Liputan6.com, Jakarta American association of intellectual developmental disabilities (AAIDD) mengemukakan definisi disabiitas intelektual. Yakni, ketidakmampuan yang ditunjukkan dengan adanya keterbatasan pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang membutuhkan kemampuan konseptual, sosial, serta praktis.
Menurut Co-Founder Pijar Psikologi, Regis Machdy, penyebab disabilitas intelektual kebanyakan ditekankan pada bawaan lahir seperti pada masa prenatal dan perinatal.
Advertisement
“Prenatal itu di sebelum lahir saat masih di kandungan, perinatal itu saat proses delivery saat lahir, postnatal itu setelah dilahirkan masih di masa-masa bayi sangat ringkih,” ujar Regis dalam kuliah umum yang diunggah di YouTube Pribadinya (Regis Machdy), dikutip Senin (19/4/2021).
Advertisement
Pada masa prenatal, penyebab disabilitas intelektual bisa bermacam-macam, lanjutnya. Penyebab-penyebab tersebut yakni gangguan kromosom, metabolisme, gangguan dalam pembentukan otak janin, dan lingkungan buruk selama masa kehamilan.
“Lingkungan buruk selama masa kehamilan misalkan radikal bebas karena ibunya bekerja di tempat yang selalu terpapar radikal bebas, nah itu bisa memengaruhi perkembangan janin."
Simak Video Berikut Ini
Masa Perinatal
Pada masa perinatal atau saat proses melahirkan ada beberapa penyebab lain yang menjadi alasan terjadinya disabilitas intelektual pada anak.
“Bisa jadi ada yang namanya anoxia atau kekurangan oksigen saat proses lahiran, entah karena ketubannya pecah atau mandet dalam proses pembukaan dan lain-lain.”
“Banyak faktor saat melahirkan, anak tidak mendapat suplai oksigen yang cukup itu masa kritis dan bisa memengaruhi itelektualitasnya,” kata Regis.
Ia menambahkan, sebenarnya anoxia juga bisa terjadi saat dalam kandungan, tapi risiko lebih tinggi ada pada saat lahiran karena lahiran adalah proses perpindahan.
Selain anoxia, berat badan kurang pada bayi juga berpengaruh terhadap kejadian disabilitas intelektual. Ketika bayi lahir prematur maka risiko komplikasi tinggi, katanya.
Penyebab lainnya adalah infeksi yang dimiliki ibu. Infeksi tersebut kemudian ditularkan kepada anak pada saat lahiran. Misalnya infeksi sifilis atau herpes.
“Itu kan penyakit di kelamin, ketika bayi keluar melalui vagina ibu kemudian tertular ke anak, efeknya bisa ke mana-mana,” katanya.
Advertisement