Mengais Harta dari Danau Berwarna Pink di Senegal

Warna pink Retba disebabkan bakteri Dunaliella salina yang memproduksi pigmen merah. Tak cuma cantik, danau itu jadi tempat bergantung hidup

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 30 Jun 2014, 08:45 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2014, 08:45 WIB
Danau Retba
Danau Retba (www.atlasobscura.com)

Liputan6.com, Dakar - Tak jauh dari ibukota Senegal, Dakar -- di tepi Semenanjung Cap Vert yang subur -- terdapat sebuah danau yang mencolok karena warnanya yang tak biasa: pink atau merah muda.

Danau Retba, atau dalam bahasa lokal disebut Lac Rose hanya dipisahkan oleh sejumlah bukit bercelah sempit dari Samudera Atlantik. Membuat kadar garamnya sangat tinggi. Tingkat salinitasnya, yang bisa mencapai 40% di beberapa titik, bersaing dengan Laut Mati, bahkan bisa melampauinya ketika musim kering.

Warna pink yang mencolok disebabkan oleh bakteri Dunaliella salina, yang tertarik dengan kadar garam yang dimiliki Retba. Organisme itu memproduksi pigmen merah untuk menyerap sinar matahari, sehingga membuat danau itu memiliki warna unik. Pink yang paling terang terlihat pada musim kering pada Bulan November ke Juni.

Dulu danau tersebut menjadi titik akhir atau finish Dakar Rally. Reli tersebut sudah tidak digelar lagi, sejak lima tahun lalu, namun Retba yang berstatus kandidat UNESCO World Heritage sejak 2005, dengan cepat menjadi salah satu tujuan wisata paling populer di Senegal.  

Tak hanya dinikmati keindahannya, Retba juga menjadi sumber penghasilan warga Afrika Barat itu. Dengan cara menambang garamnya.

Dulu orang-orang masih bisa menangkap ikan di sana, sebelum hewan laut menghilang. Sejak tahun 1970-an,  kekeringan dan sulitnya hidup membuat warga dari penjuru Afrika barat datang untuk mengumpulkan dan menjual garam untuk menambah penghasilan.

Salah satunya Moussa Fame. Pria 24 tahun itu datang dari Mali untuk bekerja di mengumpulkan garam di danau tersebut sejak 7 tahun lalu. Ia bekerja sendirian, terjun ke air danau yang merendam tubuhnya hingga dada, selama 7 jam sehari. Hanya dengan peralatan sederhana: sebuah keranjang, sekop, dan tongkat.

Untuk melindungi kulitnya dari kadar garam yang keras, ia melumuri tubuhnya dengan shea butter --  lemak alami yang diekstrak dari pohon Shea (Butyrospermum Parkii) -- sebelum masuk ke air.

"Jika kulit tak dilumuri dengan seha butter, garam akan merusak dan melukainya," kata Moussa, seperti Liputan6.com kutip dari CNN, Senin (30/6/2014). "Makin lama berada dalam danau, makin besar kemungkinan air asin akan melukaimu. Dan jika tak cepat-cepat melumuri luka dengan shea butter, ia akan makin parah."

Dengan kedalaman hanya 3 meter, Moussa mendayung ke area yang ia pilih. Lalu, menggunakan tongkat, ia mencari garam. Perahu yang ia sewa disebut pirogue, sepenuhnya terbuat dari kayu. Biduk itu tak dilengkapi mesin atau material dari logam. Sebab, air asin akan membuatnya berkarat dengan cepat.

"Aku tahu di mana harus mengumpulkan garam. Ketika tongkat yang kugunakan menyentuh garam, aku bisa merasakannya," kata Moussa.



Diperkirakan ada 1.000 orang yang bekerja menambang garam di danau -- 600 pria dan 400 perempuan yang mengumpulkan 24 ribu ton garam per tahun.

"Para penambang berasal dari Mali, Guinea, Pantai Gading, Burkina, beberapa dari Guinea-Bissau. Ada juga yang yang dari Senegal," kata Moussa.

Kebanyakan para pria yang memenuhi keranjang-keranjang dengan garam, sebelum menyungginya dengan kepala menuju sampan. "Kadang-kadang aku memanen 10 sampai 12 keranjang," kata Moussa.

Setiap saat Moussa mendayung pulang, istrinya Mariame (21) menunggu di tepian. Untuk membawa garam dari perahu ke darat. Moussa mendapat 60 sen dari masing-masing keranjang garam yang ia bawa, sementara pasangannya diupah 5 sen dari setiap bakul berisi garam yang ia angkut. 



Tak semua garam dijual oleh Moussa. Ia mengumpulkan beberapa untuk dijadikan oleh-oleh bagi keluarganya di Mali. "Jadi hadiah untuk ibuku. Ia akan memakainya untuk memasak."

Di tengah hari yang panas, para pria dan wanita berdiri di antara tumpukan garam -- membawa, mengeringkannya, dan menjual mineral itu. Lebih dari 70 persennya diekspor ke Afrika Barat, terutama Pantai Gading.

"Kami punya 2 macam garam," kata Demba Dieng, sang tengkulak. "Pertama disebut 'garam medium' (medium salt) yang digunakan untuk mengeringkan ikan atau dipakai di industri kulit," kata dia.

"Tipe kedua adalah 'garam besar' (big salt) yang kami gunakan pada makanan," kata Demba Dieng. "Namun, di Eropa, mereka menggunakan 'garam besar' untuk mencairkan es di jalan." (Yus)


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya