Liputan6.com, Jakarta Sebagian penyandang disabilitas netra dikenal sebagai pemijat yang andal. Kemampuan mereka dalam memijat bahkan membuat sebagian orang mengira bahwa setiap tunanetra pasti bisa memijat.
Sayangnya, meski telah menjadi terapis pijat selama bertahun-tahun, tapi pemijat tunanetra kerap dibayar dengan upah yang tak sebanding.
Baca Juga
Agar mendapatkan kompetensi yang setara dan diakui secara nasional, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) terus berupaya memperjuangkan pembentukan lembaga sertifikasi profesi (LSP) khusus untuk pemijat tunanetra.
Advertisement
Ketua Umum Pertuni, Setiawan Gema Budi, telah bertemu dengan perwakilan Komisi VIII DPR RI untuk membahas aspirasi ini.
“Alhamdulillah, hari ini kami diterima oleh Anggota Komisi Komisi VII DPR RI Dr Abdul Fikri Faqih. Kami ingin mewujudkan lembaga sertifikasi profesi, khususnya untuk ‘massage’ karena mayoritas anggota Pertuni adalah pemijat,” kata Setiawan, Kamis (13/02/2025) di ruang kerja Dr. Abdul Fikri Faqih, Kompleks DPR RI Senayan, Jakarta Pusat.
Setiawan menjelaskan, LSP ini akan memberikan payung hukum bagi para pemijat tunanetra, sehingga mereka memiliki kompetensi yang setara dan diakui secara nasional. Dengan adanya LSP, para pemijat tunanetra akan mendapatkan uji kompetensi dari Badan Nasional Standarisasi Profesi (BNSP).
“Kami sudah beraudiensi dengan Kementerian Sosial dan diterima oleh Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas. Kami membutuhkan surat rekomendasi dari Kemensos untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu standarisasi kompetensi di Standar Kompetensi Kementerian Ketenagakerjaan,” imbuhnya mengutip laman resmi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Selasa (25/2/2025).
Butuh Rekomendasi Kemensos
Setiawan berharap, Kementerian Sosial dapat bermitra dengan Komisi VIII DPR RI untuk memberikan rekomendasi yang dibutuhkan, sehingga LSP ini dapat segera diwujudkan di Indonesia.
Dia menambahkan, Pertuni akan menjadi satu-satunya organisasi masyarakat yang mengurusi terkait ‘Public Private Partnership’ (P3) di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
“Semoga Kementerian Sosial dapat memberikan rekomendasi tersebut, sehingga lembaga sertifikasi profesi ini bisa diwujudkan di Indonesia,” katanya.
Advertisement
Anggota DPR Dukung Aspirasi Pertuni
Sementara itu, Anggota DPR RI, Dr. Abdul Fikri Faqih, mengapresiasi Pertuni yang menemuinya pada Kamis (13/02/2025).
Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menekankan pentingnya perubahan mindset masyarakat terhadap penyandang disabilitas.
Fikri yang pernah terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, mengingatkan bahwa pengakuan eksistensi Indonesia di dunia internasional juga berkat peran serta penyandang disabilitas.
Fikri mencontohkan bagaimana atlet-atlet disabilitas Indonesia mampu meraih prestasi membanggakan di berbagai ajang olahraga internasional.
“Kita ini bangsa Indonesia dan eksistensi kita itu diakui karena juga salah satunya penyandang disabilitas di Indonesia. Bahkan atlet-atlet kita yang non disabilitas itu prestasinya mungkin kadang-kadang masih mengecewakan dan atlet kita yang penyandang disabilitas ini luar biasa,” jelas legislator dari daerah pemilihan (Dapil) IX Jawa Tengah ini.
Problematika Difabel Perlu Ditangani dengan Tepat
Fikri juga menyoroti pentingnya penanganan yang tepat terhadap problematika yang dihadapi penyandang disabilitas.
Menurutnya, pendekatan yang digunakan selama ini masih bersifat ‘charity based’, atau didasarkan pada rasa kasihan.
Padahal, kata dia, seharusnya pendekatan yang digunakan adalah ‘right based’, yaitu pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
“Jadi basisnya adalah mewujudkan atau menghadirkan hak-hak. Jadi hak-hak mereka itu apa? Oleh karenanya tadi saya ngobrol sekilas, ini trotoar kita ini kadang-kadang hanya lip service, ada guiding block, ada ramp dan sebagainya. Ternyata tidak fungsional dengan efektif. Ini saya kira perlu evaluasi kita semuanya bahwa ini bukan karena kasihan, bukan. Tapi mereka punya hak,” tegasnya.
Ke depan, Fikri berharap akan ada harmonisasi yang lebih baik antar kementerian dalam penanganan isu disabilitas.
Dia juga menekankan pentingnya melibatkan penyandang disabilitas dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan mereka.
“Buktinya undang-undang (UU) nomor 8 tahun 2016. Itu tidak jadi kalau tidak ada kontribusi besar dari penyandang disabilitas. Akhirnya masukan-masukan itu diakomodir, akhirnya UU itu jadi.”
“Dan ini sebagai konsekuensi dari ratifikasi international ‘Convention on the Rights for Persons with Disabilities (CRPD)’. Saya kira kita harus menjadi penduduk dunia yang taat dengan kesepakatan-kesepakatan internasional,” tutupnya.
Advertisement
