Liputan6.com, Jakarta - Mengumpat telah lama dikesampingkan sebagai topik penelitian yang serius karena diasumsikan hanya sebagai tanda agresivitas seseorang, kemampuan berbahasa yang buruk atau bahkan kecerdasan rendah. Tapi, kini ada beberapa bukti yang menentang gagasan tersebut.Â
Lalu, apakah kita sering bersumpah serapah? Mungkin banyak dari kita sering melakukannya. Seberapa besar dampak umpatan atau sumpah sarapah serta mencari tahu dari mana asalnya hal tersebut, baru-baru ini sebuah penelitian meninjau sekitar 100 naskah akademis dari berbagai disiplin ilmu.Â
Studi yang diterbitkan dalam Lingua menunjukkan bahwa penggunaan kata-kata sumpah serapah sangat mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir, bertindak, dan berhubungan satu sama lain.Â
Advertisement
Mengutip The Conversation, Rabu (19/10/2022), tak sedikit orang mengasosiasikan sumpah serapah dengan katarsis atau sebagai upaya pelepasan emosi yang kuat. Tidak dapat disangkal bahwa mengumpat berbeda dengan katarsis. Penelitian tersebut mengungkap, mengumpat punya dampak yang lebih kuat, alih-alih hanya sebagai upaya melepaskan emosi.
Mengumpat dapat membangkitkan emosi. Hal ini dapat diukur dalam respons otonom seperti peningkatan jumlah keringat yang keluar, dan peningkatan detak jantung seseorang. Perubahan-perubahan ini menunjukkan bahwa mengumpat dapat memicu fungsi ‘fight or fight’.
"Mengumpat bisa memiliki efek yang benar-benar membebaskan ketika kita merasa frustrasi. Mengucapkan kata kotor F, atau yang serupa, dapat memiliki dampak menenangkan langsung pada emosi buruk yang mungkin kita alami," kata Dr. Raffaello Antonino, seorang psikolog konseling dan direktur klinis serta pendiri Therapy Central, sebagaimana dikutip dari Healthline, Rabu (19/10/2022).
Penelitian Neuroscientific menunjukkan bahwa mengumpat diperkirakan terletak di bagian otak yang berbeda dari tempat kita berbicara.
Mengumpat Dalam Sains
Eksperimen berbasis laboratorium menunjukan efek kognitif dari mengumpat.Â
Kita tahu bahwa kata-kata umpatan lebih menarik perhatian dan lebih mudah diingat daripada kata-kata lain. Tetapi, kata-kata tersebut juga mengganggu proses kognitif dari kata-kata atau stimulus lain. Jadi, mengumpat juga dapat menghalangi cara berpikir.Â
Dalam eksperimen yang mengharuskan orang untuk merendam tangan di air es, mengumpat menjadi salah satu penghilang rasa sakit. Studi ini mengungkap, mengumpat dapat membuat kita mentolerir rasa sakit bahkan dari rasa sakit yang lebih tinggi sekali pun, jika dibandingkan dengan kata-kata biasa. Bahkan, penelitian lain menemukan peningkatan kekuatan fisik pada orang setelah mengumpat.
Selain berada di bagian otak yang berbeda, secara khusus, umpatan dapat mengaktifkan bagian dari sistem limbik (dikenal sebagai ganglia basal dan amigdala).
Struktur dalam tersebut terlibat dalam aspek memori dan pemrosesan emosi yang bersifat naluriah dan sulit dihindari. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa mengumpat masih bisa dilakukan sekali pun seseorang mengalami kerusakan otak.Â
Advertisement
Pengaruhi Hubungan dengan Orang Lain
Selain mempengaruhi aspek biologis dan dapat mempengaruhi fisik dan mental kita, mengumpat juga mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain.Â
Penelitian di bidang komunikasi dan linguistik menunjukkan serangkaian fungsi sosial yang berbeda dari mengumpat-mulai dari mengekspresikan agresi dan menyebabkan pelanggaran hingga ikatan sosial. Bahasa yang buruk bahkan dapat menunjukkan identitas kita dan meningkatkan perhatian serta dominasi atas orang lain.Â
Namun, kata-kata umpatan juga ternyata tersimpan lebih cepat di memori dan membutuhkan pemrosesan kognitif yang lebih besar daripada rangsangan linguistik lainnya. Ia hadir sebagai pengalih perhatian dan membutuhkan pemrosesan yang lebih tinggi di otak.
Ketika digunakan dalam interaksi lisan, mengumpat menghasilkan berbagai efek interpersonal dan retorika yang kontekstual. Mengumpat menjadi sarana ekspresi emosional yang kuat untuk mencapai hubungan interpersonal yang positif dan negatif.
Hal ini juga berpotensi dalam pembentukan kredibilitas pesan yang disampaikan bersamaan dengan umpatan.
Kekuatan Umpatan
Meskipun belum ada data pasti terkait ini, tetapi, orang sekarang lebih banyak terpapar berbagai jenis umpatan semenjak adanya televisi, radio, internat, dan media sosial. Tetapi, bukan berarti orang rata-rata lebih sering mengumpat dibandingkan sebelumnya.Â
Dalam perhitungan frekuensi terbaru yang dilakukan Psychological Science, proporsi yang lebih besar untuk mengumpat adalah wanita.Â
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kata-kata umpatan yang paling sering dicatat, masih sering diungkapkan selama 30 tahun terakhir.Â
Kata-kata Anglo-Saxon yang kita ucapkan yang berusia ratusan tahun, dan sebagian istilah seksual yang secara historis menyinggung juga masih ada di daftar kata ofensif yang sering digunakan dan belum tergeser oleh modernitas.Â
Meskipun umpatan penggunaannya melintasi status sosial ekonomi dan rentang usia, namun, hal ini lebih umum terjadi di kalangan remaja dan lebih sering terjadi di kalangan pria.
Kata-kata tabu memiliki tempat yang unik dalam bahasa karena setelah dipelajari, penggunaannya sangat didorong oleh konteks.Â
Meskipun memiliki efek yang begitu nyata pada kehidupan kita, kita tidak mengetahui pasti dari mana sebenarnya sumber kekuatan sumpah serapah. Menariknya, saat kita mendengar umpatan dari bahasa yang tidak kita kenal, kata itu terdengar tidak memiliki kekuatan dan tidak ada hal khusus yang dapat mempengaruhi kita.
Jadi, sebenarnya, kekuatan mengumpat tidak berasal dari kata-kata itu sendiri. Demikian pula kekuatan itu tidak melekat pada makna atau bunyi kata-kata yang terdengar.Â
Advertisement