Liputan6.com, Jakarta - Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) belakangan ini sedang banyak diperbincangkan. Terutama sejak berita dari penyanyi dangdut terkenal, Lesti Kejora yang melaporkan suaminya, Rizki Billar soal dugaan KDRT pada dirinya.
Dalam permasalahan rumah tangga, isu KDRT kerap kali terjadi. Korbannya bukan hanya perempuan, namun ada juga laki-laki.
Baca Juga
Tak hanya itu, dampak dari KDRT tersebut juga berpengaruh pada bayi dan anak-anak. Mereka yang hidup di lingkungan tersebut dapat menderita trauma fisik dan emosional.
Advertisement
Para ilmuwan telah mengidentifikasi bahaya KDRT bagi anak-anak yang tumbuh di lingkungan tersebut.
Menyaksikan kekerasan, membawa risiko bahaya yang sama terhadap kesehatan mental dan pembelajaran anak-anak secara langsung.
Pencitraan otak pada bayi menunjukkan bahwa paparan kekerasan dalam rumah tangga - bahkan saat mereka tidur, atau dalam kandungan, dapat mengurangi fungsi otak, mengubah struktur keseluruhannya, dan memengaruhi cara siklus bekerja bersama.
Dilansir USA Today, Selasa (11/10/2022), studi menunjukkan bahwa ketika bayi yang lahir dari ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan, mereka memiliki peradangan tiga kali lebih banyak di tubuh mereka daripada mereka yang ibunya tidak mengalami kekerasan.
Peradangan menyebabkan risiko kesehatan yang lebih buruk dan kemungkinan depresi yang lebih besar.
Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak ini kemungkinan besar mengalami gangguan stres pascatrauma seperti halnya tentara yang kembali dari perang.
Hasil Penelitian
Psikolog Kathleen Kendall-Tackett, mantan ketua divisi psikologi trauma American Psychological Association, mengatakan bayi itu seperti papan tulis kosong.
"Jika seorang ibu dipukuli saat hamil, ada kemungkinan bayinya akan terluka, dilahirkan prematur, dan ada setumpuk hal lain yang bisa terjadi - termasuk pemrograman fisiologis dari sistem stres hiperaktif yang menyebabkan peradangan saat dewasa," katanya.
"Ini seperti ketika seorang prajurit kembali dari pertempuran, mendengar bunyi klik dan menyentuh tanah," tambah Kathleen Kendall-Tackett.
Para peneliti memperkirakan bahwa antara 4,5 juta dan 15 juta anak terpapar kekerasan fisik di rumah.
Ahli saraf Tanja Jovanovic mengarahkan Grady Trauma Project, sebuah lembaga penelitian Emory University di Atlanta.
Risiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dari kekerasan dalam rumah tangga tinggi, katanya, karena itu adalah "pengkhianatan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung."
Lebih buruk lagi, kata Jovanovic, kekerasan dalam rumah tangga sering kali menghilangkan efek penyangga dari orang dewasa lain yang positif, karena orang dewasa yang menjadi sasaran tidak dapat memberikan kenyamanan kepada anak-anak yang menyaksikannya.
Â
Advertisement
Risiko Kekerasan pada Bayi
Abigail Gewirtz, Direktur Institute of Translational Research in Children's Mental Health di University of Minnesota mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa terasa lebih menakutkan daripada perang.
"Ini adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling menakutkan karena terjadi di tempat yang seharusnya aman," ungkapnya.
"Anak-anak benar-benar tidak berdaya, terutama anak-anak yang masih sangat kecil. Mereka benar-benar bergantung pada orang tua mereka," lanjut Abigail Gewirtz.
Paparan juga mengurangi potensi bayi dan balita untuk belajar. Alissa Huth-Bocks, seorang psikolog anak di Rumah Sakit Universitas di Cleveland, mengatakan "waktu yang paling merusak" adalah selama kehamilan dan tiga tahun pertama kehidupan, ketika perkembangan "mengalami pukulan terbesar di tingkat otak."
Merangkum USA Today, berikut resiko kekerasan dalam rumah tangga yang mempengaruhi bayi:
- Cedera fisik
- Kurangnya keterikatan dengan pengasuh dan respon normal terhadap orang dewasa
- Perkembangan gangguan stres pasca trauma
- Perkembangan masalah makan
- Kesulitan tidur
- Perkembangan fisik dan mental yang lamban
12 Cara Efektif Agar Terhindar dari KDRT
Pada 25 November, PBB menetapkan sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Organisasi ini juga mengidentifikasi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT sebagai pola perilaku untuk mendapatkan kekuasaan dan kontrol terhadap pasangan intim.
Ada empat jenis kekerasan dalam rumah tangga:
- Pelecehan fisik, misalnya pemukulan atau mendorong.
- Pelecehan seksual, eperti hubungan seksual tanpa persetujuan.
- Penyalahgunaan keuangan, misalnya, mencegah seseorang untuk dipekerjakan.
- Pelecehan psikologis atau emosional, ini seperti ancaman atau kutukan.
Kekerasan dalam rumah tangga melintasi semua etnis, usia, jenis kelamin, agama, dan orientasi seksual. Ini pun termasuk pada hubungan di luar pernikahan, atau yang kita kenal sebagai pacaran.
Orang-orang dari semua latar belakang sosial ekonomi dan tingkat pendidikan mana pun, tidak kebal terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Menurut survei, lebih dari sepertiga wanita dan seperempat pria mendapatkan kekerasan dari pasangan hidup mereka.
Terlepas dari jenis kelamin mereka, inilah 12 cara terbaik untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga, menurut Marriage.com:
1. Pendidikan
Â
2. Toleransi
3. Dapatkan persetujuan
4. Mengikuti norma ajaran agama
5. Dialog (pertahankan komunikasi dua arah)
6. Bantuan profesional
7. Terlibat dalam kegiatan produktif
8. Hindari lingkungan yang buruk
9. Berlatih untuk memecahkan masalah
10. Tunjukkan rasa cinta dan kasih sayang
11. Hindari perselingkuhan
12. Pergi
Advertisement