Liputan6.com, Jakarta - Sudah 110 tahun (sejak 1908) semangat keindonesiaan bangkit dari primordialisme. Kebangkitan itu mencapai titik kenaikan luar biasa ketika bahasa Indonesia lahir.
Capaian kebangkitan nasional itu—seturut dengan heboh sastra Ghost Fleet (karya P.W. Singer dan A. Cole) baru-baru ini—bisa jadi melorot tajam. Bahkan, menjelang tahun 2030, Indonesia sudah dibayangkan bakal bubrah: alih-alih, bubar.
Advertisement
Baca Juga
Mafhum ada ungkapan bekas Indonesia (’former Republic of Indonesia’) yang disebutkan dalam teks sastra tulisan orang Amerika tersebut. Imajinasi penulis yang menghebohkan itu bisa dibaca sebagai tantangan membangkitkan nasionalisme.
Kerusakan lanskap
Bacalah kegetiran Indonesia yang digambarkan dalam novel Ghost Fleet dari sudut pandang tata ruang (lanskap). Tidak jauh dari medan peperangan yang dibayangkan akan terjadi di Pasifik—selain Papua—ada juga Sulawesi. Wilayah NKRI itu sekarang menunjukkan lanskap bahasa yang sudah mulai rusak.
Kerusakan ruang berbahasa Indonesia bisa dilihat di daerah Konawe, Sulawesi Tenggara. Banjirnya tenaga kerja asing dari negara Cina tanpa syarat wajib berbahasa Indonesia sudah mengubah wajah daerah industri pertambangan itu lebih mencolok berbahasa Cina. Titik balik nasionalisme Indonesia sedang terjadi ketika sudah tidak dianggap bahasa Indonesia utama atau penting digunakan di ruang publik.
Imajinasi penulis novel Amerika itu pun bisa melambungkan angan-angan bahwa Tiongkok sedang membangun kekuatan perang asimetris melalui Indonesia. Dalam ulasan politiknya pada 24 Maret 2018, Yusril Ihza Mahendra mengingatkan bahwa Negara Tirai Bambu itu memberlakukan wajib militer bagi warganya. Mereka yang dikirim ke Indonesia sebagai buruh migran bisa jadi tentara.
Pada 21 Maret 2018, kicauan P.W. Singer pernah terungkap di media sosial. Penulis novel itu mengutip berita CNN bahwa Presiden Cina Xi Jinping hendak mengalahkan musuh negaranya. Cerita novel Ghost Fleet mengenai perang antara Amerika Serikat dan Cina mudah dibayangkan. Dalam perang asimetris itu, begitu ampuh bahasa mereka gunakan sebagai senjata artifisial untuk merusak tatanan wilayah sasaran.
Faktor geopolitik
Kabar getir Indonesia—dalam alam imajinasi penulis asing dengan berlatar peristiwa perang dunia masa depan di Pasifik—menandai akan terjadinya titik balik semangat keindonesiaan. Di kawasan Pasifik itu, wilayah terdepan NKRI tentu Papua: dengan separuh lebih dari kebinekaan bahasa Indonesia.
Terdapat tiga isu kebahasaan geopolitik di wilayah Indonesia bagian paling timur. Pertama, masuknya bahasa asing—bahasa Inggris—sebagai bahasa kedua; kedua, rentannya isu kepunahan bahasa daerah; ketiga, gencarnya gerakan Melanesia untuk memisahkan diri dari rumpun Austronesia yang menurunkan bahasa Indonesia melalui induk (bahasa) Melayu.
Kesejajaran bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua itu tercantum dalam ketentuan Otonomi Daerah Khusus bagi Papua (UU No. 21 Tahun 2001 (Pasal 58)). Dari sisi aturan, secara resmi terbuka ruang persaingan bahasa—antara Inggris dan Indonesia—di sekolah rakyat Papua pada semua jenjang pendidikan.
Di tengah persaingan bahasa kedua itu juga terhembus isu kepunahan bahasa pertama atau bahasa ibu. Pada 21 Februari 2018 dilaporkan dua bahasa sudah punah di Papua: bahasa Tandia dan Mawes. Satu demi satu bahasa asli Papua itu terancam punah. Ancaman terhadap sekitar 370 bahasa Papua (dari 652 bahasa daerah Indonesia) menyangkut ruang hidup etnis penuturnya. Faktor geopolitik pun berpengaruh di sana.
Dari dimensi geopolitik, tidak kalah menarik berbagai festival kemelanesiaan di dalam dan di luar negeri (misalnya di Oxford, Inggris pada 2017) yang seolah memperindah mozaik keberagamaan Indonesia. Padahal, dalam perbedaan itu telah dicari kesamaan etnis, tidak untuk membagkitkan semangat sesama kita, tetapi untuk semangat ”kami” yang berkobar: We are Melanesian; Indonesia is not Melanesia.
Advertisement
Langkah maju-mundur
Tidak perlu melangkah mundur. Indonesia bisa terus bangkit berkemajuan dengan landasan ideologi yang sudah dibangun fondasinya oleh para pendiri kebangsaan ini. Mengapa mutlak perlu berbahasa Indonesia? Ketika gagasan kebangsaan Indonesia dibangkitkan pada tahun 1926 dan 1928, mereka bersepakat mengapa lahir bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.
Langkah demi langkah pun akan mundur ketika bahasa Indonesia yang sudah dilahirkan itu dimasukkan kembali dalam kandungan induk bahasa Melayu. Ketika itu berlanjut, mengingat bahasa Melayu sebagai identitas kebangsaan di negara tetangga, bagi kita yang akan tersisa bisa jadi hanya berupa bekas nama bangsa Indonesia.
Majukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara-bangsa. Bahasa lain yang hidup di Indonesia, termasuk Melayu, dilestarikan sebagai bahasa daerah yang menghidupkan wilayah Indonesia tetap multilingual. Ciri multilingualisme itu—berapa pun banyaknya bahasa--ditandai dengan satu yang diutamakan: utamakan bahasa (negara) Indonesia.
Bukanlah sebaliknya: bahasa asing yang dinaikkan martabatnya. Sudah kasat di mata titik-titik penggunaan bahasa asing yang kurang terkendali. Selain di ruang usaha seperti titik kumpulnya para pedagang dan pelaku industri, bahasa itu juga makin marak di ruang kerja pemerintahan. Ruang sekolah pun sudah mulai terbalik memundurkan bahasa sendiri.
Nasionalisme Indonesia cenderung bergerak mundur; balik pulang menuju kebangkitan primordialisme. Titik balik itu tampak dalam gerakan otonomi daerah dengan pudarnya ikatan berbahasa Indonesia. Bahasa nasional itu urusan pusat: bayangkan saja!
*Maryanto adalah pemerhati politik bahasa.