Apa Itu Flexing: Fenomena Pamer di Media Sosial

Flexing adalah tindakan memamerkan kekayaan atau pencapaian di media sosial. Pelajari pengertian, penyebab, dan cara bijak menyikapi fenomena ini.

oleh Ayu Isti Prabandari diperbarui 30 Jan 2025, 09:05 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2025, 09:05 WIB
apa itu flexing
apa itu flexing ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya
Daftar Isi

Pengertian Flexing

Liputan6.com, Jakarta Flexing merupakan istilah yang populer di media sosial untuk menggambarkan tindakan memamerkan atau menyombongkan sesuatu yang dimiliki seseorang. Kata ini berasal dari bahasa Inggris "to flex" yang berarti memamerkan atau menunjukkan sesuatu dengan bangga. Dalam konteks media sosial, flexing mengacu pada perilaku mengunggah foto atau video yang memperlihatkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup mewah dengan tujuan mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain.

Menurut Cambridge Dictionary, flexing didefinisikan sebagai tindakan menunjukkan rasa bangga atau senang terhadap sesuatu yang telah dilakukan atau dimiliki, namun dengan cara yang dianggap tidak menyenangkan oleh orang lain. Sementara itu, Urban Dictionary mengartikan flexing sebagai tindakan menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang, seperti jumlah kekayaan atau barang mewah yang dimiliki.

Fenomena flexing semakin marak terjadi seiring dengan meningkatnya penggunaan platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok. Orang-orang berlomba-lomba mengunggah konten yang menampilkan sisi terbaik atau paling mewah dari kehidupan mereka. Beberapa contoh umum flexing di media sosial antara lain:

  • Memamerkan barang-barang mewah seperti mobil sport, jam tangan mahal, atau tas branded
  • Mengunggah foto liburan ke destinasi eksotis atau resort mewah
  • Memperlihatkan makanan di restoran bintang lima
  • Menunjukkan pencapaian karir atau akademis yang luar biasa
  • Memamerkan gaya hidup yang glamor dan eksklusif

Penting untuk dipahami bahwa flexing tidak selalu berkaitan dengan kekayaan material. Seseorang juga bisa melakukan flexing dengan memamerkan pencapaian pribadi, keahlian, atau bahkan kegiatan amal yang dilakukan. Intinya, flexing adalah upaya untuk menunjukkan keunggulan diri dan mendapatkan validasi dari orang lain melalui unggahan di media sosial.

Penyebab Terjadinya Fenomena Flexing

Fenomena flexing yang semakin marak terjadi di media sosial tidak terjadi begitu saja. Ada berbagai faktor psikologis dan sosial yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan pamer ini. Berikut adalah beberapa penyebab utama terjadinya fenomena flexing:

1. Rendahnya Rasa Percaya Diri

Salah satu penyebab utama flexing adalah rendahnya rasa percaya diri seseorang. Orang yang merasa tidak cukup percaya diri mungkin mencari pengakuan dan validasi dari orang lain melalui flexing. Dengan memamerkan prestasi atau keberhasilan, mereka berharap mendapatkan perhatian yang dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka yang kurang. Paradoksnya, flexing juga bisa menjadi cara untuk menutupi rasa tidak aman atau rendah diri. Beberapa ahli berpendapat bahwa seseorang yang sering melakukan flexing mungkin sebenarnya adalah orang yang insecure atau rendah diri.

2. Kecemburuan Sosial

Melihat pencapaian atau gaya hidup mewah orang lain di media sosial seringkali menjadi pemicu kecemburuan sosial. Sebagai respons, seseorang mungkin merasa dorongan untuk melakukan flexing agar terlihat sebanding atau bahkan lebih baik daripada yang mereka lihat di platform tersebut. Kecemburuan dapat menjadi pendorong kuat di balik perilaku flexing yang berkelanjutan.

3. Ingin Tampil Lebih Baik dari Orang Lain

Dorongan untuk tampil lebih baik atau setidaknya sebanding dengan orang lain juga merupakan faktor yang mendorong flexing. Seseorang mungkin merasa perlu membuktikan diri di mata sosial dengan menunjukkan keberhasilan dan kemewahan yang mereka miliki. Perasaan ingin mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain dapat mendorong seseorang untuk terlibat dalam perilaku flexing.

4. Tekanan Sosial

Tindakan flexing juga dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki tekanan sosial di dalam lingkungannya. Tak bisa dipungkiri jika tekanan sosial di lingkungan sekitar bisa terjadi pada siapa saja. Sebagai contohnya adalah adanya tuntutan gaya hidup dalam pergaulan yang bisa menyebabkan seseorang melakukan tindakan flexing.

5. Mencari Perhatian

Salah satu penyebab terjadinya tindakan flexing yang dilakukan oleh seseorang adalah untuk mencari perhatian orang yang disekitarnya maupun orang tertentu yang mereka tuju. Mereka akan melakukan berbagai macam cara agar bisa membuat orang yang mereka tuju mengetahui keberadaannya. Sebagai contohnya adalah menggunakan penampilan yang mencolok atau bersikap yang bisa membuat dirinya mendapatkan perhatian dari orang lain.

6. Membangun Personal Branding

Dalam era digital di mana personal branding menjadi semakin penting, flexing dapat menjadi strategi untuk membangun citra diri tertentu. Terutama bagi influencer atau figur publik, flexing di media sosial bisa menjadi cara untuk mempertahankan atau meningkatkan popularitas dan daya tarik mereka terhadap pengikut atau calon klien.

7. Kurangnya Empati

Kebanyakan dari mereka yang melakukan tindakan flexing tidak akan menyadari jika perilaku yang dilakukannya bisa membuat orang lain merasa tak nyaman atau bahkan merasa begitu terganggu. Itu artinya, tindakan flexing dapat terjadi karena kurangnya rasa empati pada seseorang yang melakukan flexing. Maka dari itu, karena tersebut membuat mereka (flexing) kurang disukai oleh orang lain.

8. Masalah Kepribadian

Mereka yang melakukan tindakan flexing biasanya juga bisa dipengaruhi oleh adanya permasalahan dalam kepribadiannya. Ada beberapa masalah kepribadian yang bisa menyebabkan seseorang begitu suka mencari perhatian, sehingga membutuhkan pengakuan serta ingin diperlakukan oleh orang lain apabila dirinya merupakan yang paling hebat bila dibandingkan dengan orang lain yang ada disekitarnya.

Memahami penyebab-penyebab ini penting untuk dapat menyikapi fenomena flexing dengan lebih bijak, baik ketika kita melihat orang lain melakukannya maupun ketika kita sendiri tergoda untuk melakukannya.

Dampak Negatif Flexing di Media Sosial

Meskipun flexing mungkin memberikan kepuasan sementara bagi pelakunya, fenomena ini dapat membawa berbagai dampak negatif, baik bagi individu yang melakukannya maupun bagi masyarakat secara umum. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan:

1. Menimbulkan Kecemburuan Sosial

Salah satu dampak paling signifikan dari flexing adalah timbulnya kecemburuan sosial. Ketika seseorang terus-menerus terpapar konten yang memamerkan kekayaan atau pencapaian orang lain, hal ini dapat memicu perasaan iri dan tidak puas dengan kehidupan sendiri. Kecemburuan sosial ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan hubungan interpersonal.

2. Meningkatkan Tekanan untuk Tampil Sempurna

Budaya flexing di media sosial dapat menciptakan tekanan yang tidak realistis untuk selalu tampil sempurna. Hal ini dapat mendorong orang untuk hidup di luar kemampuan finansial mereka atau terlalu fokus pada penampilan eksternal, mengabaikan aspek-aspek penting lainnya dalam kehidupan.

Bagi mereka yang sering terpapar konten flexing, ada risiko penurunan harga diri. Membandingkan diri sendiri dengan standar yang tidak realistis yang ditampilkan di media sosial dapat membuat seseorang merasa tidak cukup baik atau kurang berhasil dalam hidupnya.

4. Mendistorsi Realitas

Flexing seringkali hanya menampilkan sisi terbaik atau paling mewah dari kehidupan seseorang, yang dapat mendistorsi persepsi tentang realitas. Hal ini dapat menyebabkan orang memiliki ekspektasi yang tidak realistis tentang kehidupan dan kesuksesan.

5. Merusak Hubungan Sosial

Perilaku flexing yang berlebihan dapat merusak hubungan sosial. Orang mungkin merasa terintimidasi atau tidak nyaman berada di sekitar seseorang yang terus-menerus memamerkan kekayaan atau pencapaiannya, yang dapat menyebabkan isolasi sosial.

6. Meningkatkan Perilaku Konsumtif

Flexing dapat mendorong perilaku konsumtif yang tidak sehat. Orang mungkin terdorong untuk membeli barang-barang mahal atau mengadopsi gaya hidup yang sebenarnya di luar kemampuan finansial mereka, hanya untuk bisa "mengimbangi" apa yang mereka lihat di media sosial.

7. Menimbulkan Stres dan Kecemasan

Bagi pelaku flexing, ada tekanan konstan untuk mempertahankan citra yang telah dibangun di media sosial. Hal ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan, terutama jika realitas hidup mereka tidak selalu sesuai dengan apa yang mereka tampilkan online.

8. Mengabaikan Nilai-nilai Penting

Fokus yang berlebihan pada aspek material dan pencapaian eksternal dapat menyebabkan orang mengabaikan nilai-nilai penting lainnya seperti empati, kerendahan hati, dan hubungan interpersonal yang bermakna.

9. Meningkatkan Risiko Kejahatan

Memamerkan kekayaan secara berlebihan di media sosial dapat meningkatkan risiko menjadi target kejahatan, seperti pencurian atau penipuan.

10. Menciptakan Lingkungan Online yang Tidak Sehat

Secara kolektif, budaya flexing dapat menciptakan lingkungan online yang tidak sehat, di mana nilai seseorang diukur berdasarkan apa yang mereka miliki atau capai, bukan berdasarkan karakter atau kontribusi mereka terhadap masyarakat.

Memahami dampak-dampak negatif ini penting untuk dapat menyikapi fenomena flexing dengan lebih bijak dan kritis. Baik sebagai konsumen maupun kreator konten di media sosial, kita perlu menyadari potensi dampak dari apa yang kita bagikan dan konsumsi online.

Cara Menghindari Flexing di Media Sosial

Melihat berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh perilaku flexing, penting bagi kita untuk menghindari atau setidaknya meminimalkan tindakan ini di media sosial. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari flexing:

1. Tingkatkan Rasa Percaya Diri

Cara pertama yang bisa kalian lakukan adalah dengan membiasakan diri sendiri untuk mencari tahu fakta dan data dari setiap informasi yang ada. Berikan, ketika menerima suatu pertanyaan jangan langsung memberikan respon maupun menyerap begitu saja tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya dan bagaimana dampak terhadap diri kalian sendiri maupun orang lain.

Ketika kalian sudah mulai mencoba untuk berpikir kritis, maka setidaknya apapun keputusan yang akan kalian ambil setelahnya akan didasarkan dari logika dan bukan dari emosi semata. Mencerna dan menelan informasi yang masuk akan membantu kalian untuk bisa lebih paham apa yang sebenarnya dibutuhkan dan tidak dibutuhkan oleh diri sendiri.

2. Berlatih Bersyukur

Berlatih bersyukur atas apa yang dimiliki merupakan langkah efektif untuk menghindari dorongan flexing. Memahami dan mensyukuri setiap pencapaian dan kebahagiaan dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan mengurangi keinginan untuk mencari validasi melalui flexing. Cobalah untuk membuat jurnal rasa syukur harian atau mingguan untuk melatih pikiran fokus pada hal-hal positif yang sudah kita miliki.

3. Fokus pada Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Alihkan perhatian dari kehidupan orang lain dan fokus pada pengembangan diri sendiri. Setiap individu memiliki perjalanan unik, dan tidak perlu terlibat dalam perbandingan yang tidak sehat. Fokus pada tujuan pribadi dan pertumbuhan dapat membantu mengurangi godaan untuk melakukan flexing. Tetapkan tujuan-tujuan pribadi yang bermakna dan bekerja keras untuk mencapainya, tanpa merasa perlu membandingkan diri dengan orang lain.

4. Berhenti Mencari Pengakuan Orang Lain

Hentikan kebutuhan akan terus mencari pengakuan dari orang lain. Kenyamanan dan kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari persetujuan orang lain. Memahami bahwa nilai sejati berasal dari dalam diri sendiri dapat mengurangi dorongan untuk flexing. Latih diri untuk merasa puas dengan pencapaian pribadi tanpa perlu membagikannya ke publik.

5. Mempertahankan Tingkat Keyakinan Diri Secara Berkelanjutan

Untuk pencegahan lebih lanjut, Anda bisa mempertahankan keyakinan diri yang sudah dibangun secara terus-menerus. Libatkan diri dalam kegiatan yang memberdayakan dan mendukung pertumbuhan pribadi. Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri dan merayakan setiap pencapaian kecil dapat membantu meminimalkan keinginan untuk terlibat dalam perilaku flexing.

6. Kurangi Waktu di Media Sosial

Kurangi waktu yang dihabiskan di media sosial. Semakin sedikit waktu yang dihabiskan untuk melihat konten orang lain, semakin kecil kemungkinan kita merasa perlu untuk membandingkan diri atau terdorong untuk melakukan flexing. Tetapkan batas waktu harian untuk penggunaan media sosial dan gunakan waktu lebih banyak untuk aktivitas offline yang bermakna.

7. Pilih Konten yang Positif

Selektif dalam memilih konten yang dikonsumsi di media sosial. Ikuti akun-akun yang memberikan inspirasi positif dan bermanfaat, bukan yang hanya memamerkan gaya hidup mewah. Hal ini dapat membantu menciptakan lingkungan online yang lebih sehat dan mendukung.

8. Gunakan Media Sosial dengan Bijak

Gunakan media sosial sebagai alat untuk terhubung dengan orang lain dan berbagi informasi yang bermanfaat, bukan sebagai platform untuk mencari validasi atau memamerkan diri. Fokus pada menciptakan konten yang memberikan nilai tambah bagi orang lain.

9. Praktikkan Kejujuran dan Autentisitas

Ketika membagikan sesuatu di media sosial, praktikkan kejujuran dan autentisitas. Tidak perlu melebih-lebihkan atau hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan Anda. Berbagi pengalaman yang nyata, termasuk tantangan dan kegagalan, dapat membantu menciptakan koneksi yang lebih dalam dengan orang lain dan mengurangi tekanan untuk selalu tampil sempurna.

10. Refleksikan Motivasi di Balik Setiap Unggahan

Sebelum memposting sesuatu, tanyakan pada diri sendiri apa motivasi di balik unggahan tersebut. Apakah untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi orang lain, atau hanya untuk mendapatkan pujian? Jika motivasinya cenderung ke arah flexing, mungkin lebih baik untuk tidak mempostingnya.

Dengan menerapkan cara-cara ini, Anda dapat mengurangi kecenderungan untuk melakukan flexing dan menciptakan pengalaman bermedia sosial yang lebih sehat dan memuaskan. Ingatlah bahwa tujuan utama media sosial adalah untuk terhubung dan berbagi, bukan untuk memamerkan atau mencari validasi. Dengan pendekatan yang lebih bijak dan autentik, Anda dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat yang positif untuk pertumbuhan pribadi dan interaksi sosial yang bermakna.

Cara Bijak Menyikapi Budaya Flexing di Media Sosial

Meskipun kita dapat berusaha untuk menghindari perilaku flexing pada diri sendiri, kita tetap akan terpapar dengan konten flexing dari orang lain di media sosial. Oleh karena itu, penting untuk memiliki strategi dalam menyikapi budaya flexing ini secara bijak. Berikut adalah beberapa cara yang dapat membantu:

1. Kembangkan Kesadaran Diri

Langkah pertama dalam menyikapi budaya flexing adalah dengan mengembangkan kesadaran diri. Pahami motivasi dan perasaan Anda sendiri saat melihat konten flexing. Refleksikan mengapa konten tersebut mempengaruhi Anda dan apa yang bisa Anda pelajari dari reaksi Anda. Apakah Anda merasa iri, tidak puas dengan hidup Anda sendiri, atau justru termotivasi? Dengan memahami reaksi internal Anda, Anda dapat lebih baik dalam mengelola emosi dan respons Anda terhadap konten flexing.

2. Bersikap Kritis terhadap Konten

Penting untuk selalu bersikap kritis terhadap konten yang Anda konsumsi di media sosial. Ingat bahwa sebagian besar unggahan di media sosial hanya menampilkan sisi terbaik kehidupan seseorang, bukan realitas sepenuhnya. Apa yang Anda lihat mungkin hanya sebagian kecil dari keseluruhan gambar. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini representasi yang akurat dari kehidupan seseorang? Apa yang mungkin tidak ditampilkan? Dengan berpikir kritis, Anda dapat mengurangi dampak negatif dari konten flexing terhadap persepsi dan kesejahteraan Anda sendiri.

3. Batasi Waktu di Media Sosial

Salah satu cara efektif untuk mengurangi paparan terhadap konten flexing adalah dengan membatasi waktu yang Anda habiskan di media sosial. Tetapkan batas waktu harian untuk penggunaan platform media sosial dan berusahalah untuk mematuhinya. Anda bisa menggunakan fitur pengingat waktu yang tersedia di banyak smartphone atau menginstal aplikasi khusus yang membantu membatasi penggunaan media sosial. Dengan mengurangi waktu online, Anda tidak hanya mengurangi paparan terhadap konten flexing, tetapi juga memberikan lebih banyak waktu untuk aktivitas offline yang lebih bermakna.

4. Fokus pada Perkembangan Diri

Alihkan energi Anda untuk mengembangkan diri dan mengejar tujuan pribadi, bukan membandingkan diri dengan orang lain. Setiap kali Anda merasa tergoda untuk membandingkan diri dengan konten flexing yang Anda lihat, ingatlah bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup yang unik. Fokus pada peningkatan diri Anda sendiri, baik dalam karir, hobi, atau hubungan personal. Tetapkan tujuan yang realistis dan terukur untuk diri sendiri, dan rayakan setiap pencapaian kecil dalam perjalanan Anda.

5. Praktikkan Rasa Syukur

Mengembangkan kebiasaan bersyukur dapat menjadi penawar yang kuat terhadap efek negatif dari budaya flexing. Rutin mengungkapkan rasa syukur atas hal-hal yang Anda miliki dapat membantu mengurangi kecemburuan dan ketidakpuasan yang mungkin timbul dari melihat konten flexing. Cobalah untuk membuat jurnal rasa syukur, di mana setiap hari Anda menuliskan tiga hal yang Anda syukuri. Praktik ini dapat membantu mengalihkan fokus Anda dari apa yang tidak Anda miliki ke hal-hal positif dalam hidup Anda.

6. Bangun Hubungan Nyata

Prioritaskan membangun hubungan yang bermakna di dunia nyata daripada terlalu fokus pada interaksi di media sosial. Hubungan yang autentik dan mendalam dengan teman dan keluarga dapat memberikan dukungan emosional dan perspektif yang lebih seimbang tentang kehidupan. Luangkan waktu untuk bertemu secara langsung, melakukan aktivitas bersama, atau sekadar berbincang tanpa gangguan gadget. Hubungan nyata ini dapat membantu Anda merasa lebih terhubung dan mengurangi kebutuhan untuk mencari validasi melalui media sosial.

7. Pilih Konten yang Positif

Secara aktif pilih untuk mengikuti akun-akun yang memberikan inspirasi positif dan bermanfaat, bukan yang hanya memamerkan gaya hidup mewah. Cari konten yang mendidik, memotivasi, atau menghibur Anda dengan cara yang konstruktif. Ini bisa termasuk akun yang fokus pada pengembangan diri, hobi kreatif, atau berbagi pengetahuan. Dengan mengisi feed media sosial Anda dengan konten yang positif dan bermanfaat, Anda dapat menciptakan lingkungan online yang lebih mendukung dan kurang berorientasi pada flexing.

8. Pertimbangkan Konteks

Ketika melihat konten flexing, cobalah untuk mempertimbangkan konteks yang lebih luas. Ingat bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, dengan tantangan dan kesuksesan masing-masing. Jangan langsung menghakimi berdasarkan apa yang Anda lihat di media sosial. Seseorang mungkin memamerkan pencapaian besar, tetapi Anda tidak tahu perjuangan atau pengorbanan di baliknya. Dengan mempertimbangkan konteks yang lebih luas, Anda dapat melihat konten flexing dengan perspektif yang lebih seimbang dan empati.

9. Jadilah Contoh yang Baik

Salah satu cara terbaik untuk menyikapi budaya flexing adalah dengan menjadi contoh yang baik dalam penggunaan media sosial Anda sendiri. Berhati-hatilah dengan konten yang Anda bagikan. Pastikan unggahan Anda tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman atau rendah diri. Fokus pada berbagi konten yang autentik, bermanfaat, dan menginspirasi. Dengan menjadi contoh penggunaan media sosial yang positif, Anda tidak hanya mempengaruhi lingkungan online Anda sendiri, tetapi juga dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

10. Diskusikan dengan Orang Terdekat

Bicarakan perasaan Anda tentang budaya flexing dengan teman atau keluarga yang Anda percaya. Berbagi perspektif dapat membantu Anda melihat situasi dengan lebih objektif dan mendapatkan dukungan emosional jika diperlukan. Diskusi terbuka tentang dampak media sosial pada kesejahteraan mental dapat membantu menciptakan kesadaran yang lebih besar dan mendorong penggunaan media sosial yang lebih sehat di lingkungan Anda.

Kesimpulan

Fenomena flexing di media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital kita. Meskipun tindakan memamerkan kekayaan atau pencapaian bukanlah hal baru, platform media sosial telah memperluas jangkauan dan intensitas perilaku ini. Memahami apa itu flexing, penyebabnya, dan dampaknya adalah langkah penting dalam menyikapi fenomena ini secara bijak.

Penting untuk diingat bahwa di balik tampilan sempurna di media sosial, setiap orang memiliki tantangan dan perjuangan mereka sendiri. Flexing seringkali hanya menampilkan sebagian kecil dari realitas seseorang, dan kita perlu berhati-hati dalam membuat penilaian atau perbandingan berdasarkan apa yang kita lihat online.

Sebagai pengguna media sosial, kita memiliki peran dalam membentuk lingkungan online yang lebih sehat dan positif. Ini berarti tidak hanya menghindari perilaku flexing yang berlebihan, tetapi juga menyikapi konten flexing dari orang lain dengan bijak. Praktikkan kesadaran diri, berpikir kritis, dan fokus pada pengembangan diri yang autentik.

Akhirnya, ingatlah bahwa nilai sejati seseorang tidak diukur dari apa yang mereka pamerkan di media sosial. Kebahagiaan dan kepuasan hidup yang nyata berasal dari hubungan yang bermakna, pencapaian personal, dan kontribusi positif terhadap masyarakat. Dengan menjaga perspektif ini, kita dapat menavigasi dunia media sosial dengan lebih bijak dan memanfaatkannya sebagai alat untuk terhubung dan berbagi, bukan sebagai arena untuk kompetisi dan pamer yang tidak sehat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya