebih baik," kata Livingstone.
Melibatkan diri dengan cara anak muda menggunakan internet alih-alih mengabaikannya adalah kunci untuk meningkatkan pengalaman generasi muda dalam menggunakan internet dengan lebih baik.
Advertisement
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.