Liputan6.com, Jakarta - Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan manusia ketergantungan akan media sosial. Menurut beberapa perkiraan, sekitar 4 miliar orang di seluruh dunia menggunakan situs jaringan, seperti instagram, twitter, facebook, dan TikTok. Penggunaan ini telah mendoroang para ahli kesehatan mental untuk menyelidiki apakah popularitas media sosial yang sangat besar berperan dalam peningkatan depresi?
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang membatasi waktunya di media sosial cenderung lebih bahagia dibandingkan mereka yang selalu membuka media sosial. Penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial dapat memicu serangkaian emosi negatif terhadap penggunanya yang berkontribusi atau memperburuk gejala depresi.
Baca Juga
Pada Mei 2023, seorang ahli bedah umum Amerika Serikat, dr. Vivek Murthy mengeluarkan nasihat untuk meminta perhatian terhadap dampak media sosial terhadap kesehatan mental remaja. Ia mencatat bahwa pada periode penting perkembangan otak remaja, penggunaan media sosial dapat memprediksi penurunan kepuasan hidup, kekhawatiran seputar citra tubuh, gangguan tidur, dan sebagainya.
Advertisement
Berbicara perihal depresi, ini merupakan gangguan suasana hati yang ditandai dengan perasaan sedih yang terus-menerus dan kehilangan minat terhadap aktivitas yang dulunya sangat disukai. Depresi bisa terjadi secara ringan atau berat dan akan menyulitkan penderitanya untuk berkonsentrasi, tidur atau makan dengan baik, mengambil keputusan, dan menyelesaikan rutinitas normalnya.
Orang yang depresi mungkin akan memikirkan kematian atau bunuh diri, merasa tidak berharga, mengalami kecemasan, atau mengalami gejala fisik seperti kelelahan atau sakit kepala. Psikoterapi dan pengobatan lainnya merupakan beberapa langkah untuk mengobati depresi.
Dengan membatasi waktu di media sosial dan memprioritaskan koneksi di dunia nyata akan bermanfaat bagi kesehatan mental. Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh media sosial terhadap depresi, simaklah ulasannya berikut ini, seperti yang dilansir dari halaman Verywell Mind pada Rabu (22/11/23).
Hubungan Media Sosial dengan Depresi
Beberapa penelitian tentang media sosial dan kesehatan mental mengungkapkan bahwa ada korelasi antara situs jejaring dan depresi. Penelitian lain menemukan bahwa media sosial mungkin menyebabkan depresi. Sebuah studi tentang FOMO: Limiting Social Media Decreases Loneliness and Depression yang diterbitkan dalam Journal of Social and Clinical Psychology pada 2018, menemukan bahwa semakin sedikit orang menggunakan media sosial, semakin sedikit pula perasaan depresi dan kesepian yang mereka rasakan.
Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan media sosial yang lebih rendah dan kesejahteraan emosional. Menurut para peneliti, penelitian ini menandai pertama kalinya penelitian ilmiah yang menetapkan hubungan sebab-akibat antara variabel-variabel tersebut.
Untuk mengetahui hubungan antara media sosial dan depresi, para peneliti membagi 143 mahasiswa University of Pennsylvania ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama dapat menggunakan media sosial tanpa batasan sedangkan kelompok kedua dibatasi akses media sosialnya hanya 30 menit di Facebook, Instagram, dan Snapchat yang digabungkan selama periode tiga minggu.
Setiap peserta penelitian menggunakan iPhone untuk mengakses media sosial dan para peneliti memantau data ponsel mereka untuk memastikan kepatuhan. Kelompok dengan akses media sosial terbatas melaporkan tingkat keparahan depresi dan kesepian yang lebih rendah dibandingkan pada awal penelitian.
Kedua kelompok tersebut melaporkan adanya penurunan tingkat kecemasan dan ketakutan akan ketinggalan (FOMO), tampaknya karena mengikuti penelitian ini membuat kelompok yang memiliki akses tidak terbatas ke media sosial menjadi lebih sadar akan berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk hal tersebut.
Advertisement
Fakta perihal Media Sosial dan Depresi
Terdapat fakta menarik antara media sosial dengan depresi berdasarkan studi atau penelitian, yaitu:
- Media sosial kini semakin populer, dengan lebih dari separuh populasi dunia aktif di situs jejaring ini yang menyebarkan berita tanpa henti dan sebagian besarnya bersifat negatif;
- Sebuah studi yang diterbitkan pada 2018, menemukan bahwa orang yang membuka facebook pada larut malam cenderung lebih merasa depresi dan tidak bahagia;
- Studi lain pada 2018 menemukan bahwa semakin sedikit waktu yang dihabiskan orang di media sosial, semakin sedikit pula gejala depresi dan kesepian yang mereka rasakan;
- Sebuah studi pada 2015 menemukan bahwa pengguna facebook yang merasa iri saat menggunakan media sosial tersebut lebih mungkin mengalami gejala depresi.
Alasan Generasi Muda Mudah Berisiko Depresi?
Sebelum adanya media sosial, sebagian besar anak-anak hanya perlu khawatir perihal perundungan di lingkungan sekolah. Namun, media sosial telah memberikan cara baru bagi pelaku bullying untuk menyiksa korbannya. Hanya dengan satu kali klik, pelaku tersebut dapat mengedarkan video tentang targetnya yang termasuk pada pencemaran nama baik, seperti diejek atau dipermalukan.
Orang-orang dapat mengerumuni halaman media sosial temannya, meninggalkan komentar negatif atau menyebar informasi yang salah. Dalam beberapa kasus, korban bullying juga melakukan bunuh diri.
Hal yang lebih buruk lagi adalah para korban bullying seringkali takut dan beranggapan bahwa bullying akan meningkat bila mereka berbicara kepada orang tua, guru, atau pihak yang memiliki kepentingan dibidang tersebut. Hal ini dapat membuat seorang anak merasa lebih terisolasi dan tidak mendapatkan dukungan emosional yang mereka perlukan untuk menangani situasi yang toxic dan berpotensi semakin parah.
Pengaruh Berita Buruk dan Doomscrolling bagi Generasi Muda
Bagi pengguna mdia sosial, orang yang bermain selama beberapa jam atau beberapa kali sehari, ini berarti akan sering menemukan berita, termasuk berita buruk. Berita utama yang berkaitan dengan bencana alam, serangan teroris, perselisihan politik, dan kematian seringkali menduduki peringkat teratas tren media sosial.
Sebelum munculnya media sosial, paparan berita buruk kepada seseorang sangatlah terbatas. Masyarakat memperoleh berita dari siaran-siaran yang tayang pada waktu tertentu dalam sehari atau dari surat kabar.
Kebiasaan menyebar berita buruk secara berlebihan di media sosial dikenal dengan istilah doomscrolling. Hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental seseorang sehingga menyebabkan timbuhnya gejala kecemasan atau depresi.
Sebuah studi pada 2018 terhadap 91.005 orang menemukan bahwa mereka yang mengakses facebook sebelum tidur memiliki kemungkinan 6% untuk mengalami gangguan depresi berat dan menilai tingkat kebahagiaan mereka 9% lebih rendah dibandingkan mereka yang memiliki kebiasaan tidur yang lebih baik.
Advertisement
Bagaimana Menggunakan Media Sosial dengan Aman?
Menggunakan media sosial mempunyai risiko kesehatan mental, tetapi bukan berarti harus dihindari sepenuhnya. Para ahli merekomendasikan penggunaan media sosial ini dalam jumlah sedang. Setel pengatur waktu saat Anda menggunakan media sosial. Tanpa pengatur waktu, Anda akan mudah menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial tanpa menyadarinya.
Untuk membatasi waktu Anda di media sosial, Anda juga dapat merencanakan aktivitas dunia nyata yang membantu Anda fokus pada lingkungan dan keadaan sekitar. Misalnya, membaca buku, menonton film, jalan-jalan, bermain, memasak, atau melakukan percakapan dengan teman dan orang yang kamu sayangi.
Benarkah Mengurangi Media Sosial akan Mengurangi Fomo?
Tidak diketahui secara pasti mengapa partisipan yang hanya menghabiskan 30 menit setiap hari di media sosial mengalami lebih sedikit depresi, tetapi para peneliti berpendapat bahwa hal tersebut membuat anak muda terhindar dari melihat konten pencapaian orang lain, seperti liburan ke luar negeri, kuliah dengan beasiswa, atau keluarga bahagia yang mungkin membuat mereka merasa buruk bila dibandingkan dengan diri mereka sendiri.
Melihat foto atau postingan orang-orang dengan kehidupan yang terlihat “sempurna” dapat membuat pengguna media sosial merasa bahwa mereka tidak sesuai dengan standar yang ada. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Missouri pada 2015 menemukan bahwa pengguna facebook lebih mungkin mengalami depresi bila mereka merasa iri pada konten dari situs jejaring tersebut.
Media sosial juga dapat memberikan kasus FOMO kepada penggunanya, misalnya bila dia diundang liburan ke pantai oleh temannya, tetapi tidak bisa hadir karena alasan tertentu. Atau jika teman tersebut tidak mengajaknya jalan-jalan sama sekali, pengguna media sosial mungkin akan merasa sakit hati dan tersisih saat melihat orang lain di lingkaran sosialnya juga ikut. Hal ini dapat membuat mereka mempertanyakan persahabatan atau harga diri mereka.
Pada akhirnya, membatasi waktu seseorang di media sosial berarti lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Hal ini sama dengan tidak berpikir buruk tentang diri sendiri dan mengembangkan gejala-gejala yang berkontribusi terhadap depresi.