Imigrasi Lelet, Turis Seret

Musim panas merupakan masa kerja keras bagi staf bagian konsuler KBRI/KJRI di manapun, setidaknya di KBRI Bern

oleh Liputan6 diperbarui 25 Jul 2013, 10:25 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2013, 10:25 WIB
130725bdubes.jpg
Citizen6, Switzerland: Sudah menjadi tugas dan kewajiban perwakilan RI di luar negeri baik Kedutaan Besar RI (KBRI) maupun Konsulat Jenderal RI (KJRI) di seluruh dunia untuk mempromosikan Indonesia dan menarik wisatawan manca negara sebanyak banyaknya. Selain itu sudah menjadi kewajiban KBRI/KJRI dimanapun juga untuk memberikan pelayanan konsuler sebaik-baiknya kepada WNI di luar negeri. Antara lain dalam pelayanan pembuatan paspor, Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP), legalisasi dokumen dan sebagainya.

Dalam masa liburan musim panas seperti sekarang ini, sudah menjadi hal yang rutin di hampir semua KBRI/KJRI, permintaan visa turis meningkat tajam dan permintaan paspor dari WNI  yang akan pulang liburan Ramadan dan liburan juga bertambah. Singkatnya, musim panas merupakan masa kerja keras bagi staf bagian konsuler KBRI/KJRI di manapun, setidaknya di KBRI Bern, Switzerland.

Hanya saja sayangnya kerja keras KBRI Bern tidak didukung oleh sikap yang sama oleh instansi lain, khususnya pihak imigrasi yang berwenang mencetak paspor dan stiker visa turis.

''Kerja mereka sangat lelet, yang bisa berakibat turis sangat seret masuk Indonesia,'' kata Djoko Susilo, Dubes RI di Bern.

Dia membeberkan, sejak dua bulan lalu, tepatnya 4 Juni 2013, KBRI Bern telah meminta dikirim blanko paspor sebanyak 500 buah dan stiker visa sebanyak 5000 buah. Tetapi sampai akhir Juli kemarin tidak ada kabar berita kapan barang penting tersebut akan dikirimkan dan diterima KBRI Bern. Persediaan yang ada di di KBRI Bern sudah hampir habis meski sudah pinjam ke KBRI yang lain. Persediaan blanko paspor pun juga sudah habis yang berakibat terganggunya pelayanan ke WNI yang akan  mengganti paspor untuk pulang lebaran.

Visa dan paspor itu tidak gratis karena setiap wisman yang akan meminta visa harus membayar biaya tertentu, demikian juga untuk WNI yang akan mengajukan penggantian paspor harus mengeluarkan biaya pembelian buku paspor. Semua biaya itu akan disetor ke negara sebagai Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tidak ada satu dollar pun biaya itu yang masuk KBRI/KJRI.

''Kami tiap minggu wajib setor hasil pembayaran visa dan paspor ke Jakarta dan biaya kirim menjadi tanggungan kami. Kalau telat dikit sudah pasti kami dapat teguran, lha ini imigrasi lelet kirim nggak ada yang negur. Publik tahunya yang salah KBRI jika tidak ada buku paspor dan stiker visa,'' kata dubes RI yang juga mantan anggota Komisi I DPR RI itu.

Dalam catatan KBRI Bern, setiap tahun dana PNBP yang disetor dari pembayaran viusa dan paspor tidak kurang dari Rp 2 miliar. Menurut Dubes terdapat kecenderungan kenaikan permintaan visa turis yang signifikan dalam beberapa waktu belakangan ini. Ini semua karena keberhasilan sejumlah promosi yang dilakukan KBRI Bern di berbagai wilayah Switzerland.

''Namun kalau pelayanan imigrasi tetap lelet seperti selama ini, bisa dipastikan turis juga akan seret datang ke Indonesia karena lambatnya penberbitan visa,'' imbuh Djoko.

Menurut berbagai info, beberapa perwakilan RI terpaksa harus sering mengirim staf ke Jakarta untuk mengambil sendiri jatah stiker visa dan buku paspor, suatu tindakan yang tidak efisien dan pemborosan.

''Wong pihak imigrasi itu hanya perlu mengirim ke Kemlu, tidak perlu mengirim langsung ke luar negeri yang perlu ongkos mahal,'' kata Djoko yang menambahkan pengiriman selanjutnya ke KBRI/KJRI menjadi urusan kemlu atau kantor perwakilan RI yang meminta dokumen tersebut.

Monopoli

Kesulitan lain ialah adanya praktik monopoli  pengadaan printer dan tintanya untuk pencetakan dokumen paspor dan visa dan hal yang terkait ke konsuleran yang dimonopoli oleh perusahaan tertentu. Meski perusahaan produsen tinta dan printer Dermalog berlokasi di Hamburg, Germany, namun KBRI/KJRI yang kehabisan tinta atau mau membeli printer tidak bisa langsung ke Hamburg.

''Sangat tidak masuk akal kami yang di Bern, Swiss tidak boleh membeli langsung ke Hamburg yang lebih dekat, dan harus memesan ke PT tertentu di Jakarta,'' kata Djoko.

Mekanisme yang monopolistis ini mengakibatkan biaya yang mahal yang berarti pemborosan dan waktu yang lama. Ia memberi contoh untuk mengirim dari Jakarta saja biaya kirimnya mencapai 150 usd, padahal jika beli langsung dari Hamburg biaya kirimnya hanya sekitar 10 euro.

Menurut Djoko, di seluruh Eropa saja terdapat hampir 40 an perwakilan RI baik KBRI/KJRI yang harus secara reguler mendapatkan suplai tinta dan pengadaan printer yang terpaksa harus pesan dari Jakarta. Ia mengharapkan para pejabat terkait segera meninjau sistem monopolis yang sangat merugikan dan menghambat pelayanan publik ini.

''Saya terpaksa bicara apa adanya agar publik tahu bahwa pelayanan KBRI dan KJRI menjadi tidak maksimal karena ada pihak yang lain sangat lelet kerjanya dan membiarkan sistem monopoli pada barang barang yang vital,'' katanya dengan tegas. (Budiman Wiriakusumah/Mar)

Muhammad Budiman Wiriakusumah, Secretary to the Ambassador and Information, Sociocultural (Pensosbud) dan juga pewarta warga.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, Ramadan atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media, kuliner dan lainnya ke citizen6@liputan6.com







POPULER

Berita Terkini Selengkapnya