Nama Asli Sunan Kalijaga: Kisah Hidup dan Dakwah Wali Songo Legendaris

Menguak sejarah nama asli Sunan Kalijaga, perjalanan hidupnya dari pencuri hingga menjadi wali, serta metode dakwahnya yang unik melalui kesenian Jawa.

oleh Liputan6 diperbarui 24 Okt 2024, 21:15 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2024, 21:15 WIB
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga

Liputan6.com, Jakarta Sunan Kalijaga merupakan salah satu anggota Wali Songo yang paling terkenal dan berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Sosoknya yang legendaris memiliki kisah hidup yang penuh lika-liku, dari seorang pencuri hingga menjadi wali yang dihormati. Nama asli Sunan Kalijaga dan asal-usul julukannya masih menjadi perdebatan hingga kini. Mari kita telusuri lebih dalam tentang sejarah hidup, metode dakwah, dan warisan budaya dari salah satu tokoh penyebar Islam terkemuka di Nusantara ini.

Asal-usul Nama Asli Sunan Kalijaga

Nama asli Sunan Kalijaga yang paling banyak disebut dalam berbagai sumber sejarah adalah Raden Sahid atau Raden Said. Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1450 Masehi di Tuban, Jawa Timur. Ayahnya bernama Tumenggung Wilatikta yang menjabat sebagai bupati Tuban, sementara ibunya bernama Dewi Nawangrum.

Meski demikian, ada beberapa versi lain terkait nama asli dan silsilah Sunan Kalijaga:

  • Beberapa sumber menyebut nama aslinya adalah Raden Mas Syahid.
  • Ada yang berpendapat bahwa Sunan Kalijaga merupakan keturunan Tiongkok dengan nama asli Oei Sam Ik, yang berasal dari ayahnya Wilatikta keturunan Oei Tik Too.
  • Pendapat lain menyatakan Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab bernama Syaikh Malaya.
  • Dalam Babad Tuban disebutkan bahwa Sunan Kalijaga merupakan keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad SAW.

Terlepas dari berbagai versi tersebut, yang pasti Raden Sahid terlahir sebagai putra seorang bangsawan dan mendapat gelar Raden Mas karena darah ningratnya. Ia hidup pada masa peralihan dari kejayaan Kerajaan Majapahit menuju era Kesultanan Demak yang bercorak Islam.

Makna di Balik Julukan "Sunan Kalijaga"

Asal-usul julukan "Sunan Kalijaga" juga memiliki beberapa versi yang berbeda. Berikut adalah beberapa penjelasan yang sering dikemukakan terkait makna di balik nama Kalijaga:

  • Versi pertama menyebutkan nama Kalijaga berasal dari sebuah desa di Cirebon tempat Raden Sahid pernah tinggal dan berdakwah. Hingga kini masih ada petilasan berupa masjid yang dikaitkan dengan Sunan Kalijaga di desa tersebut.
  • Pendapat kedua mengatakan Kalijaga merupakan pelafalan dari bahasa Arab "Qadhi Jaka". Sunan Kalijaga dikenal sebagai qadhi (hakim) di Demak, sehingga masyarakat Jawa memanggilnya Qadhi Jaka Said yang kemudian berubah pengucapan menjadi Kalijaga.
  • Versi ketiga mengaitkan nama Kalijaga dengan kisah pertemuan Raden Sahid dengan Sunan Bonang. Konon Sunan Bonang menancapkan tongkatnya di tepi sungai (kali) dan meminta Raden Sahid untuk menjaganya selama bertahun-tahun. Dari situ ia mendapat julukan "Jaga Kali" yang kemudian menjadi Kalijaga.
  • Ada pula yang mengartikan Kalijaga secara harfiah sebagai "penjaga sungai", karena Raden Sahid pernah bertapa atau bersemedi di tepi sungai dalam waktu yang sangat lama hingga tubuhnya tertutup tumbuhan merambat.

Terlepas dari berbagai versi tersebut, nama Sunan Kalijaga akhirnya melekat dan menjadi panggilan yang paling dikenal luas oleh masyarakat hingga saat ini. Gelar "Sunan" sendiri merupakan sebutan kehormatan bagi para wali penyebar Islam di tanah Jawa.

Masa Muda dan Perjalanan Spiritual Sunan Kalijaga

Kisah hidup Sunan Kalijaga penuh dengan lika-liku yang menarik. Masa mudanya diwarnai dengan perilaku yang kontroversial, namun justru menjadi titik balik menuju perjalanan spiritual yang mengubah hidupnya. Berikut adalah rangkaian perjalanan hidup Sunan Kalijaga dari masa mudanya hingga menjadi wali:

Raden Sahid si Maling Cluring

Meski terlahir sebagai putra adipati, Raden Sahid muda memiliki kepedulian yang besar terhadap penderitaan rakyat kecil. Ia prihatin melihat rakyat yang kelaparan dan tertindas karena harus membayar upeti yang sangat tinggi kepada penguasa Majapahit. Raden Sahid pun nekat melakukan aksi pencurian dan perampokan terhadap orang-orang kaya, termasuk gudang milik ayahnya sendiri.

Hasil curiannya dibagikan kepada rakyat miskin, sehingga ia dijuluki "Maling Cluring" yang berarti pencuri yang mencuri bukan untuk kepentingan diri sendiri. Meski tujuannya mulia, cara yang ditempuh Raden Sahid tentu tidak dibenarkan. Ia pun akhirnya tertangkap dan diusir dari kadipaten oleh ayahnya sendiri.

Pertemuan dengan Sunan Bonang

Titik balik dalam hidup Raden Sahid terjadi saat ia bertemu dengan Sunan Bonang di hutan Jatiwangi. Awalnya ia berniat merampok tongkat emas milik Sunan Bonang. Namun justru dari pertemuan itulah Raden Sahid menyadari kekeliruannya selama ini. Ia pun memutuskan untuk berguru kepada Sunan Bonang.

Sebagai ujian pertama, Sunan Bonang memerintahkan Raden Sahid untuk menunggui tongkatnya yang ditancapkan di tepi sungai. Raden Sahid melakukannya dengan patuh selama bertahun-tahun tanpa beranjak sedikitpun. Ada yang mengatakan ia menunggu selama 3 tahun, bahkan ada versi yang menyebut hingga 12 tahun lamanya.

Berguru kepada Para Wali

Setelah lulus ujian dari Sunan Bonang, Raden Sahid mulai mendalami ilmu agama Islam. Ia tidak hanya berguru kepada Sunan Bonang, tapi juga kepada wali-wali lainnya seperti Sunan Ampel dan Sunan Giri. Raden Sahid juga melakukan perjalanan spiritual hingga ke Pasai (Aceh) untuk menimba ilmu lebih dalam.

Dalam perjalanannya menyebarkan Islam di Semenanjung Malaya dan Thailand Selatan, Raden Sahid dikenal sebagai tabib yang mampu menyembuhkan penyakit kulit raja Patani. Dari situ ia mendapat julukan Syekh Said atau Syekh Malaya.

Menjadi Anggota Wali Songo

Setelah menguasai ilmu agama yang mendalam, Raden Sahid kembali ke tanah Jawa. Para wali lainnya menganggap ia telah layak menjadi bagian dari Wali Songo atau sembilan wali penyebar Islam di Jawa. Sejak saat itulah ia lebih dikenal dengan gelar Sunan Kalijaga dan mulai melakukan dakwah secara luas di berbagai wilayah.

Metode Dakwah Unik Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga dikenal memiliki metode dakwah yang unik dan berbeda dari wali-wali lainnya. Ia menggunakan pendekatan kultural dengan memanfaatkan seni dan budaya Jawa yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Berikut adalah beberapa cara dakwah khas Sunan Kalijaga:

1. Dakwah Melalui Wayang Kulit

Wayang kulit merupakan kesenian yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa kala itu. Sunan Kalijaga memanfaatkannya sebagai media dakwah dengan melakukan beberapa modifikasi:

  • Mengubah cerita pewayangan yang awalnya berisi kisah-kisah Hindu menjadi kisah yang mengandung ajaran Islam.
  • Menciptakan tokoh punakawan seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebagai simbol kebijaksanaan lokal.
  • Mementaskan lakon-lakon baru seperti Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci yang sarat makna Islami.
  • Menggelar pertunjukan wayang gratis dengan syarat penonton mengucapkan kalimat syahadat.

2. Dakwah Melalui Tembang dan Suluk

Sunan Kalijaga juga menciptakan berbagai tembang dan suluk (nyanyian mistik) yang mengandung ajaran Islam. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:

  • Tembang Lir-ilir yang berisi ajakan untuk mempersiapkan diri menghadap Allah SWT.
  • Tembang Gundul-gundul Pacul yang mengajarkan tentang kepemimpinan yang amanah.
  • Suluk Linglung yang berisi ajaran tasawuf.

3. Akulturasi Budaya dalam Arsitektur

Sunan Kalijaga berperan dalam perancangan beberapa masjid kuno di Jawa dengan mengadopsi unsur-unsur arsitektur lokal, seperti:

  • Atap tumpang pada Masjid Agung Demak yang menyerupai meru (bangunan suci Hindu-Buddha).
  • Penggunaan sokoguru (empat tiang utama) yang melambangkan empat sahabat Nabi.
  • Gapura masjid yang mirip dengan gapura candi.

4. Tradisi dan Ritual Islami

Sunan Kalijaga juga menciptakan beberapa tradisi yang memadukan unsur Jawa dan Islam, seperti:

  • Upacara Grebeg Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
  • Tradisi Sekatenan yang menggabungkan gamelan dan syiar Islam.
  • Penggunaan bedug dan kentongan sebagai penanda waktu shalat.

5. Pendekatan Sufistik

Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan sufistik yang lebih menekankan pada aspek batin dan toleransi. Ia tidak memaksakan perubahan secara radikal, melainkan membiarkan masyarakat berproses secara perlahan menuju pemahaman Islam yang lebih mendalam.

Metode dakwah Sunan Kalijaga yang akomodatif terhadap budaya lokal terbukti efektif dalam menarik minat masyarakat Jawa untuk memeluk Islam. Banyak adipati dan tokoh masyarakat yang akhirnya masuk Islam melalui ajaran Sunan Kalijaga, seperti Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan Pajang.

Warisan dan Pengaruh Sunan Kalijaga

Jejak dan pengaruh Sunan Kalijaga masih dapat kita rasakan hingga saat ini. Beberapa warisan budaya dan pemikiran Sunan Kalijaga yang tetap lestari antara lain:

1. Seni dan Budaya

  • Wayang kulit dengan tokoh-tokoh punakawan ciptaannya.
  • Tembang-tembang Jawa bernafaskan Islam seperti Lir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
  • Seni ukir, gamelan, dan berbagai kesenian tradisional lainnya.

2. Arsitektur

  • Masjid Agung Demak dengan tiang "tatal" (serpihan kayu) yang legendaris.
  • Konsep tata kota Jawa dengan alun-alun, masjid, dan keraton.
  • Gaya arsitektur masjid kuno yang memadukan unsur lokal dan Islam.

3. Tradisi dan Ritual

  • Perayaan Sekatenan dan Grebeg Maulud.
  • Penggunaan bedug dan kentongan di masjid.
  • Berbagai upacara adat Jawa yang telah diislamkan.

4. Pemikiran dan Filsafat

  • Ajaran sufisme yang toleran dan akomodatif terhadap budaya lokal.
  • Konsep kepemimpinan dan etika Jawa-Islam.
  • Falsafah hidup yang tertuang dalam berbagai serat dan suluk.

5. Pendidikan

  • Metode dakwah kultural yang menginspirasi pendekatan pendidikan Islam nusantara.
  • Pemanfaatan seni dan budaya sebagai media pembelajaran.

Warisan Sunan Kalijaga tidak hanya berpengaruh dalam konteks keagamaan, tapi juga mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa hingga kini. Perpaduan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal yang diperjuangkan Sunan Kalijaga telah membentuk corak keislaman khas Nusantara yang moderat dan toleran.

Kontroversi Seputar Ajaran Sunan Kalijaga

Meski diakui sebagai tokoh besar dalam penyebaran Islam di Jawa, beberapa aspek ajaran dan metode dakwah Sunan Kalijaga tidak lepas dari kontroversi. Beberapa kritik yang sering dilontarkan antara lain:

1. Sinkretisme

Pendekatan akulturasi budaya yang dilakukan Sunan Kalijaga dianggap oleh sebagian kalangan telah menimbulkan sinkretisme atau percampuran ajaran Islam dengan kepercayaan lain. Beberapa tradisi dan ritual yang diperkenalkan Sunan Kalijaga dinilai masih mengandung unsur-unsur non-Islam.

2. Bid'ah

Beberapa kelompok puritan menganggap inovasi-inovasi yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam dakwahnya sebagai bid'ah atau penambahan dalam agama yang tidak ada tuntunannya. Misalnya penggunaan wayang dan gamelan dalam syiar Islam.

3. Ajaran Sufisme

Pendekatan sufistik Sunan Kalijaga yang cenderung menekankan aspek batin terkadang dianggap kurang memperhatikan syariat. Beberapa ajarannya dinilai condong ke arah panteisme atau wahdatul wujud.

4. Historisitas

Banyaknya versi cerita dan legenda seputar Sunan Kalijaga membuat sebagian sejarawan meragukan akurasi kisah hidupnya. Beberapa kalangan menganggap sosok Sunan Kalijaga lebih banyak berupa mitos daripada fakta sejarah.

Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, mayoritas umat Islam di Indonesia tetap menghormati Sunan Kalijaga sebagai tokoh penting dalam sejarah Islamisasi Nusantara. Pendekatan dakwahnya yang akomodatif terhadap budaya lokal dianggap telah berhasil menanamkan nilai-nilai Islam secara damai tanpa konfrontasi.

Jejak Sunan Kalijaga di Berbagai Daerah

Perjalanan dakwah Sunan Kalijaga yang luas meninggalkan jejak di berbagai wilayah di Pulau Jawa. Beberapa tempat yang dikaitkan dengan keberadaan Sunan Kalijaga antara lain:

1. Tuban, Jawa Timur

  • Tempat kelahiran Sunan Kalijaga
  • Terdapat petilasan berupa sumur tua yang diyakini pernah digunakan Sunan Kalijaga

2. Cirebon, Jawa Barat

  • Desa Kalijaga yang diklaim sebagai asal-usul nama Sunan Kalijaga
  • Masjid Kalijaga dengan keberadaan kera-kera yang dianggap keramat

3. Demak, Jawa Tengah

  • Masjid Agung Demak yang pembangunannya melibatkan Sunan Kalijaga
  • Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu yang menjadi tempat ziarah

4. Kadilangu, Demak

  • Tempat Sunan Kalijaga menghabiskan masa tuanya dan wafat
  • Terdapat museum yang menyimpan pusaka dan peninggalan Sunan Kalijaga

5. Semarang, Jawa Tengah

  • Daerah Tlogosari yang konon pernah menjadi tempat Sunan Kalijaga berdakwah

6. Yogyakarta

  • Masjid Pathok Negoro yang desainnya dipengaruhi ajaran Sunan Kalijaga
  • Tradisi Sekaten yang masih dilestarikan hingga kini

Selain tempat-tempat tersebut, masih banyak daerah lain di Jawa yang mengklaim memiliki keterkaitan dengan Sunan Kalijaga. Hal ini menunjukkan betapa luasnya jangkauan dakwah sang wali legendaris tersebut.

Keluarga dan Keturunan Sunan Kalijaga

Informasi mengenai kehidupan pribadi dan keluarga Sunan Kalijaga cukup beragam dalam berbagai sumber sejarah. Beberapa versi menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga memiliki lebih dari satu istri. Berikut adalah informasi terkait keluarga Sunan Kalijaga yang sering disebutkan:

Istri-istri Sunan Kalijaga:

  • Dewi Saroh binti Maulana Ishaq
  • Siti Zaenab (putri Sunan Gunung Jati)
  • Siti Khafsah (putri Sunan Ampel)

Anak-anak Sunan Kalijaga:

Dari pernikahan dengan Dewi Saroh:

  • Raden Umar Said (Sunan Muria)
  • Dewi Rukayah
  • Dewi Sofiah

Dari pernikahan dengan Siti Zaenab:

  • Ratu Pembayun (istri Sultan Trenggono)
  • Nyai Ageng Panegak
  • Raden Abdurrahman
  • Sunan Hadi
  • Raden Ayu Penengah

Sunan Kalijaga diperkirakan memiliki umur yang panjang, mencapai lebih dari 100 tahun. Ia mengalami empat masa pemerintahan yang berbeda, mulai dari akhir Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, hingga awal berdirinya Kesultanan Mataram Islam.

Keturunan Sunan Kalijaga tersebar di berbagai daerah dan banyak yang menjadi tokoh penting dalam perkembangan Islam di Jawa. Salah satu putranya, Sunan Muria, bahkan menjadi anggota Wali Songo penerus ayahnya. Sementara putri-putrinya banyak yang dinikahkan dengan para penguasa lokal, sehingga memperkuat pengaruh Sunan Kalijaga dalam tatanan politik saat itu.

Wafat dan Makam Sunan Kalijaga

Tidak ada catatan pasti mengenai tanggal dan tahun wafatnya Sunan Kalijaga. Beberapa sumber memperkirakan Sunan Kalijaga wafat sekitar tahun 1580 Masehi setelah mencapai usia lebih dari 100 tahun. Adapula yang menyebutkan beliau wafat pada 12 Muharram 1513 Saka (sekitar 17 Oktober 1592 M).

Terkait lokasi makam Sunan Kalijaga, terdapat dua pendapat utama:

  1. Makam di Kadilangu, Demak
    • Ini adalah lokasi yang paling dikenal luas dan banyak diziarahi
    • Terletak di kompleks pemakaman keluarga Sunan Kalijaga
    • Setiap tahun diadakan haul Sunan Kalijaga pada tanggal 10 Muharram
  2. Makam di Cirebon
    • Beberapa kalangan meyakini Sunan Kalijaga dimakamkan di Cirebon
    • Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa Sunan Kalijaga pernah lama tinggal di Cirebon
    • Makam di Demak dianggap hanya berisi benda-benda peninggalan Sunan Kalijaga

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak tetap menjadi tujuan ziarah utama bagi para peziarah dari berbagai daerah. Kompleks makam ini juga dilengkapi dengan museum yang menyimpan berbagai pusaka dan peninggalan Sunan Kalijaga.

Kesimpulan

Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa. Perjalanan hidupnya yang berliku dari seorang pencuri hingga menjadi wali yang dihormati menjadi kisah inspiratif tentang transformasi spiritual. Metode dakwahnya yang unik dengan memanfaatkan seni dan budaya lokal terbukti efektif dalam menarik minat masyarakat Jawa untuk memeluk Islam.

Meski terdapat beberapa kontroversi terkait ajarannya, warisan Sunan Kalijaga dalam bentuk seni, arsitektur, tradisi, dan pemikiran tetap lestari hingga kini. Pendekatan dakwah kulturalnya telah membentuk corak Islam Nusantara yang moderat dan toleran. Sosok Sunan Kalijaga tetap dihormati sebagai tokoh penting dalam sejarah Islamisasi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Terlepas dari berbagai versi tentang nama asli dan asal-usul julukannya, Sunan Kalijaga telah menjadi ikon penyebar Islam yang dikenal luas oleh masyarakat. Kisah hidupnya yang penuh lika-liku menjadi pengingat bahwa perubahan ke arah kebaikan selalu terbuka bagi siapapun. Sementara metode dakwahnya yang akomodatif terhadap budaya lokal memberikan pelajaran penting tentang bagaimana menyebarkan ajaran agama dengan cara yang damai dan menghargai kearifan setempat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya