Liputan6.com, Jakarta- Gemerlap malam natal mengundang rasa penasaran para peneliti untuk memotretnya dari luar angkasa. Sejumlah peneliti baru-baru ini menggunakan data satelit untuk melacak kapan, dimana dan seberapa sering kita menyalakan lampu pada malam natal. Temuan ini mengungkapkan titik bagaimana aktivitas manusia mendorong penggunaan listrik dalam perayaan tersebut.
Di malam Natal tahun lalu, para ilmuwan ini mengirim radiometer ke luar angkasa dan menunjuk mereka ke arah Bumi. Instrumen ini mengukur intensitas cahaya. Berbekal satu set peta bertajuk 'Earth at Night' yang pernah dirilis tahun 2012 lalu, para ilmuwan ini menggunakan data yang dikumpulkan pada malam hari dengan kondisi ideal - yakni malam yang berbulan baik dan bebas awan.
Dilansir melalui CNN, Miguel Román, seorang ilmuwan fisika di NASA Goddard Space Flight Center di Greenbelt Mountain beserta timnya menganalisis bagaimana pola lampu berubah dari hari ke hari. Untuk melakukan itu, timnya melakukan scan sehingga para ilmuwan bisa mengumpulkan data bahkan pada malam dengan awan dan bulan terang.
Dari tahun 2012 hingga 2014, satelit tersebut memetakan gambar harian 70 kota di Amerika Serikat yang merekam gambar untuk mengukur berapa banyak kota-kota yang gemerlap antara perayaan Thanksgiving dan Tahun Baru.
Pada perayaan natal tahun lalu, Román memaparkan hasil penelitian timnya itu dalam pertemuan musim gugur American Geophysical Union. Banyak kota memancarkan 20 sampai 50 persen lebih ringan selama malam liburan.
Baca Juga
Intensitas cahaya naik sedikit lebih di pinggiran kota daripada di pusat-pusat kota yang sibuk. "Tapi secara keseluruhan, tampaknya bahwa setiap orang di Amerika Serikat - terlepas dari pendapatan atau latar belakang etnis - merayakan liburan," kata Román.
Sebuah gambar yang berbeda muncul saat timnya menganalisis bagian lain dari dunia: Timur Tengah, dimana liburan utamanya adalah Ramadhan. Ini adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam, dimana orang-orang 30 hari, umat Islam berpuasa dari fajar hingga senja.
Perubahan perilaku ini muncul pada peta satelit sebagai 'pergeseran waktu kegiatan, tidak hanya peningkatan sumber cahaya.' Dalam analisis Timur Tengah mereka, pencahayaan malam hari merepresentasikan faktor sosial dan budaya. Kota kaya, misalnya, bersinar lebih intens daripada yang miskin selama bulan Ramadhan. Peta satelit dasarnya menjadi gelap ketika konflik menghancurkan sistem tenaga listrik pengiriman suatu daerah.
"Apa yang kami temukan di sini adalah aktivitas manusia didorong tidak hanya oleh energi dan harga listrik tetapi juga oleh konteks sosial dan budaya," kata Roman. Faktor-faktor tersebut termasuk perang dan perayaan liburan. (Liz)
Advertisement