Liputan6.com, Jakarta Tenda memanjang samping pusat perbelanjaan Senayan City menjadi tempat utama berlangsungnya Jakarta Fashion Week (JFW) 2016. Tempat yang terbilang humble untuk sebuah ajang ternama di Indonesia sekelas pekan mode. Sebagian Anda mungkin akan langsung menempatkan fakta ini dalam satu pemetaan tentang posisi industri fesyen Indonesia dalam skema nasional, baik dari sisi sosio-kultural maupun ekonomi.
Jika Anda berminat untuk lebih lanjut mendalami hipotesis mengenai relasi 2 hal itu, Anda bisa membandingkan fashion week lain di kota-kota yang sudah lebih maju industri fesyennya, contohnya The Big Four: New York, London, Milan, Paris. Tapi satu yang selalu bisa Anda lihat dalam pemberitaan soal pekan mode adalah ambiensnya yang disusun dari segenap elemen, mulai dari show desainer dan label itu sendiri hingga tetamu luar biasa, dari kalangan selebriti, sosialita, maupun petinggi negara.
Terlalu silau untuk ditutupi dan terlalu nyaring untuk dibungkam bahwa fesyen – dalam arti yang lebih spesifik, berkaitan dengan nama desainer dan mid-to-high level market – memang lux and glam. (Namun semakin hari semakin terlihat bagaimana fesyen juga berusaha menjadi lebih aksesibel. Contoh terbaru di dunia internasional adalah kolaborasi H&M dan Balmain, dan di JFW 2016 ada desainer Tex Saverio yang merilis line TXID yang lebih terjangkau harganya).
Advertisement
Puncak kilau JFW 2016 adalah Dewi Fashion Knights (DFK) yang berlangsung pada Jumat malam, 30 Oktober 2015. Area tamu yang terbagi menjadi 2, VIP dan Reguler, sudah diisi oleh para undangan maupun pers terpilih pada sekitar pukul 8 malam. Dalam satu area sama dapat dilihat bagaimana aktris cantik Luna Maya bersendau gurau ataupun desainer papan atas tanah air seperti Sebastian Gunawan dan Didi Budiardjo berbincang dengan tamu lainnya di bawah sorot permainan lampu dan diiringi dentuman musik.
Atensi tinggi para warga mode Indonesia tercurah untuk acara yang diselenggarakan sejak 2008 oleh majalah mode bergengsi itu. “Memastikan bahwa regenerasi bisa berjalan baik di dunia mode merupakan salah satu tugas penting yang dilakukan oleh Dewi agar potensi besar dari talenta-talenta terbaik di ranah mode negeri ini bisa terus ditemukan dan mendapat apresiasi yang semestinya”. Demikian penjelasan tentang DFK dari pemimpin redaksi majalah Dewi, Leila Safira, yang menduduki posisinya sejak Maret 2015 menggantikan Ni Luh Sekar.
Isu Lingkungan di DFK
Isu Lingkungan di DFK
Tentu merupakan hal positif bahwa DFK setiap tahunnya mengangkat desainer-desainer mode bertalenta hebat guna mendapat pengenalan dan apresiasi lebih di dunia fesyen Indonesia. Terhadap visi itu, Panel Mode DFK yang tahun ini terdiri dari Leila Safira (Editor in Chief Dewi), Jati Hidayat (Editor at Large Dewi), Christine Barki (pengusaha), Dian Sastro Wardoyo (aktris), Davy Linggar (fotografer) dapat disebut berhasil menjaring salah satunya desainer muda Felicia Budi dengan label FBudi yang memukau lewat koleksi bertajuk `Tanah Air`.
Pertanyaan filosofis soal harga perdamaian melalui pengorbanan yang muncul dari inspirasi perjuangan mempertahankan homeland, memberi sebuah mistikalitas pada rancangan-rancangan desainer yang mendirikan labelnya pada tahun 2010 ini. Baik dalam busana model poncho, yang bertudung, dress tanpa lengan, koleksi broken white dari Felicia Budi kuat berkarakter lewat konstruksi desainnya, dimana fringe berperan sebagai pemberi dinamika nan eksotis atas bahan unfinished yang digunakan. Garmen katun koleksi ini dibuat dengan kolaborasi bersama para penenun tradisional Flores. Serat garmen itu organik, yakni dari pohon kapas di Maumere.
Sebagian keuntungan dari penjualan busana-busana Felicia Budi di DFK akan disumbangkan pada proyek pembangunan sekolah Tenun di Nusa Tenggara Timur. Pemilihan bahan busana di dunia fesyen erat kaitannya dengan isu lingkungan dan sustainability. Perihal sustainable fashion ini memang menjadi satu poin yang diangkat dalam JFW 2016. Svida Alisjahbana selaku CEO Femina Group, penyelenggara JFW, dalam pidato penutup event itu berterima kasih kepada salah seorang tamu yang hadir, Lucy Siegle, jurnalis dan produser eksekutif film dokumenter 'The True Cost'.
Film ini bercerita tentang “harga” apa yang harus dibayar untuk menghasilkan satu pakaian. Seperti disampaikan Svida, Lucy berharap agar Indonesia bisa menjadi role model untuk ethical and sustainable fashion industry. Bagaimana langkah yang diambil oleh Felicia Budi atas kepeduliannya terhadap lingkungan dan pemberdayaan etis atas sumber daya lokal dapat berlanjut atau diikuti oleh pelaku mode lain di Indonesia bergantung pada berbagai faktor. Dunia bisnis garmen, kemajuan infrastruktur yang berdampak pada roda bisnis, kebijakan dan program lain dari pemerintah, serta hal-hal lainnya patut disebut dan dibahas dalam kesempatan tersendiri.
Yang perlu disorot dari Felicia Budi dan koleksinya adalah mengenai potensi semua itu dapat diolah secara kreatif, mengagumkan, dan progresif secara kultural. Membantu warisan budaya tradisional seperti teknik menenun tetap lestari karena dikaryakan, desainer yang mempelajari tekstil tradisional Indonesia di label Bin House milik desainer Obin ini sekaligus membawa gerak maju budaya dengan memberi interpretasi mode baru terhadap hasil tenun itu. Sesuatu yang melampaui tradisionalitas itu sendiri. Hal serupa juga ditampilkan oleh desainer berdarah Indonesia yang kini berbasis di Australia, Haryono Setiadi.
Advertisement
Menilik Potensi DFK Bagi Perkembangan Desainer dan Fesyen Indonesia
Menilik Potensi DFK Bagi Perkembangan Desainer dan Fesyen Indonesia
Cate Blanchett, Rooney Mara, Kim Kardashian adalah sederet selebriti internasional yang mengenakan busana kreasi Haryono Setiadi. `Serenity`, sebagaimana menjadi judul koleksinya di DFK, yang tampil pada malam itu menjadi sesuatu dimana putusannya adalah love it or hate it. Butuh selera tersendiri untuk bisa nikmat mengenyam estetika minimalis nan monokromatik dari desainer yang mendapat DHL Fashion Export Scholarship 2012 dan mengisi panggung Mercedes-Benz Fashion Week Australia sejak tahun itu. Gaun-gaun berdesain kontemporer dengan garis-garis ganjil di koleksi ini menjadi daya tarik tersendiri. Juga dengan bagaimana Haryono Setiadi berinovasi atas teknik tenun tradisional Indonesia.
Ketika nyata terlihat bahwa kurasi DFK menunjukkan begitu besarnya potensi desainer-desainer muda Indonesia – termasuk dalam mengolah dan memajukan warisan budaya tradisional –pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan lanjutan dari semua ini. Jika ditarik lebih jauh tentu akan ditemui visi agar nama-nama terpilih di DFK mampu melangkah lebih jauh dan lebih kokoh di industri mode. Terhadap hal inilah, DFK mendapat tantangannya (sekaligus juga berarti harapan atasnya). Exposure kepada desainer DFK memang satu dampak positif yang jelas dihasilkan dari ajang ini. Tapi sesungguhnya ada hal-hal berikutnya yang diharapkan dilakukan oleh DFK. Yakni sebuah asistensi lebih lanjut bagi mereka para desainer yang lolos kriteria dan menampilkan karya di puncak JFW.
Mari sebut satu program di dunia fesyen Amerika yang bisa dijadikan salah satu referensi. Pada tahun 2003, Council of Fashion Designers of America (CFDA) bersama majalah Vogue meluncurkan CFDA/Vogue Fashion Fund (CVFF). Program kompetisi ini menjadi satu jalur harapan bagi desainer-desainer muda Amerika untuk bisa berjalan dengan lebih kuat di industri mode di sana. Perancang-perancang muda sekaliber Jason Wu, Alexander Wang, Prabal Gurung, dan Joseph Altuzarra adalah beberapa alumni dari CVFF. Bukan hanya memberi exposure lebih besar untuk desainer pilihannya kepada pers, buyers, maupun selebriti, CVFF juga menghadiahkan dana bagi para pemenangnya (kini sebesar US$ 300 ribu atau sekitar Rp 4,1 miliar) dan mentoring dengan para pemimpin industri mode.
Apakah dengan dana itu dan mentoring yang diberikan, para alumni CVFF pasti sukses menapaki dunia fesyen? Seperti dipaparkan oleh situs Business of Fashion dalam artikelnya berjudul `At CFDA/Vogue Fashion Fund, Winning Isn’t Everything`, tidak semua alumni CVFF berhasil mengukir prestasi selayaknya Jason Wu, Alexander Wang, Prabal Gurung, dan Joseph Altuzarra. Ada banyak komponen yang perlu diperhatikan untuk bisa membuat seorang desainer sukses, namun apa yang diperbuat oleh CFDA yang kini dipimpin oleh Diane von Furstenberg dan Vogue yang dikepalai oleh Anna Wintour jelas merupakan satu modal tambahan yang amat berharga bagi para desainer muda itu dalam membangun labelnya.
Kesuksesan luar biasa dari beberapa alumni CVFF pun tak boleh dilepaskan dari bagaimana mapannya industri fesyen di Amerika itu sendiri. Kondisi tersebut jelas tak fair bila dibandingkan dengan situasi fesyen di Indonesia. Akan tetapi perbedaan kondisi tersebut tak sebaiknya lantas mengurungkan upaya untuk lebih memberdayakan para desainer muda berbakat di tanah air.
Bahkan bila bersedia untuk menjungkirbalikkan cara berpikir, sebuah proses berkebalikan bisa terjadi. Artinya, jika di Amerika kemapanan industri fesyennya memajukan para peraih CVFF, maka di Indonesia para Ksatria Mode DFK justru bisa diberdayakan untuk mendorong terwujudnya kemapanan industri fesyen Indonesia.
DFK perlu juga menjadi sebuah platform yang menjadi pintu bagi para desainernya untuk bisa dihantarkan pada kesempatan bisnis yang lebih besar, baik itu di negri sendiri atau bahkan di mancanegara. Dengan kata lain, pengembangan daya guna dari DFK itu sendiri menjadi isu yang penting. Menyandang nama besar Dewi, DFK tak mustahil mengambil peran yang lebih besar dalam menjadi penghubung antara kreativitas desainer dan realita bisnis fesyen. `Kolaborasi` adalah kata kunci, sebagaimana disampaikan oleh Svida Alisjahbana selaku CEO Femina Group, penyelenggara JFW, dalam pidato penutup event tersebut.
Masih sangat banyak yang mesti dilakukan untuk membangun industri mode tanah air yang kokoh. Proyek yang bukan hanya menjadi garapan dari satu pihak, melainkan berbagai pihak. Tapi yang sudah pasti terlihat adalah bahwa fesyen Indonesia punya bakat-bakat seperti Lulu Lutfi Labibi yang mengerjakan karya-koarya modern dengan cita rasa etnik yang tetap kental terasa atau juga Peggy Hartanto dengan potongan khas yang berjiwa ultra minimalis namun selalu menghadirkan kesegaran dalam tiap koleksi barunya, hingga perancang aksesoris sekelas Rinaldy A. Yunardi yang pada karyanya, manusia kembali dibawa pada wacana estetika murni dan kemampuan untuk mengapresiasinya.
(Bio/Igw)
(Fotografer: Herman Zakharia – Liputan6.com)