SEC Desak Pengadilan Denda Bos Terraform Labs Rp 85,6 Triliun

SEC mengklarifikasi pada 5 April, juri pengadilan telah menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, menyatakan mereka bersalah dalam semua hal.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 27 Apr 2024, 13:15 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2024, 13:15 WIB
Ilustrasi kripto (Foto: Kanchanara/Unsplash)
Ilustrasi kripto (Foto: Kanchanara/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) telah meminta pengadilan untuk memerintahkan Terraform Labs dan Do Kwon membayar sekitar USD 5,3 miliar atau setara Rp 85,6 triliun (asumsi kurs Rp 16.153 per dolar AS) sebagai bagian dari keputusan akhir terhadap kedua terdakwa. 

Dilansir dari Bitcoin.com, Sabtu (27/4/2024), jumlah ini termasuk USD 4,19 miliar atau setara Rp 67,6 triliun dalam pencairan dan USD 545,7 juta atau setara Rp 8,8 triliun dalam bunga pra-penilaian.

SEC mengklarifikasi pada 5 April, juri pengadilan telah menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, menyatakan mereka bersalah dalam semua hal. 

Regulator sekuritas menekankan pengadilan harus memerintahkan para terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran lebih lanjut terhadap undang-undang sekuritas.

Selain itu, SEC meminta pengadilan untuk menjatuhkan denda perdata sebesar USD 420 juta pada Terraform dan denda perdata sebesar USD 100 juta pada Kwon. Secara total, SEC mencari hampir USD 5,3 miliar dari keduanya. 

Agensi juga meminta perintah berbasis perilaku terhadap para terdakwa, akuntansi tersumpah dari Kwon, dan direktur. 

Terakhir, SEC mendesak pengadilan untuk mengklasifikasikan solusi moneter terkait penipuan yang dikenakan pada Terraform sebagai tidak dapat dilepaskan dalam keadaan bangkrut dan mengeluarkan keputusan akhir.

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Pasar Kripto Bergerak Datar, Melemahnya Arus Masuk ETF Bitcoin Jadi Pemicu

Ilustrasi Kripto (Foto: Traxer/unsplash)
Ilustrasi Kripto (Foto: Traxer/unsplash)

Pasar kripto dan Bitcoin terpantau masih melemah dan cenderung stagnan menjelang akhir pekan. Salah satu lesunya pergerakan Bitcoin adalah aliran dana ke pasar ETF BTC spot di Amerika Serikat yang terus melemah. 

Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menjelaskan, data aliran pasar ETF BTC-spot menekan BTC sepanjang sesi Kamis lalu. Pada Rabu, pasar ETF BTC-spot melihat total arus keluar bersih sebesar USD 120,6 juta atau setara Rp 1,9 triliun (asumsi kurs 16.226 per dolar AS). 

BTC bereaksi terhadap data aliran ETF BTC-spot, jatuh ke sesi terendah di USD 62.844 atau setara Rp 1,01 miliar. 

“Meski sempat kembali ke posisi USD 64.000 atau setara Rp 1,03 miliar, BTC kembali melemah setelah indikator ekonomi AS yang rilis pada Kamis malam mendorong penjualan BTC,” kata Fyqieh dalam analisis akhir pekan yang diterima Liputan6.com, Jumat (26/4/2024).

Fyqieh menambahkan perekonomian AS hanya tumbuh sebesar 3,1% pada kuartal pertama 2024, dibandingkan 3,4% pada kuartal keempat 2023. Pertumbuhan yang lebih lemah meningkatkan kekhawatiran penurunan suku bunga The Fed pada 2024. 

Laporan data PDB AS yang mengecewakan juga membuat investor ketakutan, dengan harapan penurunan suku bunga tahun ini semakin meredup, sehingga memukul aset-aset berisiko di seluruh pasar, termasuk kripto. 

Sementara imbal hasil obligasi Treasury AS 10-tahun melonjak 8 basis poin menjadi 4,73%, angka tertinggi sejak November. Penurunan harga Bitcoin juga dipengaruhi beberapa faktor, seperti aksi taking profit dari investor setelah kenaikan harga yang cukup besar, atau adanya kekhawatiran ketegangan konflik Israel-Iran. 

Selain itu, bisa juga dipicu oleh penjualan besar-besaran aset kripto secara keseluruhan akibat ketidakpastian terkait gugatan hukum yang mendera perusahaan dan tokoh di industri kripto global. 

“Pada akhirnya, kinerja negatif Bitcoin pada akhir-akhir ini dapat dikaitkan, setidaknya sebagian, dengan ketakutan akan koreksi pasar saham AS atau laporan kuartalan perusahaan teknologi, meningkatnya krisis di Timur Tengah, dan berkurangnya kepercayaan terhadap perekonomian China,” jelas Fyqieh.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya