KOLOM BAHASA: Antara Sumpah Pemuda dan Islam Nusantara

Memang, jauh sebelum Sumpah Pemuda diserukan, bahasa Melayu telah mengisi rentang ruang dan waktu—setidaknya 284 tahun sebelumnya—untuk menebar kebaikan ajaran Islam di Nusantara.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Okt 2018, 08:00 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2018, 08:00 WIB
Kolom Bahasa
Salah satu ciri bahasa adalah selalu berkembang

Liputan6.com, Jakarta Barulah 90 tahun arah kebangsaan terbentuk dari seruan Sumpah Pemuda 1928. Pada momentum peringatan ini muncul gagasan kembalinya dakwah Islam Nusantara.

Memang, jauh sebelum Sumpah Pemuda diserukan, bahasa Melayu telah mengisi rentang ruang dan waktu—setidaknya 284 tahun sebelumnya—untuk menebar kebaikan ajaran Islam di Nusantara. Untuk itu, bahasa Melayu pernah diketahui berupa bahasa Nusantara.

Pada tahun 1644 (1054 H), misalnya, bahasa Melayu sudah dimanfaatkan oleh tokoh agama Islam ternama Syaikh Nuruddin al-Raniri untuk menulis biografi ulama Nusantara abad ke-14 H (Maulida, 2018 dalam komunikasi pribadi). Tulisan seperti itu disebut berkarakter Arab Melayu--aksara Arab untuk menuliskan bahasa Melayu.

 

Pendekatan budaya

Tulisan Arab gundul (tanpa diakritik) itu tidak hanya berlaku pada masyarakat bahasa Melayu, tetapi juga pada masyarakat lain seperti Jawa dan Sunda dengan sebutan Arab Pegon. Model penyebaran Islam itulah cara berdakwah melalui “pendekatan budaya” (Siradj, 2015), di antaranya merangkul, menghormati, dan tidak memberangus budaya Nusantara.

Agaknya, apa yang dimaksud dengan Nusantara itu masih taksa, ambigu, atau belum tegas apakah pengertiannya terbatas hanya dengan kepulauan Indonesia ataukah sama dengan kewilayahan budaya manusia Austronesia. Sebagai contoh, penerbitan Kamus Bahasa Melayu Nusantara (2003) oleh negara tetangga membuat pengertian Nusantara itu lebih dikenal sebagai sebuah rumpun bahasa yang mengaburkan batas antar-negara.

Apabila silang pendapat ihwal Islam Nusantara akhir-akhir ini dibatasi hanya dalam konteks kewilayahan Indonesia, perlu ingatan segar akan fakta sejarah pembagian wilayah Nusantara oleh pihak Belanda dan Inggris. Melalui perjanjian London (Traktat London, 1824), Inggris bersedia menerima tawaran “tukar guling” untuk Singapura agar Bengkulu yang sebelumnya mereka jajah itu masuk wilayah jajahan Belanda.

 Sebagian dari fakta sejarah Indonesia itu juga berupa campur tangan Belanda dalam urusan budaya di wilayah jajahan. Di tangan Charles van Ophuijsen (1901), misalnya, wajah Nusantara ini diubah agar berbudaya aksara Latin: huruf Romawi untuk menuliskan bahasa Melayu yang terlebih dahulu bercorak Arab.

 

 

Revolusi Mental

Labineka
Berlokasi di Jalan Anyar Km 4 Kompleks IPSC, Citereup, Bogor, Laboratorium Kebinekaan berisi tentang beragam informasi penting soal kebinekaan bahasa dan ragam sastra di Indonesia. (Liputan6.com)

Guncangan perubahan budaya Nusantara akibat intervensi Belanda itu dirasakan lebih awal oleh masyarakat Minangkabau (Sumatra Barat) dengan kehadiran van Ophuijsen yang begitu berpengaruh dalam dunia pendidikan. Teks pengetahuan, misalnya pada pertengahan abad ke-19 ketika Belanda berkampanye melawan wabah penyakit cacar di Sumatra Barat, sudah dibuat dalam aksara Latin.  Aksara Latin itu diterima sebagai model simbol modernitas Barat.

Salah satu putra Minang yang sangat kuat mentalnya dengan pendidikan Belanda itu ialah Mohammad Yamin. Di balik peristiwa akbar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928  (Kongres Pemuda Kedua) adalah Yamin, bersama dengan pemuda profetik lainnya, untuk bergerak berjuang menuju pintu gerbang Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.Titik puncak perjuangan itu didahului dengan serangkaian gerakan revolusioner, antara lain: pada 30 April--2 Mei 1926 ketika Kongres Pemuda Pertama berlangsung. Perlu dicatat kehadiran tiga tokoh penting ini, selain Yamin: Djamaludin, M. Tabrani, dan Sanusi Pane. Sangat penting kehadiran mereka itu karena keinginannya mewujudkan satu nusa; satu bangsa; satu bahasa (lihat catatan Majalah Tempo Edisi 2 November 2008).

Dalam pandangan Yamin, ada dua bahasa--Jawa dan Melayu--yang berpeluang mempersatukan wilayah yang bakal mewujudkan Indonesia itu. Bahasa Melayu dipilih Yamin dengan didukung oleh Djamaludin selaku Sekretaris Panitia Kongres tersebut. Namun, Tabrani selaku Ketua Panitia menyanggah pendapat dua rekannya, tepatnya pada 2 Mei 1926, dengan bertanya: mengapa bukan bahasa Indonesia?

Sanggahan Tabrani itu tercatat dalam buku B. Sularto (1986) secara lengkap dengan perkataan dukungan Sanusi Pane: saya setuju bahasa Indonesia “lahir”. Kelahiran bahasa Indonesia—meskipun tidak diakui oleh pihak Belanda—tetap merupakan simbol paripurnanya gerakan revolusi mental demi tujuan bersama untuk bekerja menjadi sesama Indonesia, sebagaimana dinyatakan kemudian dalam tiga butir Sumpah Pemuda 1928.

Atas bahasa Melayu, yang melahirkan bahasa Indonesia, gerakan revolusi mental pun sudah semestinya terjadi. Seperti gerak organisme pada umumnya, yang lahir itu tidak mungkin sama persis dengan maujud yang melahirkannya. Memang, sekarang sudah terbentuk organisasi kerja keserumpunan seperti Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI).

Tak-kembali

Kerangka kerja seperti DMDI itu akan sulit menyusun kembalinya bahasa Indonesia yang sudah dinyatakan lahir dari induk Melayu. Kesulitan itu karena bagian-bagian organ bangsa Indonesia yang terlahir tidak semuanya penganut Islam/pemangku ras tertentu, melainkan pemangku beragam budaya manusia dalam kesatuan tanah air Indonesia.

Nah, ketika terjadi silang pendapat atas munculnya kembali Islam Nusantara di Indonesia, agaknya perlu ketegasan “jalan tengah” yang bersifat moderat atau tawasut dalam istilah Azra (2002). Satu arah pada jalan pikiran manusia Indonesia untuk hidup bersatu secara inklusif, berdampingan, dan—bahkan—damai dengan beragam penganut agama atau pemangku berbagai kepentingan lain juga sudah diserukan dalam Sumpah Pemuda.

Demi umat manusia Indonesia yang tak-kembali tersekat-sekat itu, terdapat titik temu kesamaan di antara Sumpah Pemuda dan Islam Nusantara: arah tujuan bersama menjadikan sesama umat Indonesia. Semoga tidak ada arah jalan yang berbelok. ---

*Maryanto, pengamat politik bahasa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya