Liputan6.com, Jakarta - Kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas masih perlu mendapatkan akses vaksin meski situasi COVID-19 sudah menjadi endemi sejak 21 Juni 2023.
Diperlukan berbagai upaya dari banyak pihak agar mereka dapat mengakses vaksin COVID-19. Data Vaksinasi COVID-19 Nasional menunjukkan jumlah cakupan vaksinasi masih jalan di tempat.
Baca Juga
Jumlah populasi lanjut usia (lansia) sebagai kelompok berisiko tinggi yang mendapatkan vaksin booster COVID-19 atau dosis ketiga baru mencakup 33,75 persen atau 7,2 juta dari total sasaran.
Advertisement
Lansia dan penyandang disabilitas memang mengalami kesulitan dalam mengakses vaksinasi COVID-19. Kesulitan tidak hanya datang dari akses, tetapi juga kesadaran dan penerimaan di tengah masyarakat yang terbilang masih rendah.
Maka dari itu, perlu ada program vaksinasi inklusif yang dijalankan dengan kerja sama berbagai pihak.
Koordinator Nasional Program Respons COVID-19 Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan AIHSP, dr. Yulianto Santoso Kurniawan memberikan beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan untuk menjalankan vaksinasi inklusif yaitu:
- Penyampaian edukasi dengan pendekatan interpersonal melalui kerabat atau keluarga dekat.
- Menyediakan sentra vaksinasi yang ramah terhadap kelompok disabilitas dan lansia, seperti adanya jalur khusus kelompok disabilitas maupun lansia, pendamping vaksinasi, fasilitas yang aksesibel, antrean khusus, tenaga kesehatan yang dapat memahami bahasa isyarat, juru bahasa isyarat, dan sebagainya.
- Mengembangkan materi komunikasi risiko yang ramah bagi kelompok disabilitas.
“Untuk penyebaran informasi melalui media komunikasi, sebaiknya menyesuaikan dengan target sasarannya, misalnya penjelasan melalui audio untuk penyandang disabilitas netra atau video dengan bahasa isyarat untuk penyandang disabilitas Tuli,” kata Yulianto dalam keterangan pers yang diterima Disabilitas Liputan6.com, Kamis (27/7/2023).
Tantangan Pelaksanaan Vaksinasi Inklusif
Sebelumnya, vaksinasi inklusif telah diusung AIHSP guna memberikan vaksin merata pada kelompok berisiko tinggi. Meski begitu, masih terdapat tantangan dalam pelaksanaanya.
“Dalam merespons pandemi COVID-19, upaya yang paling sulit adalah melakukan vaksinasi secara merata karena ada beberapa kelompok berisiko tinggi yang sulit dijangkau. Kelompok berisiko tinggi selalu menjadi prioritas,” kata Direktur Program AIHSP, John Leigh dalam keterangan yang sama.
Terdapat berbagai tantangan dalam upaya meyakinkan kelompok lansia dan disabilitas untuk menerima vaksinasi COVID-19 selama pandemi. Kelompok ini cenderung takut mendapatkan vaksin karena khawatir terhadap efek sampingnya.
Advertisement
Kendala Lainnya
Yulianto pun memaparkan adanya tantangan selama pelaksanaan program vaksinasi bagi kelompok berisiko tinggi.
Beberapa tantangan di antaranya minimnya informasi tentang vaksinasi COVID-19, seperti waktu pelaksanaannya, efek sampingnya, sampai adanya diskriminasi pada kelompok disabilitas.
"Salah satu tantangan yang kita temukan adalah masyarakat tidak percaya dengan informasi yang beredar," ujar Yulianto.
Untuk mengatasinya, dengan didanai Pemerintah Australia, AIHSP menginisiasi kolaborasi dalam bentuk pentahelix. Ini melibatkan pemerintah, universitas, jurnalis, private sector, hingga organisasi masyarakat yang mampu melaksanakan vaksinasi inklusif melalui implementasi komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat.
"Mengajak seseorang untuk mau divaksin, tentunya harus dengan pendekatan yang berulang, menyampaikan informasi yang persuasif, didorong motivasinya, di antar ke tempat vaksin, ditemani dan diperhatikan hingga pasca vaksinasi," jelas Yulianto.
Menurut Epidemiolog
Sejalan dengan AIHSP, epidemiologi Dicky Budiman menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia masih harus terus menjamin layanan vaksin booster COVID-19 bagi kaum berisiko tinggi, Baik lansia maupun penyandang disabilitas.
Di mana kelompok tersebut harus menjadi prioritas untuk mendapatkan layanan kesehatan karena risiko angka kematian bagi kelompok tersebut sangat tinggi.
Menurutnya, pemerintah harus segera menetapkan pencegahan dan manajemen COVID-19 jangka panjang, termasuk skema pelayanan kesehatan yang siap untuk menghadapi ancaman kesehatan di masa depan.
Seperti diketahui, vaksin COVID-19 memiliki keterbatasan dalam durasi perlindungannya, yakni kurang lebih satu tahun. Dengan demikian, diperlukan pemberian vaksinasi booster untuk mempertahankan proteksi dari keparahan dan fatalitas.
“Ketika berbicara cakupan vaksin yang masih rendah, hal tersebut harus ditinjau lebih dalam, terutama pada strategi komunikasi risiko yang diterapkan oleh pemerintah. Agar ke depannya strategi komunikasi risiko tersebut bisa menjadi pembelajaran untuk implementasi layanan kesehatan di masa depan,” ujar Dicky Budiman.
Advertisement