Citizen6, Jakarta: Terasa mengejutkan, bahwa masalah perburuhan secara tiba-tiba muncul sebagai permasaalahan politik meninggalkan cirinya sebagai permasalahan ekonomi dan sosial. Permasalahan perburuhan kita identifikasi sebaga masalah politik bukan sebagai permasalahan ekonomi atau permasalahan sosial karena kaum buruh tidak mencoba menyelesaikan permasalahan ekonomi yang dituntutnya secara sosial, artinya mencoba memahami tuntutannya dari kondisi sosial yang ada, tetapi menggunakan ancaman mogok sebagai alat politik golongan buruh pada masa tahun enam puluan. Kaum buruh Indonesia dewasa ini berpandangan kaum buruh melawan pengusaha yang didukung Pemerintah.
Beberapa waktu yang lalu ada tulisan seorang pengamat masalah perburuhan yang berasal dari Singapore menulis dengan kesimpulan pada akhir tulisannya agar Pemerintah Indonesia mulai bersikap tegas dan jangan memanjakan kaum buruh sebab kaum buruh akan terus beraksi dengan tuntutan-tuntutan yang sulit.
Melihat perkembangan terakhir gerakan buruh, termasuk rencana aksi mogok kerja pada 28 sampai dengan 30 Oktober 2013 di 20 Provinsi dan kurang lebih 150 kabupaten kota, kaum buruh tidak lagi menggunakan sikap dirinya sebagai komponen ekonomi yang menuntut kompensasi bagi sumbangannya kepada produksi tetapi menganggap kaum buruh sebagai kelas pekerja yang melakukan bargaining dengan kaum kapitalis yang memeras tenaganya.
Berbagai bentuk aksi buruh pada prinsipnya akan terjadi di Jakarta dengan tuntutan yag bervariasi antara kenaikan UMK dan menolak sistem outsourcing. Meskipun rencana aksi massa di Jakarta tidak nampak spektakuler, namun dampaknya terhadap lalu lintas perlu di waspadai. Khusus rencana aksi massa yang ditujukan ke Istana, dengan jumlah massa sekitar 1.000 orang diperkirakan masih akan dapat dikendalikan untuk tidak bersifat anarkis. Namun tetap memerlukan perhatian khusus untuk mengendalikannya.
Sedangkan rencana mogok selama 3 hari di 20 Provinsi kemungkinan dibeberapa lokasi bisa berubah bersifat anarkis dengan sasaran infrastruktur industri, apabila aksi mogok merupakan aksi tetap hadir di pabrik-pabrik tetapi tidak bekerja. Yang memerlukan pengamatan khusus dari jajaran aparat penegak hukum dan keamanan adalah rencana pemogokan di lingkungan pelabuhan, kemungkinan ekses keamanan maupun terganggunya kegitan operasional pelabuhan. Oleh karenanya terjadinya bentrok antara kaum buruh dengan aparatur keamanan ada kemungkinan bisa terjadi.
Militan, Radikal dan Disusupi Marxisme
  Â
Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) dan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) melakukan pola tuntutan yang serupa dengan tuntutan kaum buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). SPRI dan FBLP lebih bersifat aksi penyemangat dimana dalam ritorikanya disisipkan istilah-istilah politik yang khas digunakan kaum buruh golongan Kiri/Marxist, seperti gerakan rakyat miskin, anti kapitalisme dsb dalam rangka membangkitkan militansi perjuangan buruh.
Sementara itu, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) jelas sebuah gerakan politik kiri, artinya gerakan politik yang mendukung golongan Marxisme, nampak dari tema gerakannya yang mengumandangkan aksi-aksi golongan kiri pada masa lalu, antara lain "Pembebasan Nasional", Perjuangan Kelas, dan Perjuangan Kerakyatan.
Sedangkan tema sikapnya yang bersifat aksi massa nampak dari seruannya agar mahasiswa mendukung rencana Aksi Mogok Buruh Nasional pada 28 sampai 30 Oktober 2013 dan cita-citanya menggalang persatuan antara mahasiswa, kaum buruh kota dan petani, nampak jelas pengaruh konsepsi pembentukan Front Nasional ala golongan komunis pada masa lalu di era Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan buruh di Indonesia tidak murni lagi sudah terlihat sejak tuntutan mereka menjadikan tanggal 1 Mei atau Mayday sebagai Hari Libur, padahal bukan rahasia umum lagi kalau Mayday atau 1 Mei adalah Hari Buruh kreasi Marx dan Lenin.
Kewaspadaan kita bahwa gerakan buruh di Indonesia dewasa ini sudak sarat dengan ciri-ciri perjuangan politik, nampak dari sikap mereka yang dengan militan menolak dan menentang Inpres No 9 Tahun 2013. Berbagai kelompok buruh dengan militansinya menjadikan Inpres No 9 Tahun 2013 sebagai isu politik yang harus mereka tentang dan dengan isu tersebut aksi-aksi kelompok buruh akan terus segar dan dinamik. Berbagai kelompok buruh tidak berusaha mengakomodasi substansi Inpres tersebut dan secara bertahap melakukan amandemen terhadap bagain-bagian yang tidak sesuai. Tetapi rencana mereka menduduki kantor Kemenakertrans dengan tuntutan agar Inpres No Tahun 2013 direvisi jelas menggambarkan berbagai kelompok buruh telah diinfiltrasi aliran-aliran politik yang anarkis.
Paham militan dan radikal telah menyusup dalam sikap-sikap berbagai kalangan buruh. Infiltrasi budaya ideologi kiri mudah masuk karena kedekatan gerakan buruh dengan ajaran Marxisme. Dengan kemungkinan infiltrasi kelompok-kelompok radikal dan mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu, sikap militan dan radikal dari berbagai kalangan buruh mempunyai peluang terjadinya anarki/chaos.
Dari aspek pemasalahan perburuhan dewasa ini terdapat berbagai persoalan yang dapat menjadi isu gerakan, militansi dan radikalisme dari kalangan buruh, seperti isu UMK, isu Inpres No 9 Tahun 20123 dan isu sistem Outsourcing.
Berbagai aksi massa menjelang tanggal 28 Oktober 2013Â dan aksi Mogok yang akan dilakukan sejak tanggal 28 sampai dengan 30 Oktober 2013 nampak potensial untuk terjadi. Mengingat telah masuknya bibit-bibit militan dan radikal, maka upaya mencegah agar tidak terjadi anarkisme, khususnya di depan Istana Presiden dan sejumlah tempat lainnya perlu diantisipasi, karena anarki membuat country risk Indonesia menjadi rawan.
Sesuai dengan prisnip demokrasi, upaya mewujudkan dialog Tri Partit antara buruh, pengusaha dan pemerintah tetap perlu diupayakan dengan mencari unsur-unsur yang terpelajar, dewasa dan kooperatif dari kalangan kaum buruh. (Datuak Alat Tjumano/ kw)
*)Â Datuak Alat Tjumano, peneliti di Forum Dialog (Fordial) dan Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta adalah pewarta warga.
Beberapa waktu yang lalu ada tulisan seorang pengamat masalah perburuhan yang berasal dari Singapore menulis dengan kesimpulan pada akhir tulisannya agar Pemerintah Indonesia mulai bersikap tegas dan jangan memanjakan kaum buruh sebab kaum buruh akan terus beraksi dengan tuntutan-tuntutan yang sulit.
Melihat perkembangan terakhir gerakan buruh, termasuk rencana aksi mogok kerja pada 28 sampai dengan 30 Oktober 2013 di 20 Provinsi dan kurang lebih 150 kabupaten kota, kaum buruh tidak lagi menggunakan sikap dirinya sebagai komponen ekonomi yang menuntut kompensasi bagi sumbangannya kepada produksi tetapi menganggap kaum buruh sebagai kelas pekerja yang melakukan bargaining dengan kaum kapitalis yang memeras tenaganya.
Berbagai bentuk aksi buruh pada prinsipnya akan terjadi di Jakarta dengan tuntutan yag bervariasi antara kenaikan UMK dan menolak sistem outsourcing. Meskipun rencana aksi massa di Jakarta tidak nampak spektakuler, namun dampaknya terhadap lalu lintas perlu di waspadai. Khusus rencana aksi massa yang ditujukan ke Istana, dengan jumlah massa sekitar 1.000 orang diperkirakan masih akan dapat dikendalikan untuk tidak bersifat anarkis. Namun tetap memerlukan perhatian khusus untuk mengendalikannya.
Sedangkan rencana mogok selama 3 hari di 20 Provinsi kemungkinan dibeberapa lokasi bisa berubah bersifat anarkis dengan sasaran infrastruktur industri, apabila aksi mogok merupakan aksi tetap hadir di pabrik-pabrik tetapi tidak bekerja. Yang memerlukan pengamatan khusus dari jajaran aparat penegak hukum dan keamanan adalah rencana pemogokan di lingkungan pelabuhan, kemungkinan ekses keamanan maupun terganggunya kegitan operasional pelabuhan. Oleh karenanya terjadinya bentrok antara kaum buruh dengan aparatur keamanan ada kemungkinan bisa terjadi.
Militan, Radikal dan Disusupi Marxisme
  Â
Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) dan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) melakukan pola tuntutan yang serupa dengan tuntutan kaum buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). SPRI dan FBLP lebih bersifat aksi penyemangat dimana dalam ritorikanya disisipkan istilah-istilah politik yang khas digunakan kaum buruh golongan Kiri/Marxist, seperti gerakan rakyat miskin, anti kapitalisme dsb dalam rangka membangkitkan militansi perjuangan buruh.
Sementara itu, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) jelas sebuah gerakan politik kiri, artinya gerakan politik yang mendukung golongan Marxisme, nampak dari tema gerakannya yang mengumandangkan aksi-aksi golongan kiri pada masa lalu, antara lain "Pembebasan Nasional", Perjuangan Kelas, dan Perjuangan Kerakyatan.
Sedangkan tema sikapnya yang bersifat aksi massa nampak dari seruannya agar mahasiswa mendukung rencana Aksi Mogok Buruh Nasional pada 28 sampai 30 Oktober 2013 dan cita-citanya menggalang persatuan antara mahasiswa, kaum buruh kota dan petani, nampak jelas pengaruh konsepsi pembentukan Front Nasional ala golongan komunis pada masa lalu di era Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan buruh di Indonesia tidak murni lagi sudah terlihat sejak tuntutan mereka menjadikan tanggal 1 Mei atau Mayday sebagai Hari Libur, padahal bukan rahasia umum lagi kalau Mayday atau 1 Mei adalah Hari Buruh kreasi Marx dan Lenin.
Kewaspadaan kita bahwa gerakan buruh di Indonesia dewasa ini sudak sarat dengan ciri-ciri perjuangan politik, nampak dari sikap mereka yang dengan militan menolak dan menentang Inpres No 9 Tahun 2013. Berbagai kelompok buruh dengan militansinya menjadikan Inpres No 9 Tahun 2013 sebagai isu politik yang harus mereka tentang dan dengan isu tersebut aksi-aksi kelompok buruh akan terus segar dan dinamik. Berbagai kelompok buruh tidak berusaha mengakomodasi substansi Inpres tersebut dan secara bertahap melakukan amandemen terhadap bagain-bagian yang tidak sesuai. Tetapi rencana mereka menduduki kantor Kemenakertrans dengan tuntutan agar Inpres No Tahun 2013 direvisi jelas menggambarkan berbagai kelompok buruh telah diinfiltrasi aliran-aliran politik yang anarkis.
Paham militan dan radikal telah menyusup dalam sikap-sikap berbagai kalangan buruh. Infiltrasi budaya ideologi kiri mudah masuk karena kedekatan gerakan buruh dengan ajaran Marxisme. Dengan kemungkinan infiltrasi kelompok-kelompok radikal dan mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu, sikap militan dan radikal dari berbagai kalangan buruh mempunyai peluang terjadinya anarki/chaos.
Dari aspek pemasalahan perburuhan dewasa ini terdapat berbagai persoalan yang dapat menjadi isu gerakan, militansi dan radikalisme dari kalangan buruh, seperti isu UMK, isu Inpres No 9 Tahun 20123 dan isu sistem Outsourcing.
Berbagai aksi massa menjelang tanggal 28 Oktober 2013Â dan aksi Mogok yang akan dilakukan sejak tanggal 28 sampai dengan 30 Oktober 2013 nampak potensial untuk terjadi. Mengingat telah masuknya bibit-bibit militan dan radikal, maka upaya mencegah agar tidak terjadi anarkisme, khususnya di depan Istana Presiden dan sejumlah tempat lainnya perlu diantisipasi, karena anarki membuat country risk Indonesia menjadi rawan.
Sesuai dengan prisnip demokrasi, upaya mewujudkan dialog Tri Partit antara buruh, pengusaha dan pemerintah tetap perlu diupayakan dengan mencari unsur-unsur yang terpelajar, dewasa dan kooperatif dari kalangan kaum buruh. (Datuak Alat Tjumano/ kw)
*)Â Datuak Alat Tjumano, peneliti di Forum Dialog (Fordial) dan Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta adalah pewarta warga.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.