Liputan6.com, Jakarta - Piala Dunia 2022 Qatar resmi berakhir dengan kemenangan Argentina atas Prancis di Lusail Iconic Stadium, Qatar sebagai saksinya pada Minggu malam 18 Desember 2022.
Pada Minggu malam itu juga kita semua menyaksikan akhir dari karier Piala Dunia legend Lionel Messi setelah bermain selama lebih dari 18 tahun lamanya.
Baca Juga
Serta, kita juga menyaksikan Prancis yang harus rela menyerahkan trofi yang ia menangkan 4 tahun lalu kepada Argentina.Â
Advertisement
Momen-momen bersejarah lainnya juga bisa kita saksikan di lapangan sepanjang perhelatan Piala Dunia 2022 kali ini. Mulai dari Brazil dan Portugal yang dikalahkan tim dari negara Afrika, hingga berbagai aksi politis yang dilakukan timnas Jerman di lapangan.Â
Ada juga laporan-laporan berita yang menyoroti prestasi ekonomi dan teknologi Qatar untuk Piala Dunia 2022.
Penyelenggara acara juga terlihat mengandalkan beberapa nama besar olahraga untuk mempromosikan turnamen, termasuk pensiunan pesepakbola David Beckham. Bahkan, mengikutsertakan salah satu penyanyi asal Korea Selatan, Jungkook BTS.Â
Qatar juga disoroti karena Piala Dunia kali ini disinyalir sebagai salah satu alat mereka membanggun kembali reputasi mereka yang hancur, hingga menjadi salah satu umpan bagi Barat dan berbagai kalangan untuk berafiliasi dan datang ke sana.
Hal demikian, sering kali disebut oleh para ahli sebagai sportswashing. Lalu, berhasilkah Qatar menjalankan itu semua?
"Sportswashing adalah ketika para pemimpin politik menggunakan olahraga untuk mencoba memperbaiki reputasi mereka di panggung dunia, sementara pada saat yang sama juga mencoba mengalihkan perhatian dari masalah sosial dan pelanggaran HAM. Qatar adalah contoh klasik dari hal ini," ujar Professor Ilmu Politik di Pacific University Oregon, Jules Boykoff, melansir CBC News, Selasa (20/12/2022).
Boykoff yang dulunya merupakan seorang pemain bola juga mengungkapkan bahwa berbagai kontroversi yang terjadi di Qatar mulai meredup seiring dengan kehebatan para atlet dan penampilannya di Piala Dunia 2022.Â
"Sebagai seorang yang telah mempelajari ini dan berada di bidang ini selama lebih dari satu dekade, pembicaran mengenai HAM dan kontroversinya biasanya berhenti di awal. Tapi, meskipun mulai redup, banyak orang masih membicarakan ini di samping euforianya," pungkas Boykoff.
Selain Boycoff, beberapa ahli juga menulis bahwa salah satu hal yang dapat dijadikan standar keberhasilan dari sportswashing yang dilakukan Qatar ini adalah penonton dan berbagai euforianya.
Karena, dengan mereka larut dalam euforia, di akhir perjalanan Piala Dunia, apa yang diingat dan dibahas hanyalah hal-hal tersebut.Â
Momen Penting
Perhelatan Piala Dunia 2022 merupakan salah satu momen penting bagi sebagian besar orang. Selain karena dilakukan hanya 4 tahun sekali, sepak bola merupakan salah satu olahraga yang ramah bagi berbagai kalangan. Hal ini seperti disampaikan sejumlah orang.
"Euforia Piala Dunia 2022 banyak yang berbeda dari edisi sebelumnya. Meskipun ‘vibes’-nya lebih dapet 2010 dan 2014. Selain itu, tim-tim seperti Maroko, Jepang dan Korea Selatan juga jadi salah satu kejutan," ujar Farhan, salah satu penikmat bola asal Jakarta.
Selain Farhan, Savira, salah satu mahasiswi asal Jakarta yang juga penikmat bola merasa bahwa momen Piala Dunia merupakan momen yang digemari dan ia tunggu.
Namun ternyata, beberapa orang bukan penikmat bola juga terkadang ikut larut dalam euforia Piala Dunia yang kadang mereka tunggu-tunggu ini.Â
"Aku kurang suka bola dan awalnya enggak tahu sama sekali tentang bola. Tapi, setiap PIala Dunia selalu ikut nonton karena vibes-nya beda dari biasanya. Ini juga pertandingan antar negara. Jadi, lebih mudah nontonnya," ujar Grace, salah satu mahasiswa di Malang.Â
Grace juga mengatakan bahwa momen Piala Dunia merupakan salah satu momen penting baginya karena euforia dan keramaiannya.
Tampaknya, proyeksi pengaruh Piala Dunia memang sudah besar bagi sebagian orang.
Advertisement
Euforia dan Pengalihan Isu
Boykoff, dalam Sociology of Sport Journal 2022 memberikan kerangka analisisnya terkait dengan sportswashing yang dilakukan berbagai negara dunia melalui mega-event olahraga, salah satunya Qatar.Â
Dalam Jurnalnya yang bertajuk Toward a Theory of Sportswashing: Mega-Events, Soft Power, and Political Conflict ia menegaskan bahwa apa yang dilakukan Qatar, tidak berbeda dengan Arab Saudi. Keduanya mencuci catatan hak asasi mereka yang mengerikan menggunakan olahraga.Â
"Langkah ini mungkin tidak akan mempengaruhi pandangan penggemar olahraga yang paham tentang hal ini secara politis. Tetapi, akan membentuk pandangan para penggemar apolitis yang ingin melihat tim mereka bersaing di antara yang terbaik sambil memperkuat reputasi para pemegang kekuasaan," tulis Boykoff.
Tak jarang, para penikmat Piala Dunia yang paham berbagai hal politis juga turut larut dalam euforia Piala Dunia.
"Secara enggak sadar, euforia Piala Dunia kali ini bikin gak sadar kejadian di Qatar. Saya juga sering terpukau dengan kemewahan dan kemegahan stadion yang beberapa kali disorot," ucap Grace, salah satu mahasiswa di Malang. Â
Sebagai salah satu mahasiswa yang paham politik, Grace juga merasa berbagai momen penting dan menarik di Piala Dunia yang datang dari pemain di lapangan membuatnya luput dari kontroversi Qatar.Â
Sama halnya dengan Adi, salah satu mahasiswa di Jatinangor yang merasa euforia ini dapat menjadi pengalihan isu.
"Euphoria ini cukup untuk mengalihkan kita dari isu kontroversial seperti pekerja imigran itu. Mulai dari banyaknya kejutan hingga jamuan warga Qatar yang hangat juga bisa membuat pandangan kita berubah," ujar Adi.Â
Praktisi Sportswashing Paling Cakap
Qatar bukanlah negara pertama yang menggunakan alat ini melalui Piala Dunia Qatar. Piala Dunia 1934 Fasis Italia, Olimpiade Musim Panas 1936 Nazi Jerman, dan Olimpiade Musim Dingin Komunis Tiongkok baru-baru ini sering dikaitkan dengan sportswashing.
Namun, negara Teluk telah memperlihatkan bahwa dirinya sebagai salah satu praktisi sportswashing yang paling cakap.Â
Selain karena kaya, sistem pemerintahan Qatar juga menjadi pendukung utama sportswashing terjadi. Dari sudut pandang pejabat olahraga tingkat tinggi, bekerja sama dengan otokrat untuk menggelar acara besar seperti Olimpiade dan Piala Dunia dapat membawa manfaat yang signifikan.
Bahkan, anggota IOC Gian-Franco Kasper mengakui, diktator dapat melaksanakan acara seperti itu (sportswashing mega-event) dengan baik karena mereka tidak perlu bertanya kepada rakyat.
Kecakapan sportswashing dapat dinilai salah satunya dari persepsi masyarakat terhadap sportswasher.
Meskipun citra sebagai salah satu negara kaya penghasil minyak masih melekat. Tapi, setelah berbagai kontroversi HAM dan Piala Dunia, kira-kira bagaimana para penikmat Piala Dunia memandang Qatar?
"Bakal inget sama keberaniannya dalam ngelarang kampanye LGBT. Walaupun banyak tekanan dan penolakan dari beberapa negara, mereka cukup tahan dan teguh dengan kebijakan yang telah mereka buat. Meski pada akhirnya ada beberapa peraturan yang dilonggarkan. Tapi, tetap patut diapresiasi usaha qatar dalam penegakan keyakinan mereka," ujar Adi.
Sama halnya dengan Adi, Grace juga mengingat bahwa Qatar sukses melaksanakan Piala Dunia, serta berbagai kejadian ikonik yang terjadi di lapangan.Â
"Bakal inget sama banyak hal di luar dugaan yang terjadi. Contohnya, negara-negara underdog yang bisa mengalahkan negara jagoan," ujar Grace.
Advertisement
Bagaimana Hasilnya?
Selain kaya, Qatar memiliki koneksi internasional yang luas melalui diplomasi dan upaya lainnya. Piala Dunia hanyalah salah satu cara Qatar menggunakan kekayaannya yang sangat besar untuk memproyeksikan pengaruh mereka.Â
Sama dengan Arab Saudi yang ‘membeli’ berbagai perhelatan olahraga dari mulai tinju, Formula 1, hingga Golf, Piala Dunia Qatar merupakan negara lain yang mencontohnya: belilah olahraga yang disukai orang, maka Anda dapat menerima perhatian dan kasih sayang mereka.Â
Apa yang diingat dari Qatar dan perhelatan Piala Dunianya tampaknya sudah jelas merupakan reputasi baru mereka. Kesuksesan negara teluk, Messi yang pensiun, hingga Jungkook sebagai penyanyi Korea pertama yang menyanyikan lagu untuk Piala Dunia.Â
Boykoff juga menyatakan, Qatarmemperlihatkan kepada kita bahwa sportswashing merupakan hal yang menjadi pertaruhan. Orang akan membicarakannya terus menerus dalam berbagai aspek.
Aspek pembicaraan yang dimaksud Boykoff adalah hal-hal baik dan kontroversinya. Terlebih, hal seperti ini tidak dapat terhindarkan dari negara seperti Qatar, yang ingin meningkatkan statusnya di mata internasional.Â
Bahkan, para ahli politik internasional membenarkan bahwa keinginan untuk menjadi tuan rumah acara olahraga seperti ini merupakan ajang penting pencarian status setiap negara.Â
Seperti yang dikatakan Lilach Gilady dalam bukunya "The Price of Prestige," negara-negara sering menghabiskan uang untuk proyek-proyek yang tampaknya sia-sia.
Mulai dari acara olahraga internasional hingga kapal induk, sebagai bentuk 'konsumsi yang mencolok' yang menandakan posisi mereka dalam hierarki internasional: Jika suatu negara memiliki sumber daya untuk diboroskan, logikanya, maka negara tersebut pasti melakukan sesuatu yang benar.
Lalu, apakah sportswashing Qatar sejauh ini berhasil? Yang jelas, Qatar akan diingat sebagai negara kecil pertama yang mengadakan acara internasional dengan baik dan megah.
Serta, sebagai salah satu laga penting Messi sebelum pensiun. Atau mungkin, salah satu acara besar bagi debutnya penyanyi jebolan boygrup BTS, Jungkook.Â
Masalah status dan upaya geopolitik serta ekonomi yang lain, Qatar mungkin akan mendapatkan hasilnya beberapa bulan setelah ini.Â