Naypyidaw: Ibukota Myanmar Adalah Kota Terencana yang Unik

Pelajari fakta menarik tentang Naypyidaw, ibukota Myanmar adalah kota terencana yang unik dengan sejarah dan karakteristik yang berbeda dari kota lainnya.

oleh Liputan6 diperbarui 14 Jan 2025, 17:30 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2025, 17:30 WIB
Bendera Myanmar. (Unsplash/ugurhan)
Bendera Myanmar. (Unsplash/ugurhan)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Naypyidaw, yang secara resmi diromanisasi sebagai Nay Pyi Taw, merupakan ibukota dan kota terbesar ketiga di Myanmar. Terletak di tengah Wilayah Persatuan Naypyidaw, kota ini memiliki keunikan tersendiri karena merupakan kota terencana yang berada di luar negara bagian atau wilayah manapun. Nama Naypyidaw sendiri memiliki arti "Kediaman Para Raja" dalam bahasa Myanmar.

Sejarah Naypyidaw sebagai ibukota Myanmar dimulai pada 6 November 2005, ketika pemerintah Myanmar secara resmi memindahkan pusat administrasi negara dari Yangon ke wilayah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai Distrik Pyinmana. Pengumuman resmi nama Naypyidaw baru dilakukan pada 27 Maret 2006, bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar.

Keputusan untuk memindahkan ibukota ini diambil oleh junta militer yang berkuasa saat itu, dipimpin oleh Jenderal Than Shwe. Meskipun alasan resmi pemindahan tidak pernah diungkapkan secara jelas, beberapa spekulasi muncul terkait motivasi di balik keputusan tersebut. Ada yang berpendapat bahwa pemindahan ini dilakukan untuk alasan keamanan, mengingat posisi Yangon yang rentan terhadap invasi asing karena lokasinya di pesisir. Sementara itu, ada pula yang meyakini bahwa keputusan ini dipengaruhi oleh nasihat para peramal kepada Than Shwe.

Proses pembangunan Naypyidaw berlangsung dengan sangat cepat dan rahasia. Dalam waktu kurang dari enam tahun, sebuah kota modern dengan infrastruktur canggih berhasil dibangun di tengah lahan yang sebelumnya didominasi oleh hutan dan perkebunan. Pembangunan ini menelan biaya yang sangat besar, diperkirakan mencapai miliaran dolar Amerika.

Karakteristik Unik Naypyidaw

Naypyidaw memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari kota-kota lain di Myanmar maupun di dunia. Salah satu ciri khas yang paling mencolok adalah ukurannya yang sangat luas, mencakup area sekitar 7.054 kilometer persegi. Luasnya wilayah ini menjadikan Naypyidaw sebagai salah satu ibukota terbesar di dunia, bahkan melampaui luas kota-kota besar seperti London, Roma, dan New York City.

Meskipun memiliki luas wilayah yang sangat besar, Naypyidaw terkenal dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah. Hal ini menciptakan kontras yang mencolok antara infrastruktur modern yang megah dengan suasana kota yang sepi. Banyak jalan raya lebar yang dibangun di kota ini sering kali terlihat kosong, sehingga Naypyidaw sering dijuluki sebagai "kota hantu" oleh media internasional.

Penataan kota Naypyidaw dirancang dengan sangat teratur dan modern. Kota ini dibagi menjadi beberapa zona fungsional yang terpisah, seperti zona pemerintahan, zona militer, zona hotel, zona perumahan, dan zona rekreasi. Pembagian zona ini mencerminkan pendekatan perencanaan kota yang sangat terstruktur.

Arsitektur bangunan di Naypyidaw juga memiliki keunikan tersendiri. Banyak gedung pemerintahan dan fasilitas publik yang dibangun dengan gaya modern namun tetap mempertahankan unsur-unsur arsitektur tradisional Myanmar. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah Uppatasanti Pagoda, replika dari Pagoda Shwedagon yang terkenal di Yangon.

Infrastruktur transportasi di Naypyidaw juga menjadi salah satu ciri khas kota ini. Jalan-jalan lebar hingga 20 lajur dibangun untuk mengantisipasi pertumbuhan kota di masa depan. Bahkan ada spekulasi bahwa beberapa jalan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai landasan darurat untuk pesawat militer jika diperlukan.

Sistem Pemerintahan Myanmar

Sistem pemerintahan Myanmar telah mengalami beberapa perubahan sepanjang sejarahnya. Saat ini, Myanmar secara resmi menganut sistem pemerintahan presidensial dalam kerangka republik kesatuan. Namun, dalam praktiknya, peran militer masih sangat kuat dalam struktur pemerintahan negara ini.

Presiden Myanmar menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dipilih secara tidak langsung oleh anggota parlemen. Selain presiden, terdapat dua wakil presiden yang membantu dalam menjalankan tugas-tugas eksekutif. Parlemen Myanmar terdiri dari dua kamar, yaitu Pyithu Hluttaw (Majelis Rakyat) dan Amyotha Hluttaw (Majelis Nasionalitas).

Meskipun secara formal Myanmar memiliki sistem demokrasi multipartai, peran militer dalam pemerintahan masih sangat signifikan. Konstitusi 2008 memberikan jaminan 25% kursi di parlemen untuk perwakilan militer yang ditunjuk langsung oleh Panglima Angkatan Bersenjata. Hal ini memberikan militer hak veto atas perubahan konstitusi, mengingat amandemen konstitusi memerlukan lebih dari 75% suara di parlemen.

Struktur pemerintahan Myanmar juga mencakup pembagian administratif menjadi 7 wilayah, 7 negara bagian, dan 1 wilayah persatuan di mana Naypyidaw berada. Masing-masing wilayah dan negara bagian memiliki pemerintahan lokal dengan tingkat otonomi tertentu, meskipun pemerintah pusat tetap memegang kendali yang kuat.

Sejak pemindahan ibukota ke Naypyidaw, kota ini menjadi pusat administrasi pemerintahan Myanmar. Semua kementerian dan lembaga pemerintah pusat beroperasi dari kompleks perkantoran yang dibangun khusus di zona pemerintahan Naypyidaw. Gedung parlemen yang megah juga menjadi salah satu landmark utama kota ini.

Proses Pemindahan Ibukota

Proses pemindahan ibukota Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw merupakan salah satu proyek infrastruktur terbesar dan paling ambisius dalam sejarah modern negara tersebut. Keputusan untuk memindahkan ibukota diambil secara mendadak dan dilaksanakan dengan sangat cepat, mencerminkan karakteristik pemerintahan junta militer yang berkuasa saat itu.

Tahap awal pemindahan dimulai dengan pembangunan infrastruktur dasar di lokasi yang dipilih, yang sebelumnya merupakan area pedesaan dan hutan. Dalam waktu singkat, ribuan pekerja didatangkan untuk membangun jalan, gedung pemerintahan, perumahan, dan fasilitas publik lainnya. Proses pembangunan ini dilakukan dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi, dengan sedikit informasi yang diungkapkan kepada publik.

Pemindahan fisik kantor-kantor pemerintahan dilakukan secara bertahap namun cepat. Pada 6 November 2005, secara mendadak seluruh kementerian dan lembaga pemerintah diperintahkan untuk memindahkan operasinya ke Naypyidaw. Para pegawai negeri diberi waktu sangat singkat untuk berkemas dan pindah ke lokasi baru mereka.

Salah satu aspek unik dari proses pemindahan ini adalah pemindahan arwah yang dipercaya menghuni area pemakaman lama di lokasi pembangunan Naypyidaw. Menurut kepercayaan lokal, diperlukan ritual khusus untuk memindahkan arwah-arwah tersebut ke lokasi baru agar tidak mengganggu pembangunan dan kehidupan di ibukota baru.

Meskipun pembangunan infrastruktur dasar dilakukan dengan cepat, proses pemindahan penduduk dan aktivitas ekonomi ke Naypyidaw berjalan lebih lambat. Banyak pegawai negeri yang awalnya enggan pindah dan lebih memilih untuk melakukan perjalanan bolak-balik dari Yangon. Hal ini menyebabkan Naypyidaw pada awalnya terkesan seperti "kota hantu" dengan banyak gedung dan infrastruktur yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Infrastruktur dan Fasilitas

Naypyidaw dibangun dengan infrastruktur modern yang dirancang untuk mengakomodasi pertumbuhan kota di masa depan. Salah satu ciri khas kota ini adalah jalan-jalan lebar yang mencapai 20 lajur di beberapa titik. Jalan-jalan ini sering kali terlihat kosong, menciptakan pemandangan yang kontras dengan kemacetan di kota-kota besar lainnya di Myanmar.

Sistem transportasi umum di Naypyidaw masih terbatas. Meskipun ada layanan bus antar-jemput untuk pegawai pemerintah, sebagian besar penduduk masih bergantung pada kendaraan pribadi. Bandara Internasional Naypyidaw yang modern melayani penerbangan domestik dan beberapa rute internasional, menghubungkan ibukota dengan kota-kota lain di Myanmar dan negara tetangga.

Zona pemerintahan Naypyidaw menjadi pusat administrasi negara dengan kompleks gedung parlemen yang megah dan kantor-kantor kementerian yang luas. Desain gedung-gedung ini menggabungkan unsur arsitektur modern dengan elemen tradisional Myanmar, menciptakan tampilan yang unik.

Fasilitas publik di Naypyidaw meliputi rumah sakit modern, universitas, dan pusat perbelanjaan. Kota ini juga memiliki sejumlah hotel mewah yang dibangun untuk mengakomodasi tamu-tamu penting dan delegasi asing. Taman-taman umum dan area rekreasi juga tersedia, termasuk kebun binatang, taman safari, dan lapangan golf.

Salah satu landmark paling terkenal di Naypyidaw adalah Uppatasanti Pagoda, replika dari Pagoda Shwedagon yang ikonik di Yangon. Pagoda ini menjadi pusat keagamaan dan wisata spiritual di ibukota baru.

Meskipun infrastruktur fisik Naypyidaw tergolong modern dan mewah, beberapa kritik muncul terkait pemanfaatannya yang belum optimal. Banyak gedung dan fasilitas yang terlihat kosong atau kurang digunakan, mencerminkan tantangan dalam menarik penduduk dan aktivitas ekonomi ke kota baru ini.

Tantangan dan Kontroversi

Pemindahan ibukota ke Naypyidaw tidak lepas dari berbagai tantangan dan kontroversi. Salah satu kritik utama adalah biaya pembangunan yang sangat besar, yang dianggap tidak proporsional dengan kondisi ekonomi Myanmar saat itu. Banyak pihak mempertanyakan prioritas pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya untuk proyek ini, sementara masih banyak permasalahan sosial dan ekonomi yang perlu ditangani di negara tersebut.

Tantangan lain yang dihadapi Naypyidaw adalah kesulitan dalam menarik penduduk dan aktivitas ekonomi. Meskipun infrastruktur modern telah dibangun, kota ini masih sering terlihat sepi dan kurang hidup. Banyak pegawai pemerintah yang awalnya enggan pindah ke Naypyidaw, memilih untuk melakukan perjalanan bolak-balik dari Yangon atau kota-kota lain. Hal ini menyebabkan Naypyidaw sering dijuluki sebagai "kota hantu".

Kontroversi juga muncul terkait proses pengambilan keputusan di balik pemindahan ibukota. Kurangnya transparansi dan konsultasi publik dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek ini mengundang kritik dari berbagai pihak. Ada yang menganggap pemindahan ibukota sebagai proyek megalomaniak junta militer, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi rakyat Myanmar secara luas.

Dari segi lingkungan, pembangunan Naypyidaw juga menimbulkan kekhawatiran. Konversi lahan hutan dan pertanian menjadi area perkotaan dalam skala besar berpotensi mengganggu ekosistem lokal. Selain itu, penggunaan sumber daya alam yang intensif untuk membangun dan memelihara infrastruktur kota juga menjadi sorotan dari sudut pandang keberlanjutan.

Tantangan lain yang dihadapi Naypyidaw adalah dalam hal menciptakan identitas kota yang kuat. Sebagai kota yang dibangun dari nol, Naypyidaw masih kesulitan mengembangkan karakter dan budaya urban yang biasanya tumbuh secara organik di kota-kota lain. Hal ini berdampak pada daya tarik kota bagi penduduk maupun investor.

Perbandingan dengan Ibukota Lain

Naypyidaw sering dibandingkan dengan ibukota-ibukota lain yang juga dibangun sebagai kota terencana, seperti Brasilia di Brasil, Canberra di Australia, atau Putrajaya di Malaysia. Namun, ada beberapa perbedaan signifikan yang membuat Naypyidaw unik.

Dibandingkan dengan Brasilia, yang dibangun pada tahun 1960-an sebagai simbol modernisasi Brasil, Naypyidaw memiliki skala yang jauh lebih besar namun dengan kepadatan penduduk yang jauh lebih rendah. Sementara Brasilia berhasil menjadi pusat politik dan administratif yang hidup, Naypyidaw masih berjuang untuk mencapai tingkat vitalitas urban yang serupa.

Canberra, ibukota Australia, memiliki beberapa kesamaan dengan Naypyidaw dalam hal perencanaan kota yang terstruktur. Namun, proses pembangunan dan pemindahan ke Canberra berlangsung secara bertahap selama beberapa dekade, berbeda dengan pembangunan Naypyidaw yang sangat cepat. Canberra juga lebih berhasil dalam mengintegrasikan fungsi pemerintahan dengan kehidupan masyarakat umum.

Putrajaya di Malaysia mungkin merupakan perbandingan yang paling relevan untuk Naypyidaw. Keduanya adalah kota administratif yang dibangun untuk mengurangi beban ibukota lama (Kuala Lumpur untuk Putrajaya, Yangon untuk Naypyidaw). Namun, Putrajaya dianggap lebih berhasil dalam menciptakan lingkungan urban yang hidup dan menarik, serta dalam mengintegrasikan elemen-elemen arsitektur tradisional dengan desain modern.

Salah satu perbedaan utama Naypyidaw dengan ibukota-ibukota terencana lainnya adalah skala dan kecepatan pembangunannya. Naypyidaw dibangun dalam waktu sangat singkat dan dengan skala yang sangat besar, mencerminkan pendekatan top-down yang kuat dari pemerintah Myanmar saat itu. Hal ini kontras dengan pendekatan yang lebih bertahap dan partisipatif yang diterapkan dalam pembangunan beberapa ibukota terencana lainnya.

Dampak Pemindahan Ibukota

Pemindahan ibukota ke Naypyidaw telah membawa berbagai dampak signifikan bagi Myanmar, baik positif maupun negatif. Dari sisi positif, pembangunan Naypyidaw telah menciptakan lapangan kerja baru, terutama dalam sektor konstruksi dan layanan pemerintahan. Infrastruktur modern yang dibangun di Naypyidaw juga berpotensi menjadi aset berharga bagi perkembangan ekonomi Myanmar di masa depan.

Namun, dampak negatif dari pemindahan ibukota juga tidak bisa diabaikan. Biaya pembangunan yang sangat besar telah menguras sumber daya negara yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk program-program pembangunan lain yang lebih mendesak. Selain itu, pemindahan pusat pemerintahan ke lokasi yang relatif terpencil juga berdampak pada efisiensi administrasi dan koordinasi dengan sektor swasta yang sebagian besar masih berpusat di Yangon.

Dari perspektif sosial, pemindahan ibukota telah mengubah dinamika masyarakat di Myanmar. Banyak pegawai pemerintah dan keluarganya yang harus beradaptasi dengan lingkungan baru di Naypyidaw, sering kali jauh dari keluarga besar dan jaringan sosial mereka. Hal ini menciptakan tantangan dalam membangun kohesi sosial di kota baru tersebut.

Secara geopolitik, pemindahan ibukota ke lokasi yang lebih terpusat di daratan Myanmar dianggap sebagai strategi untuk meningkatkan kontrol pemerintah atas wilayah negara. Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan kelompok etnis minoritas yang merasa semakin terpinggirkan dari pusat kekuasaan.

Dampak ekonomi dari pemindahan ibukota juga beragam. Sementara Naypyidaw menjadi pusat investasi infrastruktur baru, Yangon tetap menjadi pusat ekonomi dan bisnis utama Myanmar. Hal ini menciptakan dualisme dalam perkembangan ekonomi negara, dengan tantangan dalam mengintegrasikan kedua kota tersebut ke dalam strategi pembangunan nasional yang koheren.

Aspek Budaya dan Sosial

Sebagai kota yang relatif baru, Naypyidaw masih dalam proses membentuk identitas budaya dan sosialnya sendiri. Berbeda dengan kota-kota bersejarah seperti Yangon atau Mandalay yang memiliki warisan budaya kaya, Naypyidaw harus membangun karakternya dari awal.

Salah satu upaya untuk menciptakan identitas budaya di Naypyidaw adalah melalui arsitektur dan desain urban. Banyak bangunan pemerintah dan fasilitas publik yang menggabungkan elemen-elemen arsitektur tradisional Myanmar dengan desain modern. Uppatasanti Pagoda, misalnya, menjadi simbol spiritual yang penting bagi kota ini, mencerminkan signifikansi agama Buddha dalam masyarakat Myanmar.

Kehidupan sosial di Naypyidaw cenderung berbeda dengan kota-kota lain di Myanmar. Dengan populasi yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan keluarga mereka, dinamika sosial di kota ini lebih homogen dibandingkan dengan kota-kota lain yang lebih beragam. Hal ini menciptakan tantangan dalam membangun komunitas yang hidup dan beragam.

Upaya-upaya untuk menciptakan kehidupan budaya yang dinamis di Naypyidaw termasuk penyelenggaraan festival dan acara-acara budaya. Namun, dibandingkan dengan kota-kota lain di Myanmar, scene budaya dan hiburan di Naypyidaw masih terbatas. Banyak penduduk yang merasa kota ini kurang memiliki "jiwa" dibandingkan dengan kota-kota lain yang tumbuh secara organik selama bertahun-tahun.

Aspek pendidikan juga menjadi fokus di Naypyidaw, dengan pembangunan beberapa institusi pendidikan tinggi. Namun, tantangannya adalah menarik akademisi dan mahasiswa berkualitas untuk tinggal dan berkontribusi di kota baru ini.

Secara keseluruhan, pembentukan identitas budaya dan sosial Naypyidaw masih merupakan proses yang berkelanjutan. Diperlukan waktu dan upaya yang konsisten untuk mengembangkan karakter kota yang unik dan menarik, yang dapat menjadi daya tarik bagi penduduk maupun pengunjung.

Potensi Wisata Naypyidaw

Meskipun Naypyidaw tidak sepopuler destinasi wisata lain di Myanmar seperti Yangon atau Bagan, kota ini memiliki potensi wisata yang unik. Sebagai ibukota yang dibangun dari nol, Naypyidaw menawarkan pengalaman yang berbeda bagi wisatawan yang tertarik dengan perencanaan kota modern dan arsitektur kontemporer.

Salah satu atraksi utama di Naypyidaw adalah Uppatasanti Pagoda, replika dari Pagoda Shwedagon yang terkenal di Yangon. Pagoda ini tidak hanya menjadi landmark spiritual kota, tetapi juga menawarkan pemandangan indah dari puncaknya. Wisatawan dapat menikmati arsitektur pagoda yang megah dan belajar tentang praktik keagamaan Buddha di Myanmar.

Zona pemerintahan Naypyidaw juga menjadi daya tarik tersendiri. Kompleks parlemen yang luas dengan arsitektur unik menarik minat wisatawan yang tertarik dengan politik dan sejarah kontemporer Myanmar. Meskipun akses ke beberapa area terbatas, wisatawan masih dapat menikmati pemandangan eksterior gedung-gedung pemerintahan yang megah.

Untuk wisatawan yang mencari hiburan dan rekreasi, Naypyidaw menawarkan beberapa opsi menarik. Taman Safari Naypyidaw dan Kebun Binatang Nasional menjadi tujuan populer bagi keluarga dan pecinta alam. Taman air Ngalaik juga menawarkan aktivitas rekreasi air yang menyegarkan.

Bagi penggemar golf, Naypyidaw memiliki beberapa lapangan golf kelas dunia yang dikelilingi pemandangan alam yang indah. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menggabungkan olahraga dengan menikmati suasana tenang kota.

Meskipun demikian, industri pariwisata di Naypyidaw masih dalam tahap pengembangan. Dibandingkan dengan destinasi wisata lain di Myanmar, fasilitas dan atraksi wisata di Naypyidaw masih terbatas. Tantangan utama adalah menciptakan pengalaman wisata yang unik dan menarik yang dapat bersaing dengan destinasi lain di negara tersebut.

Pertanyaan Umum (FAQ)

1. Mengapa ibukota Myanmar dipindahkan ke Naypyidaw?

Alasan resmi pemindahan ibukota tidak pernah diungkapkan secara jelas oleh pemerintah Myanmar. Namun, beberapa spekulasi mencakup alasan keamanan (menjauhkan pusat pemerintahan dari pesisir yang rentan invasi), alasan strategis (lokasi yang lebih terpusat), dan bahkan alasan supranatural (berdasarkan nasihat peramal).

2. Apakah Naypyidaw benar-benar "kota hantu" seperti yang sering digambarkan media?

Meskipun Naypyidaw sering digambarkan sebagai "kota hantu" karena jalan-jalannya yang lebar dan sering terlihat kosong, kota ini sebenarnya dihuni dan berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan. Namun, kepadatan penduduknya memang jauh lebih rendah dibandingkan kota-kota besar lainnya di Myanmar.

3. Bagaimana kehidupan sehari-hari di Naypyidaw?

Kehidupan di Naypyidaw cenderung lebih tenang dibandingkan kota-kota besar lainnya di Myanmar. Sebagian besar penduduknya adalah pegawai pemerintah dan keluarga mereka. Fasilitas modern tersedia, namun kehidupan sosial dan budaya tidak seramai di kota-kota lain seperti Yangon.

4. Apakah wisatawan dapat mengunjungi Naypyidaw?

Ya, wisatawan dapat mengunjungi Naypyidaw. Kota ini memiliki bandara internasional dan beberapa hotel bertaraf internasional. Namun, atraksi wisata masih terbatas dibandingkan destinasi populer lainnya di Myanmar.

5. Bagaimana transportasi di dalam Naypyidaw?

Transportasi umum di Naypyidaw masih terbatas. Sebagian besar penduduk menggunakan kendaraan pribadi atau taksi. Ada layanan bus antar-jemput untuk pegawai pemerintah, namun jaringan transportasi umum untuk masyarakat umum masih dalam pengembangan.

Kesimpulan

Naypyidaw, ibukota Myanmar yang dibangun dari nol, merupakan contoh unik dari kota terencana di era modern. Keputusan untuk memindahkan ibukota dari Yangon ke Naypyidaw mencerminkan ambisi besar pemerintah Myanmar, namun juga membawa berbagai tantangan dan kontroversi.

Dengan infrastruktur modern dan perencanaan kota yang terstruktur, Naypyidaw memiliki potensi untuk menjadi pusat administrasi dan pemerintahan yang efisien. Namun, kota ini masih berjuang untuk menciptakan vitalitas urban dan daya tarik yang biasanya dimiliki kota-kota yang tumbuh secara organik.

Masa depan Naypyidaw akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah Myanmar mengatasi tantangan-tantangan yang ada, termasuk menarik lebih banyak penduduk dan aktivitas ekonomi, mengembangkan identitas kota yang kuat, serta mengintegrasikan Naypyidaw ke dalam strategi pembangunan nasional yang lebih luas.

Sebagai sebuah eksperimen dalam perencanaan kota dan pemindahan ibukota, Naypyidaw menawarkan pelajaran berharga bagi negara-negara lain yang mempertimbangkan proyek serupa. Pengalaman Naypyidaw menunjukkan pentingnya perencanaan yang matang, partisipasi publik, dan pendekatan bertahap dalam membangun sebuah kota baru, terutama ketika kota tersebut dimaksudkan untuk menjadi pusat pemerintahan sebuah negara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya